4

45 11 4
                                    

Hahaha, lucu sekali.

Itulah yang aku pikirkan saat Rendra mengatakannya. Aku benar-benar tertawa saat dia mengatakan soal jatuh cinta. Baiklah, kukira aku sudah tahu jatuh cinta itu seperti apa. Setidaknya saat sadar telah menyukai Diaz, diriku juga pernah merasakan hal-hal indah penuh warna. Namun sangat disesalkan jika ujung-ujungnya hanya jadi kecewa. Bahkan hati merasakan sakit yang tidak biasa.

Sore itu Rendra tak memaksaku untuk pulang dengannya. Usai menanggapi ucapan lucunya dengan tawa, aku lalu pergi dari hadapannya. Namun seperti yang diduga, hari-hari selanjutnya Rendra semakin sering muncul di sekitarku. Awalnya aku merasa terganggu atas kehadirannya ke hidupku yang terkesan tiba-tiba. Tetapi rasa malasku menghadapi Diaz kemudian malah jadi lebih besar ternyata. Tentu saja sikap cuek padaku itu penyebabnya.

"Gila! Ternyata beneran nih si Rendra," bisik Vika ketika cowok itu menghentikanku di perjalanan menuju koperasi, hanya untuk bertukar kontak dengannya. Sebelumnya aku sudah menolak permintaan itu, tapi karena hari lain dia terus berseliweran di sekitarku, aku tahu penolakanku bakal percuma.

"Makasih ya, Kallea. Karena sekarang udah punya kontak WA, kalau perlu bantuan tinggal hubungi aku aja. Misal lagi bosen terus pengin nyari teman ngobrol aku juga nggak keberatan," ucap Rendra sambil menunjukkan senyum, juga rasa senang yang amat kentara.

"Aku pastiin hal itu akan terjadi dengan segera. Tenang aja."

Sudah jelas itu bukan aku yang bicara, tapi Vika.

"Oh, oke." Rendra berpaling ke arahnya. "Nama kamu Vika, kan? Pacarnya Kak Martin?"

"Wah, kamu ingat ternyata!" Vika langsung menutup mulut karena takjub.

"Ingat, dong. Kita kan beberapa kali ketemu di acara yang diadain kakak kelas," tanggap Rendra. Karena masuk tim basket inti, tak heran ia jadi bergaul dengan banyak senior.

"Iya juga. Ah, lain kali kalau ada acara terus kamu dapat undangan lagi, ajak Kallea aja. Kasihan ni anak. Bisa-bisanya menghabiskan masa remaja yang penuh semangat dan impian ini cuma dengan selonjoran di rumahnya. Sebagai teman aku sampai kuatir kalau dia nggak punya kenangan buat dibagikan di masa tua."

"Apa?" Aku sontak melirik Vika tapi dia sama sekali tak menghiraukanku. Justru Rendra yang mengamatiku kemudian tersenyum kala mata kami bertemu pandang.

"Ide yang bagus. Aku pasti bakal ngajak dia," ujarnya membuatku hampir menggaruk kepala yang tak gatal.

"Jelas bagus, dong. Kalau sampai Minggu depan nggak datang undangan juga, kamu bikin aja acara sendiri biar bisa narik keluar dia dari keongnya."

Mereka berdua lalu tertawa. Menertawakanku lebih tepatnya. Seperti yang terlihat, Vika sangat mendukung setiap kali Rendra datang. Lagaknya mendadak jadi seperti mak comblang. Padahal dia tahu persis aku menanggapi cowok itu normal saja. Walau kemudian harus kuakui, Rendra orangnya menyenangkan. Tindakan dan celetukannya sering kali terasa menggelikan. Walau aku tak begitu banyak bersuara di hadapannya, dia selalu saja mampu mengubah suasana. Karena itu hari-hari berikutnya, tanpa sadar aku jadi mau sering-sering bersama dia.

"Daripada pulang sendiri mending sama aku aja. Ayo, nonton basket! Nanti kuanterin pulangnya. Aku orangnya aman, lho. Bersertifikat dan bisa dipercaya."

Aku yang baru saja ditinggal Diaz menghampiri Manda menatap Rendra aneh, walau dalam hati sebenarnya geli juga. "Emangnya kamu produk kecantikan, ya? Atau obat?"

"Ya semacam itulah," Rendra meringis sampai matanya menjadi sipit.

"Pasti ada efek sampingnya," ujarku, entah kenapa jadi seperti menanggapi candaannya. Padahal niatku ingin mengejek.

Mr. Croco And My Best Friend Место, где живут истории. Откройте их для себя