14

16 5 0
                                    

Jam menunjukkan pukul setengah lima sore. Aku baru saja selesai mandi, dan berencana segera rebahan sambil bermain ponsel. Cuaca mendung begini memang paling nyaman untuk bersantai di kamar. Apalagi tidak ada PR untuk besok. Mungkin sebaiknya aku membuat cokelat hangat dan mengambil camilan juga agar suasana soreku sempurna.

"Kallea!" panggil ibu dari luar kamar.

"Ya?" sahutku yang sedang memakai pelembab wajah. "Kenapa, Bu?"

"Ada Diaz tuh di depan."

"Hah?" Tentu saja aku terkejut. "Diaz siapa?"

"Lho, memang teman kamu yang namanya Diaz ada berapa?" kata ibu membuatku buru-buru membuka pintu kamar.

"Ya satu itu doang, sih. Tapi kan ...." Sambil menggerai rambut yang tadinya masih kujepit aku berjalan tergesa ke ruang tamu. "Loh, kok kamu beneran, Yaz?"

"Ngapain juga Ibu bohongin kamu?" Ibu yang mengekoriku cepat menyahut. "Dibilangin kamu datang nggak percaya anak ini, Yaz."

Diaz tertawa menanggapi perkataan ibu.

"Bukannya kamu lagi kencan sama Audi? Kenapa malah ke sini?" Aku melirik jam dinding. Baru satu jam lebih sedikit aku berada di rumah sejak keluar dari sekolah. "Nggak jadi jalan apa gimana?"

"Jadi kok," jawab Diaz sementara ibu sudah pergi ke dapur untuk membuatkan minuman. "Tapi cuman sebentar."

"Kenapa?" tanyaku sembari duduk di hadapannya. Diaz masih memakai seragam sekolah. Penampilannya hampir tak ada bedanya dengan saat kami berpisah di koridor satu jam lalu.

"Kamu abis mandi, ya?"

"Lah, ditanya malah balik nanya!" ceplosku sambil menyipitkan mata ke arah Diaz. "Bau-baunya ada yang aneh. Mencurigakan."

"Yah," Diaz menyandarkan punggung pada sofa sambil membuang napas. "Aku putus sama Audi."

"APA?!" Sontak saja aku menjerit. "Se-serius, Yaz? Kenapa? Ada masalah apa? Kamu dan Audi kan, baru sebulanan jadian! Kamu nggak lagi bercanda, kan? Pasti bercanda!"

"Apa dengan bohongin kamu, ada keuntungan yang bisa aku dapatkan?" balas Diaz seraya menatap langit-langit ruang tamuku.

"Kayaknya nggak ada, sih." Aku merenung sebentar. "Tapi gimana bisa? Bulan-bulan awal jadian begini, harusnya kamu sama Audi lagi hangat-hangatnya. Ini kok malah putus? Apa tadi kalian bertengkar waktu mau jalan?"

"Nggak juga." Diaz  mengusap-usap rambutnya yang masih basah oleh gel.

"Apa maksudnya tuh nggak juga? Ah, pasti kalian ngedebebatin mau jalan atau makan di mana! Karena Audi cerdas terus kamu rada bego, akhirnya hal kayak gitu aja jadi masalah besar."

"Sok tau!" Diaz tertawa hambar lantas pura-pura melempar sesuatu ke arahku.

"Jadi kenapa?" tanyaku mengalah.

"Ngegame aja, yuk!"

"Tuh, kan? Sukanya ngalihin topik kalau udah berhasil bikin orang penasaran. Begini nih, jenis manusia kurang ajar," gerutuku dengan sebal.

"Nanti aku ceritain setelah kita selesai main," bujuk Diaz.

"Huh!" Aku mengerucutkan bibir. "Kamu nggak lihat langit mendung banget kayak gitu? Aku males pergi ke warnet. Aku udah mandi dan wangi. Nggak mau pergi keluar terus nanti kehujanan. Lagian kamu bukannya pulang ke rumah malah ke sini."

"Udah lama aku nggak ke sini. Ibu kamu pasti kangen sama aku. Ya kan, Tan?" Diaz tersenyum manis pada ibu yang membawakan dua gelas minuman.

"Haha, lucu sekali!" komentarku sinis. "Eh, kok Ibu tahu kalau aku lagi pengen cokelat hangat?" seruku waktu melihat isi gelas yang ibu letakkan di meja.

"Emangnya apa yang nggak Ibu tahu soal kamu?" ucap ibu lalu melirik Diaz. "Dulu waktu kecil kamu sama Kallea suka banget kalau Tante bikinin minuman cokelat begini. Sekarang kamu masih suka juga nggak, Yaz?"

"Udah nggak, Bu. Sekarang Diaz sukanya kopi hitam tanpa gula. Persis selera kakeknya," selaku sebelum Diaz menjawab.

"Oh ya?" Ibu kaget sampai menutup mulutnya. "Kamu mau Tante buatin kopi pahit aja, Yaz?"

"Nggak usah, Tante. Ini sudah lebih dari cukup, kok. Lagian Kallea cuma bercanda. Aku cuma pernah sekali minum kopi hitam, pas ngerjain tugas kelompok di rumah Vika." Diaz lalu menjatuhkan pandangan padaku dengan datar. "Abis itu badanku jadi gemetaran nggak ilang-ilang. Keringat dingin kayak orang mabuk perjalanan. Tanya aja tuh Kallea."

***

Setelah sedikit diomeli oleh ibu, pada akhirnya aku menuruti ajakan Diaz untuk bermain game. Namun kami tetap tidak pergi ke warnet. Aku bersikeras menolak, sehingga Diaz memutuskan agar kami bertarung lewat ponsel saja. Kami memilih game yang dahulu waktu kelas 10 sering kami mainkan ketika kami baru mulai berteman kembali.

"Ya ampun, kemampuan kamu menurun drastis ya?" ejekku karena permainan sudah memasuki level lima, tapi aku selalu berhasil mengalahkan Diaz. "Wah, kalau terus unggul begini aku jadi semangat, nih! Apakah hari ini akan jadi hari munculnya seorang gadis legenda?" Aku tertawa-tawa senang. Padahal permainan yang sedang kami mainkan biasa dimainkan oleh anak SD. "Yaz, buruan dong gerak! Udah mulai lagi, nih. Yaz!" Karena tak terdengar jawaban apa-apa, maka segera kutengokkan kepala ke anak itu.

Sempat kupikir Diaz sedang termenung sedih, atau lebih parah diam-diam ia tengah menangisi hubungan singkatnya dengan Audi. Tak heran permainannya yang biasa jago hari ini jadi seperti pemula amatir. Akan tetapi dugaanku salah. Raut Diaz justru santai saja. Yang membuatnya selalu kalah bukannya merenung sedih, tapi karena ia lebih memerhatikanku dibandingkan layar ponselnya.

"Ada apa?" tanyaku keheranan. "Kenapa ngeliatin orang kayak gitu?"

"Kayak gitu gimana?" Tak kusangka Diaz cepat menyahut kali ini.

"Ya kayak gitu. Kayak nggak pernah lihat cewek cantik aja," ujarku sekenanya. Alih-alih tertawa lebar seperti biasa, Diaz hanya tersenyum mendengarnya. Hal itu jadi membuatku sedikit canggung. "Jadi, siapa yang mutusin duluan? Kamu atau Audi?" Bergegas kualihkan percakapan. Kurasa inilah kesempatan untuk mendengar ceritanya.

"Dia," jawab Diaz pendek.

"Oh." Sesaat aku hampir kehilangan kata-kata. "Apa masalahnya? Apa mungkin kamu ... melakukan kesalahan secara nggak sengaja?"

Diaz mengedikkan bahunya. "Dia bilang, ternyata dia nggak ada waktu buat punya pacar. Selain kegiatan OSIS dan banyak hal di sekolah lainnya, dia harus pergi les enam hari dalam seminggu. Waktu luang di rumahnya buat dia ngerjain PR, tugas, dan ngejagain dua adik kembarnya."

"Jadi karena itu?" Aku benar-benar tak menduga alasan Audi memutus Diaz secara tiba-tiba.

"Dia bilang dia bukannya nggak beneran suka aku, tapi hal-hal itu lebih membutuhkan perhatiannya," ungkap Diaz dengan tenang. "Yah, setidaknya aku nggak lihat kebohongan dari caranya berbicara. Dia nggak mutusin aku demi cowok lainnya."

"Begitu rupanya," ujarku sembari mengangguk-angguk. Kalimat terakhir tadi, agaknya ditujukan untuk Manda. "Cewek yang kelihatan sesempurna Audi, ternyata prioritasnya udah berbeda ya. Beneran keren. Kamu pasti sedih diputus cewek super cantik sepertinya."

"Nggak terlalu, kok," jawab Diaz segera. "Kalau diperhatiin lagi, kamu masih lebih cantik daripada dia."

😮😮😮

Mr. Croco And My Best Friend Where stories live. Discover now