10

33 10 4
                                    


"Kalian putus?"

Pertanyaan itu entah berapa kali kuterima ketika orang-orang mulai menyadari aku tak lagi sering terlihat bersama Rendra. Waktu itu gosip tentang Rendra dengan Kak Oliv belum tersebar. Meskipun sepertinya hubungan mereka telah dimulai sejak kami masih jadian.

Setelah aku membenarkan, biasanya orang akan lanjut bertanya, "Kenapa bisa putus?"

"Udah nggak cocok kali ya," jawabku, selalu seperti itu. Biar saja nanti orang mengetahui sendiri sifat buruknya. Lagi pula jika aku bilang karena Rendra punya banyak cewek di luar sana, terus terang aku malu. Aku tak mau dianggap orang-orang bodoh atau kasihan, walau memang begitu kenyataannya.

"Aduh, sayang banget. Kalian kan serasi." Teman-teman cewek sekelas kebanyakan berkomentar seperti itu. "Padahal selama ini, kamu sama Rendra kelihatannya adem-ayem aja."

Aku tersenyum getir. Bukan kelihatannya, tapi kenyataannya memang selama ini kami baik-baik saja. Baik, karena aku tidak tahu apa-apa tentangnya.

"Jangan-jangan Rendra selingkuh, ya?"

Ada juga anak yang bertanya begitu. Aku tak yakin harus mengiakan atau menyangkalnya. Dibanding selingkuh, rasanya lebih tepat jika aku berkata, "Memang dasarnya Rendra yang kemaruk saja". Kukira dia pria tipe yang tidak puas hanya dengan satu wanita. Bisa juga dia cuma ingin membuktikan pada teman-temannya, bahwa dia bisa menakhlukkan jenis cewek apa saja. Dengar-dengar, beberapa cowok merasa bangga jika mampu memacari beberapa cewek sekaligus.

Untuk beberapa saat yang lumayan lama, tidak ada yang tahu pasti alasan sebenarnya aku dan Rendra putus selain Riko. Bahkan aku berani menjamin, Rendra sendiri pasti penasaran setengah mati kenapa aku tiba-tiba mengakhiri hubungan dengannya.

"Paginya pas Rendra main ke kelas, kalian masih seneng-seneng aja, tuh. Kenapa siang mendadak putus? Apa yang terjadi?" Diaz terus mendesakku tiga hari setelah kami menonton film aksi itu.

"Kapan-kapan aja ceritanya," kataku sembari mengembalikan buku ke rak semula. Kami sedang berada di perpustakaan guna keperluan tugas Bahasa Indonesia. "Males ngomongin dia."

"Apa susahnya tinggal cerita?"

Aku merengut saat meliriknya. "Bukannya susah, tapi coba ingat-ingat lagi deh, Yaz. Dulu aja kamu juga bilang males, pas aku tanyain kenapa bisa putus sama Manda."

"Ya karena emang waktu itu aku lagi males ngungkit-ngungkit soal dia," sahutnya, membela diri.

"Sama. Saat ini aku juga lagi di fase males-malesnya ngomongin tuh manusia."

"Tapi kan, Kal...." Diaz tampak hampir frustrasi saking penasarannya. "Dari kemarin aku udah ngelakuin banyak hal buat menghibur kamu. Aku udah berusaha jadi teman yang selalu ada, teman yang perhatian, bahkan mendadak jadi lucu. Aku bukannya nggak ikhlas. Cuman yang jadi masalah, gimana bisa kamu nggak mau ngasih tahu penyebabnya? Apa perlu, aku samperin Rendra buat nanyain sendiri apa alasannya?"

"Coba aja sana!" sahutku sambil menyeringai sebal. Aku juga jadi penasaran si buaya itu akan menjawab bagaimana kalau Diaz bertanya.

"Gini-gini aku juga udah nyoba nyari tahu sendiri kali, Kal," Diaz menggerutu. "Tapi Vika sama Riko kalau ditanya sama aja jawabnya."

"Emang mereka jawab gimana?" Aku mengalihkan pandangan dari rak buku sebentar.

"Tanya sendiri aja sama Kallea." Diaz menirukan cara Vika berbicara dengan konyol, yang mau tak mau membuatku menderaikan tawa. "Eh, ini aku lagi nggak niat ngelucu, Kal. Aku asli penasaran. Jadi tolong, cepat ceritain kenapa kamu tiba-tiba mutusin Rendra."

Aku menangkup buku yang baru saja kutarik dari rak lantas menatap Diaz lelah. "Bukannya kemarin abis nonton, aku udah sempat bilang, ya?"

"Bilang apa?" sahut Diaz sensitif. Aku sampai tertawa lagi melihatnya yang biasa santai jadi seribut itu. "Orang kamu ngomong aja suaranya setengah nangis gitu. Gimana aku bisa paham coba?"

Mr. Croco And My Best Friend Where stories live. Discover now