BAB 5 | MENUAI

10 0 0
                                    

Kita tidak harus minder, kita harus yakin pasti bisa, jangan menyerah. Insyaallah bisa.
***

Kamu bisa, karena berusaha. Untuk apa? Kenapa kamu harus bersusah-payah, bukankah rezeki tahu siapa pemiliknya? Aku sudah berusaha, tetapi hasilnya selalu saja tidak sesuai dengan keinginanku. Lantas, apakah aku tetap harus berjuang? Aku lelah, karena apa yang aku inginkan tidak pernah aku dapatkan.

Sederet kalimat panjang itu terngiang-ngiang di benak Nura. Kalimat itu diucapkan Isa di telepon sebelum Nura berangkat untuk tes Baqi. Baqi adalah program yang diberlakukan di kampus Bumi Siliwangi yang tujuannya adalah untuk memberikan bimbingan buta huruf Al-quran di kalangan mahasiswa di kampus.

Pada program Baqi ini, ada tingkatan klasifikasi yang menggolongkan mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok. Tujuannya adalah untuk memberikan bimbingan lebih kepada para mahasiswa yang masih kesulitan, terkendala atau tersendat-sendat dalam membaca Al-quran.

Program Baqi ini ada dalam mata kuliah pendidikan agama Islam. Mahasiswa yang masih belum lulus Baqi masih diberikan dua kali kesempatan untuk tes Baqi lagi. Para mahasiswa dibimbing oleh mentor dalam kelompok-kelompok. Mereka akan mendapatkan bimbingan selama dua minggu sekali. Karena bimbingan tersebut tidak sering, jadi Nura belajar mandiri bersama dengan Julia dan dimentori oleh Isa.

Hari ini adalah tes kedua untuk para mahasiswa yang masih belum lulus Baqi, termasuk Nura. Gadis itu duduk di dalam sebuah barisan secara vertikal di masjid kampus untuk tes kedua. Satu per-satu orang dipanggil dan diminta untuk membaca Al-quran, sambil menunggu giliran, Nura berlatih membaca Al-quran.

“Mangga Teh.” Seorang yang bertugas sebagai salah satu tim penilai pada tes kedua ini kepada Nura.

Nura maju ke depan dengan hati yang berdebar, bismillahirrahmanirrahim, Nura berucap dalam diamnya, gadis itu melempar senyum kepada perempuan yang sudah menantinya untuk membaca Al-quran.

Perempuan itu membuka surat Maryam, Nura memejamkan netranya sambil lalu dan mulai dengan bacaan taawuz. Lima ayat pertama pada surat Maryam di baca Nura, lalu perempuan itu meminta Nura untuk menghentikan bacaannya.

“Sudah, Teh, alhamdulillah yah ... kemajuan pesat Teh,
masyaallah.” Perempuan itu membagi senyum di wajahnya kepada Nura.

Mata gadis itu berbinar, ada perasaan lega yang ia rasakan setelah mendengar kalimat itu, tidak lupa Nura membaca shadaqallahuladzim sebelum ia menutup Al-quran miliknya.

“Ditunggu pengumumannya ya, Teh.”

“Muhun. Hatur nuhun, Teh.” Nura menanggapi ucapan perempuan itu.

Nura beranjak untuk memberikan ruang kepada peserta tes Baqi lain yang sudah menunggu di belakangnya. Sambil menunggu pengumuman, Nura kembali membuka surat Maryam dan melanjutkan bacaan ayatnya.

Surat Maryam, adalah sebuah surat yang sudah membuat Nura merasa malu kepada dirinya sendiri. Gadis itu kembali teringat saat Maria yang seorang Protestan hafal surat Maryam.

Maria Siboro, teman sekelas Nura adalah seorang penganut Protestan yang taat. Saat itu, Maria berkata kepada Nura dan teman- teman saat sedang bermain di indekos milik Hayah, kami melakukan mayoran (sebutan untuk acara makan-makan bersama yang biasa dilakukan oleh masyarakat Sunda) Sambil masak-masak untuk kegiatan mayoran, tiba-tiba saja Maria bertanya tentang kegiatan Baqi.

“Jadi, nanti kalian semua ini akan dites membaca Al-quran begitu, ya?” tanya Maria dengan logat Medannya yang sangat kental.

“Iya, semacam itu mungkin. Entahlah, Maria, kan kami juga belum pernah.” Hayah menimpali perkataan Maria.

Jalan Takdir Where stories live. Discover now