6

36 10 6
                                    

"Kamu sama Rendra udah jadian apa?" Diaz tiba-tiba menanyaiku begitu aku sampai di kelas.

"Kok tahu?" sahutku, tak bisa menyembunyikan senyum darinya. "Aku belum bilang siapa-siapa, lho."

"Tante Wulan yang cerita. Katanya, kemarin ada cowok nyamperin kamu ke rumah," ujar Diaz, terlihat begitu serius. "Pas jemput Tante, tadinya aku udah mau ngajak kamu main dulu sebelum pulang. Tapi kamunya nggak ada. Terus Kak Arin bilang, kamu lagi kencan sama pacar. Emang sejak kapan jadian sama dia?"

"Baru kemarin, kok." Aku meringis. "Maaf ya, aku emang belum sempat cerita. Vika aja belum tahu. Abis, Rendra nembaknya mendadak banget. Aku sampai nggak bisa berkata-kata."

Diaz yang duduk di bangku Vika memandangku beberapa lama. Sepertinya karena aku terlalu banyak senyum dan pipiku yang hangat terus merona. Jelas pemandangan aneh baginya. "Jadi, kamu sukanya cowok yang kayak gitu?"

"Maksudnya?" Aku menahan napas, waspada kalau-kalau Diaz tak menyukai hubunganku dengan Rendra.

"Iya yang kayak gitu. Cowok yang bisa bikin kamu jadi kayak orang bisu tiba-tiba. Cowok yang dikit-dikit ngeluarin gombalan sampai muka kamu merah padam kayak abis keliling lapangan bola. Terus juga yang bisa bikin kamu bertingkah kayak cewek sungguhan. Gila, aku sampai terkesima."

"Heh, bilang sekali lagi!" Aku langsung menggebrak meja Vika di belakangku atas cemoohannya. "Emang selama ini, kamu pikir aku cewek apaan? Jadi-jadian?"

"Kayaknya sih gitu, kadang-kadang," jawab Diaz enteng membuatku kembali memukul meja. Namun dia malah tertawa. "Selamat deh, kalau akhirnya kamu nemu cowok yang disuka."

"Apa maksudnya, tuh?" lirikku karena agak janggal dengan ucapannya.

"Lah, selama ini kamu nolakin terus cowok yang nembak kamu kan gara-gara belum ada yang kamu suka."

Aku mengulum senyum yang rasanya agak getir. "Sebenarnya bukan karena belum ada yang aku suka," sergahku pelan. Tentunya tanpa berani menatap Diaz lama-lama. "Aslinya ada kok, cowok yang pernah aku suka sebelum kenal Rendra. Tapi emang aku nggak pernah cerita aja sama kamu atau Vika."

"Serius?" Diaz membelalak ke arahku. "Siapa?"

Siapa? Aku terkekeh. "Kira-kira siapa, ya?" Aku sedang menimbang-nimbang akan menjawab bagaimana sampai Riko tampak memasuki kelas. Mukanya yang selalu adem terlihat berbeda. Seperti ada yang sedang dipikirkannya.

"Ada apa?" tanya Diaz mendahuluiku. Daripada menanggapi sapaan itu, begitu sampai di hadapan kami Riko malah mengarahkan tatapannya kepadaku.

"Kamu jadian sama Rendra apa?"

"Apa?" Diaz tampak lebih kaget daripada aku atas pertanyaan teman akrabnya itu. Ia sampai mengangkat kedua alisnya. "Kok bisa tahu? Dengar dari mana?"

"Dia sendiri yang ngomong. Barusan di parkiran, dia lagi koar-koar gitu ke teman-temannya," jelas Riko dengan wajah yang boleh disebut tak terlalu peduli. "Emang beneran?" Tetapi ia menatapku penasaran kemudian.

Aku memandang Diaz sedetik, kemudian mengiakan pertanyaan Riko diiringi tawa riang. Riko hanya mangut-mangut sementara Vika yang baru saja berangkat dan mendengar langsung heboh kegirangan. Jadi hari itu dan beberapa hari selanjutnya, aku mendapat banyak ucapan selamat dari teman-teman. Banyak yang bilang aku dan Rendra serasi. Aku sangat senang tentu saja.

Hari-hari awal jadianku dengan Rendra terasa manis dan mengesankan. Aku jadi tahu mengapa dulu Diaz sampai mengabaikanku. Kenapa juga dia lebih sering asyik berkirim pesan dengan Manda dibanding mendengarkanku yang ada di hadapannya. Ternyata bertemu atau berbincang dengan orang yang disuka meski hanya lewat ponsel, memang sangat menyenangkan.

Mr. Croco And My Best Friend Where stories live. Discover now