[21] Tremble Like A leaf

8.2K 1.2K 333
                                    

"Don't be afraid of your fears. They're not there to scare you. They're there to let you know that something is worth it."

C. JoyBell C.

***



Ralph's Coffee Mayfair, London.



Begitu Americano, Flat White, Espresso, Cappucino, dan Mocha sudah terhidang di atas meja, barulah Joey bisa bernapas dengan tenang dan kembali duduk di kursinya yang berada tidak jauh dari meja atasannya yang tengah berkumpul bersama sahabat-sahabatnya.

"Katon kapan nyusul?"

"Emang bisa? Emang dia ada waktu?"

Di sela kegiatan Joey menyusun jadwal Hestamma di iPadnya, samar dia bisa mendengarkan obrolan Hestamma dan sahabat-sahabatnya. Sementara itu, di seberang kursinya, Jeremy tampak sangat fokus dengan pekerjaannya juga.

"Nggak ada yang mau gerak dulu? Jangan ke Jirou langsung, tapi ke Katon dulu. Minimal ngomong serius ke di soal ini," ucap Jatmika selesai menyesap americano-nya.

Di sebelahnya, Hatalla menggelengkan kepala. "Nggak berani," katanya sambil pura-pura bergidik.

"Kalau dia masih diam, mending biarin aja dulu." Hestamma ikut menyahut. "Nggak usah dipaksa, lah. Let's just keep an eye on things from here and exchange information if anything unusual happens. He's not the sort to tell everyone everything, especially if he's forced to. So, don't ask anything before he tells himself."

Algis ikut mengangguk, tampak setuju dengan apa yang diungkapkan Hestamma. "Untuk sementara ini, kita begini aja dulu."

"Kalau soal Kumala?" Ucapan Narendra barusan berhasil menarik perhatian Joey dan Jeremy yang tanpa sengaja saling berpandangan. "Mau gimana?" tanyanya mendapatkan jawaban kedikan bahu dari keempat sahabatnya yang lain.

"Just let him know and tell him once, and let him figure out the rest on his own." Hestamma kembali menjawab, seakan pertanyaan barusan memang ditujukan untuknya.

"Gue sebenernya takut dibilang lancang, but I'm genuinely curious." Suara Jeremy yang pelan kini menarik perhatian Joey. "Tapi, apa yang barusan kita denger itu nggak salah, kan?" tanya pria itu dengan raut wajah kosong.

Mata Joey sempat memicing, tidak terlalu paham dengan apa yang ditanyakan Jeremy. Sebelum ia mendengar kekehan pelan Ririn di sebelahnya, "Mas Jeremy suka sama Mbak Kumala?" tanyanya.

Bukan Jeremy, Joey lah yang menganggukan kepalanya. "Suka gitu, lah. Nggak yang serius banget. Kalaupun serius, lo keduluan patah hatinya," ucap Joey, mengejek Jeremy yang memicingkan mata dan menatapnya datar.

"Tapi, beneran?" Seakan masih belum percaya dengan apa yang didengarnya, Jeremy kembali bertanya—menatap Joey dan Ririn bergantian.

Sementara Joey mengedikkan bahu dan memilih untuk fokus kembali menyelesaikan pekerjaannya, Ririn di sebelahnya menganggukan kepala. "Kayaknya, sih, begitu. Soalnya yang di rumahnya Pak Algis beberapa minggu lalu, Pak Katon sama Mbak Kumala beneran deket banget."

"Hah?" Jeremy lalu menatap Joey. "Emang iya? Perasaan yang kita ke Penang—apartemen Mbak Kumala—mereka berdua macam orang asing, nggak ada ngobrol-ngobrol gitu?" tebak Jeremy, mencoba mengingat-ingat apakah dia melewatkan momen-momen tertentu di Penang waktu itu.

Kembali ke Singapore—ke headquarters QuickGuide, pulang ke Jakarta selama 2 minggu—Joey menggelengkan kepala sembari menulis dan meneliti lagi jadwal yang ia susun untuk Hestamma.

LET THE CAT OUT OF THE BAG (COMPLETED)Where stories live. Discover now