chapter 07

35 6 0
                                    

Pagar rumahku punya suara yang khas ketika dibuka. Aku sedang membaca manga di sofa saat suara khas pagar itu terdengar.

“Ra, itu Tante Ayu sama Elin.” Kepala ibu melongok dari dalam kamarnya. Walaupun tidak ada perintah di dalam kalimatnya, tapi aku tahu ibu menyuruhku menyambut kerabat kami itu.

Haish, kenapa si Elin itu selalu menginap di sini saat liburan?

Aku berjalan keluar sambil mengeluh dalam hati. Di depan rumah terparkir mobil putih milik Tante Ayu. Elin mengeluarkan koper dari bagasi. Aku segera membantunya dengan raut kesal.

“Gue udah sukarela nemenin lo liburan loh ya. Muka lo jutek amat,” ujar Elin.

Aku memutar bola mata malas. “Gue enggak minta ditemenin.”

Entah berapa banyak bawaan yang dibawa Elin, barang yang aku keluarkan tidak habis juga, padahal dia selalu meminjam barang-barangku. Tante Ayu menghampiri. Tangannya memegang sebuah kotak berwarna coklat. Bentuknya yang familiar membuatku membelalak kaget.

“Tante bawa kucing? Ibu bisa ngamuk nanti,” ucapku panik.

“Lah? Ibumu masih nggak suka kucing toh?” Dengan santainya Elin bertanya.

“Ya iyalah!” Aku mencak-mencak di tempat.

“Enggak ada yang jagain Vey di rumah, jadi di bawa ke sini,” balas Tante Ayu.

“Terus ini gimana?” Aku bertanya dengan nada putus asa. Dua manusia ini terlalu santai menanggapi amarah ibu. Ibu punya trauma dengan kucing, hal apapun tentang kucing membuatnya marah.

“Ayu!” Sapaan ibu terdengar.

Gawat, ibu berjalan kemari. Cepat-cepat aku meraih kandang kucing di tangan Tante Ayu, tanpa mengatakan sepatah kata pun aku berlari menjauhi rumah. Aku sempat mendengar Tante Ayu memanggilku, tapi aku mengabaikannya karena yang terpenting ibu tidak melihat kandang ini.

Satu-satunya tempat yang terpikirkan olehku adalah rumah Eiji. Mungkin aku bisa menitipkan Vey di sana.

Pagar rumah Eiji terbuka. Memang tidak sopan, tapi aku langsung berjalan ke terasnya dan mengetuk pintu. Eiji yang memakai kaus putih keluar dari sana. Wajahnya lesu, tidak bersemangat, rambutnya berantakan, dan kacamatanya hampir jatuh dari hidung.

Buruk sekali.

Belum sempat Eiji membuka mulutnya untuk berbicara, sesuatu berbulu putih menghampiriku. Aku membelalak kaget, sedetik kemudian tersenyum senang. Itu Nyan. Aku meletakkan kandang Vey, membukanya supaya Nyan bisa bermain dengannya.

“Ra!” Eiji berteriak kesal.

“Dia betina. Nyan nggak lesbi kan?”

Eiji mengernyit mendengar perkataan nyelenehku. Yah, asal kucing betina, tidak apa-apa kan kalau Vey bermain dengan Nyan?

“Kucing siapa?” Eiji melipat tangan di depan dada.

“Sepupu gue. Dia bawa ke rumah, padahal Ibu enggak suka kucing. Gue boleh nitip di sini?”

“Enggak.”

Haah … sudah kuduga. Dia menolaknya dengan cepat tanpa berpikir dulu.

“Gue bakal turutin apapun yang lo mau.” Akhirnya aku memakai senjata pemungkas. Setidaknya harus ada imbalan jika meminta tolong kepada seseorang.

Eiji tampak tertarik.

“Jadi partner gue di acara cosplay.”

Aku menganga. Tidak mau. Acara seperti itu tidak cocok untukku. Aku hanya suka menjadi pengunjung acara cosplay daripada menjadi pesertanya. “Enggak,” balasku.

Eiji menatapku sebentar, kemudian membungkuk, mengambil Nyan yang bermain bersama Vey dengan paksa.

Sebelum Eiji masuk kembali ke rumahnya, aku menahan bajunya. “Eeett … oke oke. Kapan cosplay-nya?”

“Januari, tanggal tujuh,” jawab Eiji.

Masih bulan depan, tahun depan.

“Oke.”

Mataku terpaku pada Nyan yang sedang digendong Eiji. Kucing itu masih saja lucu. Aku semakin ingin memegang seluruh tubuhnya yang berlapis rambut putih bersih yang lembut itu. Tapi begitu mataku bergerak ke atas, memandang wajah datar Eiji, keinginanku lebih baik diurungkan.

“Mau gendong?”

Oh? Beneran? Ini tidak terduga.

Eiji menyerahkan Nyan kepadaku. Rambut-rambut halus Nyan terasa menyengat kulit. Wah, bolehkah aku memeluknya lebih erat?

“Lucu banget,” seruku seraya menempelkan pipi ke kepala Nyan. Senyum lebarku tidak bisa disembunyikan lagi. Aku tidak bisa memelihara kucing di rumah, jadi sangat jarang berinteraksi dengan kucing. Memegang kucing selucu Nyan adalah kebahagiaan tersendiri.

Aku kembali memandang Eiji. Mengejutkan, wajahnya memerah, begitu juga dengan telinganya. Aku ikut terdiam. Aku tidak bodoh. Eiji memerah bukan tanpa alasan. Dan aku berlagak bodoh seperti tidak menyadarinya.

“G-gue balik dulu. Nanti gue bakal ambil Vey lagi.” Tanpa memandang Eiji, aku memutar badan, pergi dari rumahnya dengan segera.

Argh, kenapa wajahnya memerah? Aku kan tidak berbuat apa pun.

≽^⩊^≼

Don't Approach Nyan✔Onde as histórias ganham vida. Descobre agora