Bab 1. Melihat Sebuah Penghianatan

871 25 0
                                    

Aisyah, perempuan berkerudung lebar yang baru saja menikah satu tahun yang lalu itu berdiri terpaku menatap nanar pemandangan di depannya. Dari jarak kurang dari seratus meter, dia mengenal betul siapa sosok laki-laki yang kini tengah tertawa seraya merangkul pundak seorang perempuan.

Perempuan yang juga wajahnya tak asing meski mereka tak pernah saling bertemu dan bertegur sapa. Dia adalah Diajeng Permatasari, perempuan keturunan Jawa yang pernah menjadi tunangan suaminya, Tengku Firmansyah.

Aisyah menundukkan kepalanya, senyum miris terbit dari bibirnya yang hanya terpoles lip balm rasa cherry. Air mata menetes dari pelupuk matanya dan membasahi pipinya yang merona alami tanpa sapuan blush on. Aisyah sama sekali tak menyangka kalau suaminya kembali menjalin hubungan dengan mantan tunangannya. Meski saat ini dia masih belum mengetahui bagaimana status hubungan kedua mantan kekasih itu yang sebenarnya, tetap saja kedekatan mereka tidak dapat dibenarkan. Bukankah tidak seharusnya seorang lelaki yang telah beristri menemui perempuan lain apalagi tanpa sepengetahuan dari istrinya?

Aisyah terkekeh pelan, kepalanya menggeleng tak percaya. Hembusan nafasnya terdengar berat, inikah maksud dari keinginannya untuk makan rujak serut yang menggebu? apakah ini merupakan cara Tuhan untuk menunjukkan kepadanya tentang kebenaran yang selama ini suaminya sembunyikan?

Entah sejak kapan mereka kembali bertemu. sepengetahuannya, dari apa yang diceritakan ibu mertuanya, Ajeng pergi ke Rusia untuk sekolah balet dan mengejar mimpinya yang ingin menjadi balerina internasional setelah membatalkan pernikahan yang akan digelar kurang dari dua bulan pada saat itu.

Aisyah menarik nafasnya panjang, ditepuknya dadanya yang terasa sesak. Perlahan tubuhnya berbalik lalu melangkah meninggalkan area taman kota dan kembali ke rumah. Kalau dipikir, dia juga tak tahu mengapa dirinya harus sampai ke taman itu hanya untuk mencari rujak serut yang diinginkannya, entah kebetulan atau apa tapi beberapa penjual rujak serut yang biasanya mangkal tak jauh dari komplek perumahannya hari ini begitu kompak tak berjualan.

Aisyak tersenyum kecil, wajahnya mendongak menatap langit sore yang mulai menjingga. Senyum di bibirnya kembali terbit meski hatinya kini tengah berembun, rasa syukur dia panjatkan kepada sang pencipta atas kebenaran yang ia ketahui hari ini. Dia yakin kalau ini adalah cara Tuhan untuk melepaskannya dari kebodohan akan ketidak tahuannya selama ini.

Tiga puluh menit waktu yang dibutuhkan Aisyah untuk berkendara, tepat jam setengah enam akhirnya mobil yang dikendarainya kini sudah terparkir di depan rumahnya yang cukup mewah. Rumah yang suaminya berikan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan sebulan yang lalu, salah satu kejutan manis yang membuatnya salah menduga kalau ternyata itu bukan merupakan bentuk cinta suaminya melainkan bentuk sandiwara yang dimainkan sang suami.

Begitu lihai lelaki itu memainkan perannya hingga dia sama sekali tak menaruh curiga atas sikapnya selama ini. Aisyah menghela nafas kasar, dihapusnya air mata yang masih saja bercucuran meski telah puluhan menit berlalu. Terlalu sesak rasanya hingga dia tak dapat membendung air matanya.

Setelah merasa lebih baik, Aisyah membuka pintu mobilnya dan berjalan masuk ke rumah. Perempuan berlesung pipit itu lalu mendudukkan tubuhnya di sofa yang berada di ruang keluarga. Tubuhnya bersandar, wajahnya mendongak menatap foto pernikahannya dengan sang suami yang dibingkai begitu besar. Di sana dia tersenyum lebar, namun sesaat kemudian dahinya berkerut samar, ada yang aneh dari foto itu.

Aisyah beranjak berdiri dan menghela langkah hingga di depan dinding di mana foto pernikahannya terpajang. Diamatinya dengan lekat foto itu hingga tawa kecil disertai air mata terdengar mengalun lirih dari bibirnya yang merah jambu.

"Kenapa aku baru menyadari sekarang kalau senyum yang kamu tampilkan di foto ini bukan senyum bahagia melainkan senyuman senyum dingin," gumamnya dengan pendar luka yang terpancar jelas dari kedua netranya.

Selaksa Luka AisyahWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu