Bab 10. Tak Bisa Lagi Percaya

252 15 0
                                    

Firman berdiri di balkon apartemennya dengan Aisyah, netranya memandang gedung-gedung yang ada di seberang apartemennya, sudah dua jam dia berdiri di sana, namun dia masih enggan untuk kembali ke rumah. Bukan ia bermaksud untuk menghindari istrinya, hanya saja rasanya sangat menyakitkan ketika dia ada namun diabaikan.

Firman menarik nafas panjang, sudah seminggu berlalu sejak malam itu, sudah selama itu pula Aisyah mengabaikannya dan bersikap dingin kepadanya membuat hatinya nelangsa karena rindu pada wanita yang sangat dicintainya. Mereka bersama, tinggal di atap yang sama namun terasa asing.

Firman berdecak saat merasakan getar ponsel di saku celananya, tanpa melihat nama siapa yang memanggil, ia dapat menebak kalau itu adalah Ajeng. Sejak berubahnya sikap Aisyah, sikapnya pada Ajeng juga turut berubah. Bukan ia bermaksud menjadikan selingkuhannya itu sebagai pelampiasan amarah, hanya saja dia tak ingin semakin dikepung rasa bersalah terhadap sang istri sah.

Firman menghela nafas lega saat getar ponselnya berhenti, namun ternyata hanya sesaat. Rupanya Ajeng masih belum menyerah untuk menghubunginya. Dia tahu tak ada gunanya dia menghindar karena pada dasarnya hatinya memang telah terlanjur terikat dengan dua wanita.

Dengan wajah kesal menahan emosi, Firman merogoh saku celananya dan mengambil ponselnya. Tanpa berniat mendengar rentetan protes dari Ajeng, dia langsung mematikan ponselnya.

"Maaf, Bie... Kasih aku waktu buat menenangkan diri, aku butuh waktu untuk sendiri dulu." Firman bergumam lirih dengan tatapan sendu pada layar ponselnya yang sudah gelap.

Setelah menyimpan kembali ponselnya, Firman berpindah duduk di kursi yang ada di balkon. Dulu tempat itu menjadi tempatnya untuk saling bercerita dengan sang istri, berkeluh kesah atas hari yang kadang tak sesuai dengan harapan. Namun semenjak mereka pindah ke rumah yang ia siapkan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan, balkon rumah mereka lah yang menjadi tempat kesukaannya dengan sang istri.

Mengingat kebiasaan itu, hati Firman terasa di remas kuat. Dia baru sadar kalau ternyata sudah lama melewatkan kebiasaan itu, kehadiran Ajeng kembali di dalam hidupnya seakan menghipnotis dia untuk mengejar kembali mantan kekasihnya itu.

Firman memejamkan matanya, lagi-lagi dia hanya bisa berandai. Setelah cukup lama menenangkan diri, Firman beranjak bangkit dan bersiap kembali ke rumah. Dia tak ingin keterlambatannya pulang membuat Aisyah semakin beranggapan kalau saat ini dirinya tengah bermesra bersama sang kekasih gelap yang sudah semakin terang-terangan.

Mengarungi jalan dengan diiringi musik dangdut sedikit membuat Firman tenang, lelaki itu sudah mulai bisa mengendalikan dirinya terutama emosinya. Setelah hampir setengah jam berada di jalan karena macet, kini Firman telah sampai di depan rumahnya.

Tanpa mengetuk pintu, Firman memasuki rumahnya yang sepi. Dia tak lagi kaget sebab hal itu sudah terjadi berulang kali setelah Aisyah mengajukan perang dingin dengannya.

Firman tersenyum saat memasuki kamar dan melihat tubuh istrinya sudah terlelap di atas ranjang mereka, untuk hal yang satu itu dia sangat bersyukur. Aisyah tak pernah meminta untuk pisah kamar setelah kejadian malam itu, setidaknya dia masih dapat melihat punggung sang istri yang terlelap walau mereka tak lagi bertegur sapa.

"Maaf aku pulang terlambat. Aku harap kamu enggak salah paham dengan berpikir kalau keterlambatan aku karena aku tengah menemui Ajeng. Enggak, Sayang. Sejak pulang dari kantor aku memilih pulang ke apartemen lama kita, aku bernostalgia di sana." Firman terkekeh, sebelah tangannya terangkat menyingkirkan beberapa helai rambut Aisyah yang menutupi matanya.

"Aku tahu kamu enggak bisa denger penjelasan aku sekarang, tapi aku tetap ingin menjelaskannya agar kamu tak semakin marah." Firman menarik nafasnya dalam, jemarinya kini berpindah mengelus pipi istrinya yang terlihat lebih tirus.

"Kamu kurusan, Sayang. Kamu pasti stres banget yah ngadepin kegilaan aku?" tanyanya yang tentu saja tak dijawab Aisyah sebab ia tengah terlelap. Tak terasa setetes air mata jatuh dari pelupuknya, betapa berdosa dia telah melukai wanita yang selama ini mencintai dan melayaninya dengan tulus.

Aisyah membuka matanya, tatapan satunya beradu dengan tatapan Firman yang sendu. Untuk beberapa menit keduanya hanya bungkam. Tak ada kaya yang terucap, hanya tatapan mata yang seolah saling bicara.

"Bahagia kah kamu Mas karena telah berhasil menemukan hatiku?" tanya Aisyah dengan suara yang terdengar lirih setelah cukup lama bungkam.

"Merasa bangga kah kamu karena telah dicintai oleh dua orang wanita?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih tegas.

Firman menggeleng, kepalanya lalu menunduk, bahu tegap itu bergetar sementara air mata terus berjatuhan di pipinya.

"Ampuni aku, Sayang. Sejujurnya aku tak pernah berniat untuk menghianati kamu, tapi rasa itu tak pernah mau hilang dari hatiku," ucap Firman yang membuat dada Aisyah semakin sesak.

"Bukankah kamu sudah berjanji untuk tak lagi berhubungan dengannya? tapi kenapa kamu berbohong." Pendar kecewa di mata Aisyah terlihat jelas saat mengatakan kalimat itu. Dua kali dihianati oleh orang yang sama membuat harga dirinya terasa tercabik-cabik.

Firman menatap Aisyah, helaan nafasnya terdengar kasar. "Aku sudah coba menghindarinya, menjauhinya dan tak lagi berhubungan dengannya, bahkan aku juga sempat memblokir nomornya, tapi ada suatu kejadian yang membuat aku akhirnya kembali tak bisa melepaskan diri darinya," jelas Firman dengan lirih.

"Apa karena dia hamil?" tanya Aisyah membuat Firman mengangguk meski berat.

Aisyah beranjak duduk, tubuhnya bersandar pada hadbad, dadanya naik turun menahan marah serta kecewa yang rasanya ingin meledak dari dalam dirinya.

"Pintar sekali kalian berakting, bahkan saat kita tak sengaja bertemu di rumah sakit sebulan yang lalu, sikap kalian bagai orang asing." Aisyah terkekeh, lagi-lagi dia baru menyadari kebodohannya sekarang.

"Kalian pasti mentertawakan aku saat itu karena kebodohan aku," lanjut Aisyah dengan senyum sinisnya.

Firman menggeleng cepat. Aisyah salah, dia sama sekali tidak mentertawakan, yang ada dia ketakutan dan merasa bersalah.

"Enggak, Sayang. Jangan berpikir seperti itu!" pinta Firman dengan suaranya yang tegas.

Aisyah tertawa, namun air mata semakin berjatuhan di pipinya. "Lalu aku harus berpikir bagaimana?" tanya Aisyah.

"Oh iya, haruskah aku bilang selamat atas kehamilannya dan pernikahan kalian? bukankah saat itu dia mengatakan kalau dia hamil anak suaminya?"

Firman menggeleng, diraihnya jemari Aisyah dan digenggamnya erat. "Dia memang hamil anakku, tapi aku tidak pernah menikahinya, tolong percaya sama aku," pinta Firman dengan tatapan penuh harap. Sementara Aisyah kini justru memalingkan wajahnya enggan menatap lelakinya yang begitu pandai berdusta.

"Sayang..." Firman menangkup pipi Aisyah dan menghadapkan kembali wajah istrinya agar menatapnya.

"Aku bersumpah kalau aku tidak menikahinya, tolong percaya. Kali ini saja," pinta Firman lagi membuat Aisyah menatapnya sengit dan menghempas kasar tangannya yang masih di wajah perempuan itu.

"Bagaimana aku bisa percaya sedangkan seluruh percayaku sudah kamu hancurkan?" tanya Aisyah yang membuat Firman tak mampu menjawab, dia sangat sadar kalau semua memang karena dirinya, keserakahannya.

"Oh iya, aku juga baru ingat. Bukankah waktu di rumah sakit, Dia mengatakan kalau usia kehamilannya baru berjalan dua bulan? itu berarti kehamilannya bukan karena perselingkuhan kalian yang pertama," ucap Aisyah yang membuat detak jantung Firman bertalu.

"Rupanya kamu sengaja mendua lagi kan, Mas? bahkan kali ini sampai membuatnya hamil. Hebat kamu, Mas.." Aisyah beranjak dari kasur dan berjalan keluar kamar, rasanya tak sanggup mengungkap kebohongan demi kebohongan yang dilakukan suaminya. Hatinya terlalu rapuh untuk menerima kenyataan yang sangat menyakitkan untuknya.

Selaksa Luka AisyahWhere stories live. Discover now