BAB 3 | BELAJAR MENGAJI

7 0 0
                                    

“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d ayat 11).
***

Tahun kedua Nura menjadi mahasiswa, tahun depan Sabrina adiknya lulus SMA, itu artinya orang tuanya pasti akan sibuk mencari dana untuk Sabrina agar bisa berkuliah juga. Sejauh ini, Nura masih bisa membagi waktu untuk mencari tambahan uang bulanannya dari berjualan. Namun, dia tidak lagi bisa melanjutkan laundry, dia kewalahan bila harus melakukan laundry juga. Ada satu hal yang sedang mengganggu pikirannya. Sudah lewat satu minggu, sejak dilakukannya penilaian Baqi di kampus pada mata kuliah agama Islam.

“Julia, bisa tolong ajari aku mengaji?” tanya Nura tiba-tiba saat iklan sedang meraja pada layar tv yang menyala.

“Hah? Kamu kan sudah bisa ngaji, Ra ... kenapa minta diajari lagi, sama aku pula? Kamu salah cari guru ngaji atuh, Nura, Sayang!” Julia mencubit pipi Nura, dan gadis di sebelahnya itu mengaduh sambil memegangi pipinya yang memerah.

“Sakit, Julia!” gerutu Nura, yang disambut dengan tawa oleh Julia.

“Kamu sudah lulus Baqi, kan, Julia?” tanya Nura, yang diajak bicara mengiakan dengan anggukan.

“Aku tidak lulus Baqi, aku harus mengulang bulan depan. Alhamdulillah, aku dan teman-teman yang tidak lulus masih diberikan kesempatan untuk belajar mengaji sampai ke tingkat yang sudah ditentukan untuk kategori lulus Baqi. Aku malu Julia, karena aku sebatas tahu huruf, baca masih tersendat-sendat, dan masih belum memerhatikan tanda baca." Nura tertunduk.

Gadis itu malu, bukan karena malu meminta tolong kepada Julia sahabatnya untuk belajar mengaji. Dia malu dengan dirinya sendiri, terutama dengan status agama yang tertera pada KTP.

Malu karena selama hidupnya dia tidak maksimal dalam beribadah, hanya sebatas salat lima waktu, mengaji sesekali saja, puasa saat bulan Ramadhan saja. Dia bahkan masih belum berkerudung menutup auratnya. Nura malu kepada dirinya. Butiran bening menetes dari netranya, dan mendarat membasahi pipi.

“Kamu juga tahu kan Julia, saat ada kegiatan pesantren Ramadhan di sekolah dulu, aku sering ditegur oleh guru?” Nura terpaksa mengingat lagi kenangan masa putih abu-abunya.

Saat itu, Nura duduk satu bangku bersama dengan Julia. Guru yang menjadi penanggungjawab kegiatan mengaji pesantren

Ramadhan di sekolah berkata kalau Nura itu gadis yang mubazir, karena hanya bermodalkan kecantikannya saja. Namun percuma, karena bahkan mengaji saja dia tidak bisa.

Nura hanya ingat kejadian saat ada guru yang menegur Nura karena susah menghafal surat-surat pendek. Julia ingat dengan jelas sahabatnya itu dikatai kalau sekedar pintar menjadi nomor satu di kelas tidak akan berguna kalau agamanya nol besar. Julia ingat Nura menangis hari itu di toilet sekolah.

Julia memeluk tubuh Nura. “Sudah-sudah, tidak apa, Sayang. Aku mau membantumu. Tapi, mungkin aku akan mengenalkanmu kepada seorang teman, dia jurusan Bahasa Arab. Jujur saja, aku tidak percaya diri untuk mengajarkanmu mengaji, aku tidak cukup ilmu tentang hal itu, Sayang,” kata Julia memberikan sebuah solusi dari masalah yang sedang menghantui Nura.

“Tenang saja Nura, Insyaallah, Allah akan memudahkan proses belajar kamu. Kamu hanya perlu ingat janji Allah dalam Al Qur’an, surat Al Insyirah ayat 8, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” Julia memberikan motivasi kepada Nura. Julia tahu kalau Nura adalah gadis yang tangguh, mau belajar, dan sebagai seorang sahabat, Julia akan sebisa mungkin mendukungnya dalam hal kebaikan, tentu saja.

Jalan Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang