7. Hanya Kita dan Hujan

7 4 0
                                    

Usai kerja kelompok tadi, Sora pulang sendirian. Kaivan tak mengantarnya pulang, karena dia pikir Sora akan pulang dengan Nalen. Ia tak bertanya pula pada Sora, toh sudah pasti dengan Nalen, kan? Kaivan tak bisa menggantikan posisi Nalen, kan, di situasi seperti ini? Pikirnya.

Langit telah menggelap. Sora merasakan ada rintik-rintik air yang menyentuh kulitnya. Sudah pasti sedikit lagi akan hujan. Jam segini bus sudah berhenti beroperasi, ia harus jalan kaki.

Di tengah ramainya kota, Sora seperti seseorang yang kebingungan, melihat jalanan yang sangat padat, kendaraan melaju cepat bak ambulans, tak ada yang ingin mengalah dengan pejalan kaki, bunyi-bunyi klakson memekikkan telinga, juga lampu kendaraan yang begitu mengintimidasi pejalan kaki, seperti dirinya.

Sora hanya bisa menatap penuh pasrah jalanan. Tujuannya hanyalah menyeberang. Sudah sekitar empat menit ia menunggu di tepi jalan, tapi semua kendaraan egois dan tak memberikannya kesempatan sedikit pun.

Sesekali Sora memberanikan diri untuk maju, dengan ekspektasi pengendara akan menginjak rem dan memberinya jalan, tapi ia salah besar. Menginjak rem seakan sama dengan menginjak ranjau, para pengendara tetap melaju, membunyikan klakson agar ia menyingkir, lalu saat melaluinya, Sora justru diberikan sumpah serapah.

Rintik air semakin deras. Sora benar-benar pasrah. Ia ingin meneduh di halte, tetapi saat hendak berbalik tangan, ia merasakan tangannya digenggam oleh seseorang. Gadis itu menoleh kepada sang pemilik tangan hangat itu.

"Udah dibilang pulang bareng malah gak mau," ujar Nalen.

Belum sempat menjawab, Nalen sudah menariknya terlebih dahulu untuk menyeberang. Sora tak tahu bagaimana cowok itu mengendalikan para pengendara toksik itu. Matanya masih terpaku melihat Nalen hingga tak berkedip. Lalu hujan benar-benar turun, Sora mengedipkan matanya berkali-kali, tapi masih dengan memandang cowok itu.

"Kak Nalen belum pulang?"

"Kalau udah pulang ngapain ke sini lagi."

"Bukannya dari tadi Kak Nalen udah pergi?"

Nalen terkekeh. Lucu sekali ekspresi Sora, matanya terus menatap wajahnya, Nalen yakin Sora kebingungan. Pasalnya, tak lama setelah mereka bertemu di toilet, Sora menyaksikan sendiri Nalen pulang.

"Aku gak pulang. Mana berani aku biarin kamu pulang sendiri. Nanti kamu diculik lagi."

Sora langsung memasang wajah tak terima sambil memukul lengan Nalen. "Emangnya aku anak kecil?!"

"Iya, kamu anak kecil, lihat aja tadi nyebrang doang gak bisa. Sampe abang-abang angkotnya teriakin woi bocil kalo nyebrang lihat-lihat!" Nalen mengejek Sora sambil meniru suara salah satu sopir angkot yang meneriaki Sora tadi.

Gadis itu memukul-mukul lengan Nalen. "Gak sakit, cil. Kek dipijet do-akhh!"

Sora tanpa ragu langsung menginjak kaki Nalen sekuat tenaga hingga cowok itu merintih sambil berjingkrak-jingkrak memegangi kakinya. Gadis itu tersenyum penuh kemenangan dan berlari menjauhi Nalen.

"Ra! Jangan kabur!" pekik cowok itu sambil berusaha mengejar Sora dengan menyeret kakinya yang masih terasa sakit.

Dua remaja dimabuk cinta itu tak peduli lagi dengan hujan yang membuat mereka basah kuyup. Benar, seperti dunia milik berdua. Mungkin jika Kaivan melihatnya, ia akan berkata seperti ini, lama-lama gue lipat juga nih bumi.

Namun begitulah kenyataannya. Trotoar telah sepi, semua orang berteduh. Sementara Nalen dan Sora sibuk berlarian di sepanjang trotoar yang hanya diterangi oleh lampu jalan.

Begitu merasa lelah, Sora berhenti lalu memegang lututnya sambil menetralkan pernapasannya. Ia mengangkat satu tangannya.

"Nyerah, aku nyerah," ucapnya dengan napas tersengal-sengal.

Sora ZamoraWhere stories live. Discover now