3

61 13 12
                                    

Setelah cowok mengherankan itu pergi, aku baru sadar jika di hadapanku ada dua cewek kakak kelas yang cantik, tapi juga terkesan menyeramkan. Mereka menatapku dari ujung sepatu sampai puncak kepalaku tanpa kedip, kemudian tanpa suara saling berpandangan. Arti pandangan mereka bukan sesuatu yang menyenangkan. Jadi, aku pun tahu kenapa para cewek 11 IPS-3 tadi berhamburan. Ternyata dua kakak kelas itu lah penyebabnya.

Kupikir, si cowok sok tenar bernama Rendra itu hanya akan jadi iklan sekali lewat di hidupku. Namun sejak hari itu, aku malah jadi sering melihatnya di sekolah. Rupanya dia seangkatan denganku. Hanya saja kami beda jurusan. Sudah setahun lebih beberapa bulan kami bersekolah di tempat yang sama, tapi aku baru mengetahui eksistensinya setelah kejadian tak jelas itu.

"Rendra itu siapa, sih?" tanyaku pada Vika, di ujung istirahat kedua. Siang itu kami baru saja dari kantin, dan aku berpapasan lagi dengannya. "Akhir-akhir ini tiba-tiba dia suka manggilin aku, kayak udah kenal lama aja. Tahu namaku juga dari mana coba?"

Vika tertawa. "Hebat juga kamu, Kal. Nggak cukup Avian sama Vino, sekarang Rendra dibikin maju juga." Ia tertawa lagi, entah maksudnya apa. "Kalau aja nggak ada Kak Martin, pasti aku udah dibikin iri, nih. Rendra kan keren banget. Udah ganteng, jago basket, mana lucu lagi."

"Masa sih? Bukannya tu cowok malah aneh, ya?" Sambil mengunyah keripik kentang yang kubeli dari kantin, aku melirik Diaz. Ia duduk di sebelah Vika. "Kamu juga mikir kalau si Rendra-Rendra itu aneh kan, Yaz?"

"Rendra siapa?" Diaz balik bertanya.

"Cowok yang tadi...."

"Ah, jangan minta pendapat Diaz, dong!" sela Vika, menarik lolipop dari mulutnya. "Mana ada cowok yang mau muji cowok lain? Pokoknya, kali ini coba deh buka mata kamu lebar-lebar. Diaz aja udah punya pacar. Kamu apa kabar, Kal?"

Aku melirik Diaz lagi. Seperti di drama televisi, aku sempat berpikir jika aku dekat dengan cowok lain mungkin saja Diaz akan cemburu. Kemudian giliran ia akan mengabaikan Manda dan berusaha membuatku balik ke sisinya. Tak heran beberapa hari kemarin aku mau saja ditraktir Vino, anak IPA yang katanya sudah lama memerhatikanku. Tapi respons seperti apa coba yang kudapat dari Diaz?

"Kalau udah jadian ngabarin, ya? Biar kapan-kapan kita bisa double date."

Double date kepalamu! Dalam hati aku kemomosan. Maka aku langsung menolak ajakan jalan Vino berikutnya. Membayangkan kami kencan bersama-sama dengan posisi aku hanya ingin mengetes perasaannya, sedang Diaz benar-benar menikmati waktu dengan Manda. Huh, rasanya aku ingin menendang apa saja. Memang bukan salah Diaz jika dia tak peka. Aku sendiri tak pernah memberi sinyal atau mengatakan kalau aku suka dia. Lagi pula, aku hanyalah teman baginya. Yang salah adalah hatiku yang dengan lancang telah menyukainya.

"Ya ampun, kaget!" Aku berseru ketika bola basket terbang dan hampir saja mengenai wajahku. Untunglah Diaz jalan di sampingku, sehingga tangannya yang cekatan berhasil menghalau laju bola itu.

"Hei, hati-hati dong!" Diaz lalu menegur para cowok yang sedang bermain basket di lapangan out door. Kami berdua baru saja mengumpulkan buku tugas Ekonomi ke kantor guru.

"Sori!" Seorang cowok segera menghampiri kami. Aku mengatupkan mulut mengetahui cowok itu Rendra. "Hai, Kallea! Mau pulang, ya?"

"Iya," jawabku, agak pelan sambil membuang arah darinya. Aku merasa aneh karena cowok itu selalu tersenyum cerah setiap kali menyapa. Aku takut aku membalas senyumnya tanpa sadar, sehingga dia besar kepala.

"Kalau nggak ada acara, nonton latihan basket aja gimana?" ajak cowok itu tak diduga. Aku cepat mengerling Diaz untuk meminta bantuan, dan kurang lebih juga ingin melihat reaksinya seperti apa.

Mr. Croco And My Best Friend Where stories live. Discover now