BAB 9 | MENCOBA

6 0 0
                                    

Rasanya hampir tidak ada bedanya mau pacaran atau tidak.
Kamu asyik dengan duniamu, aku pun juga mungkin begitu.
***

Nura mendengar suara teleponnya berdering nyaring, dengan cepat gadis itu melesat menuju meja tempat ponselnya di simpan. Hari ini seharusnya dia mengundang teman-teman terdekatnya untuk ikut makan bersama sebagai bentuk syukur atas nikmat usia yang masih Nura rasakan. Sayangnya, sore itu dia justru mendapat kabar tidak menyenangkan dari Cakra tentang Emir.

“Sabrina,” panggil Nura

“Iya Mbak, ada apa?” Sabrina menengok, gadis itu mendapati wajah kakaknya yang terlihat panik setelah mengangkat telepon.

“Sabrina, tadi Cakra telepon, katanya Emir kecelakaan.”

Nura menceritakan kepada Sabrina, tepatnya mengulang cerita dari Cakra, katanya Emir baru saja membeli kado untuk Nura tapi di perjalanan pulang dia justru mendapatkan kecelakaan karena tidak sengaja tertabrak gara-gara dia menghindari jalanan berlubang yang sudah tergenang oleh air hujan yang mengguyur saat itu. Untungnya pengemudi yang menabrak Emir mau bertanggungjawab dan mengantarnya ke rumah sakit. Kabarnya, kaki kanan laki-laki itu cidera sehingga harus dipasang gips.

“Dik, Mbak mau cerita,” kata Nura ragu-ragu.

“Boleh, mau cerita apa? Sabrina siap mendengarkan,” sahut Sabrina.

Nura mengembuskan napasnya perlahan-lahan. Gadis itu memberanikan diri untuk bilang tentang Emir yang sudah sekian kali mengutarakan perasaan kepadanya, juga tentang seberapa baik sikap yang ditunjukan oleh laki-laki itu. Sekali lagi Nura menghela napas setelah cerita berisi keresahannya itu ia ungkapkan kepada Sabrina. Seperti katanya, Sabrina hanya akan menjadi pendengar.

“Menurutmu bagaimana, Dik?” tanya Nura ingin tahu pendapat Sabrina.

“Mbak Nura serius ingin denar pendapat, Sabrina?” Sabrina menjawab pertanyaan Nura dengan pertanyaan lain, dan Nura mengangguk.

“Sabrina memang belum berpengalaman soal pacaran, Mbak. Tapi, setahu Sabrina … setiap ada laki-laki yang berbuat baik, biasanya itu adalah sebuah dalih, dalih untuk mendekati gadis yang ia suka, untuk terlihat betapa baik dan idaman sosoknya di mata gadis itu. Dalih, kalau sebelum pacaran saja sudah baik, apalagi saat berpacara. Kurang lebih itu adalah pesan yang ingin ditunjukkan oleh laki-laki sebelum akhirnya dia mengatakan kalau dia tertarik atau suka kepada sang gadis.”

Kalimat panjang itu keluar dengan mulus drai mulut Sabrina, sukses membuat mulut Nura terbuka lebar. "Itu menurutku ya, Mbak …."

Sabrina diam sebentar untuk melihat bagaimana reaksi kakaknya. "Tapi, ada juga kok laki-laki yang memang pada dasarnya baik bukan karena ada udang di balik batu. Semuanya kembali lagi kepada keputusan Mbak. Lagipula masalah pacaran itu melibatkan perasaan. Kalau sampai Mbak Nura suka, tapi Mbak Nura abai, pura-pura tutup mata, nanti yang ada Mbak malah sakit hati kalau dia dengan yang lain. Itu sih, Mbak,” sambung Sabrina, ucapan gadis itu membuat mulut Nura terkatup rapat.

Nura tidak menanggapi apapun ucapan adiknya.

“Mbak,” panggil Sabrina, Nura menoleh.

“Kita jadi ke rumah sakit menjenguk Kak Emir?” tanya Sabrina memastikan ajakan kakaknya sambil lalu.

Nura menepuk jidat, gadis itu benar-benar lupa. “Jadi, Dik.
Sebentar Mbak ganti baju dulu,” jawabnya.

***

Di perjalanan menuju rumah sakit Nura sibuk dengan pikirannya. Banyak hal yang membuatnya berpikir tentang perasaan Emir, perasaannya kepada laki-lakiitu, serta kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 12, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jalan Takdir Where stories live. Discover now