BAB 6 | AKU BUKAN PILIHAN

9 0 0
                                    

Berbenah diri seharusnya bukan karena laki-laki, tetapi karena memang hati yang menginginkannya untuk beranjak, hijrah.
***

Kemarin kelas Nura secara otomatis masuk ke dalam final, setelahbanyaknyatimyangmengundurkandiridaripertandingan. Akhirnya tibalah saat penentuan, kelas Nura melawan kelas Kang Amir di ajang final futsal jurusan. Seperti yang sudah ia janjikan kepada Emir, dan memang sudah kewajiban bagi kelasnya untuk memberikan support kepada teman-teman yang mengikuti lomba. Pertandingan itu berlangsung sengit, lalu seperti yang menjadi harapan bagi kelas Nura, akhirnya kelasnya berhasil menjadi juara.

“Selamat untuk tim futsal ... kalian keren!” seru Nura memberikan selamat kepada teman-temannya.

“Terima kasih juga, kepada semua temna-teman perempuan yang sudah mau datang dan menyaksikan pertandingan kami. Kehadiran kalian benar-benar sudah membuat semangat kami berkobar. Terima kasih,” kata Emir sebagai kapten yang mewakili seluruh anggotanya berterima kasih.

“Nura, apakah kamu ada waktu hari sabtu ini?” tanya Emir setelah selesai dengan tim futsalnya.

Nura tampak berpikir sejenak. “Kalau pagi, aku harus memasak dan menjejalkan masakanku ke warung. Kalau siang aku akan merapikan kamarku, sambil nonon drama Korea. Lalu kalau sore ... sepertinya tidak ada. Kenapa?” tanya Nura setelah selesai dengan penjelasannya.

Laki-laki berwajah blasteran India-Arab itu menyuguhkan senyum menawannya. “Aku jemput kau ya, setelah salat Asar.”

Nura mengangguk. “Tapi, memangnya kita mau ke mana sih, Mir?”

“Kita cari makanan sebelum berangkat ke Baduy, Ra. Mau?” tanya Emir, dan Nura mengiakan dengan anggukan.

“Sampai bertemu besok sore, Ra!”seru laki-laki itu, saat melihat Maria dan teman-teman Nura yang lain mulai berdatangan.

“Ra, kamu besok ada acara?” suara Hayah membuat pandangan Nura berpaling dari punggung bidang Emir yang sedang berjalan menjauhinya.

“Nonton drama Korea mungkin,” jawab Nura sambil memamerkan barisan giginya yang rapih.

“Wah asik! Aku ikutan dong!” pekik Maria.

“Boleh dong! Besok kalian mau datang ke tempatku?” tanya Nura.

“Mau!” mereka berseru bersamaan.

***

Hari Sabtu yang asik dilalui Nura bersama dengan teman- temannya. Namun, tidak dengan Julia, tiba-tiba saja gadis itu pamit pulang ke rumah di kampung. Wajahnya terlihat mendung, matanya yang bengkak dan sembap seolah mengatakan bahwa dia baru saja menangis sangat lama.

“Julia, kamu serius mau pulang? Ada apa?” tanya Nura.

“Ibuku, Nura,” jawab Julia sembari menggigit bibir bawahnya, dia melihat ke langit-langit berusaha agar butiran bening tidak
keluar lagi dari matanya. Tapi seolah sia-sia, karena kondisi sang ibu yang dilarikan ke rumah sakit karena sakit ginjal dan harus cuci darah.

Nura menelan salivanya, tiba-tiba suasana hatinya buruk saat Julia menyebutkan nama ibunya. “Ibu kamu kenapa, Julia?” tanya Nura pelan.

Gadis di hadapannya seketika memeluk Nura erat, dia menangis.
Melihat sahabatnya yang selalu ceria tiba-tiba melankolis. Nura yakin ada hal buruk yang sudah menimpa ibu sahabatnya. Nura menepuk-nepuk pundak Julia, tanpa berkata apa-apa, dia hanya berharap tepukannya dapat meringankan pundaknya yang terasa berat.

Julia menjauhkan diri, mengusap air mata di wajahnya. “Ibuku sakit, aku harus pulang.” Akhirnya Julia mengatakan hal yang sudah membuatnya berlinang air mata.

Jalan Takdir Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang