chapter 06

41 5 0
                                    

Gian mengajakku ke rumah Ami. Aku butuh asupan kucing setelah terakhir kali memegang Nyan. Seperti yang kalian tahu, rumah Ami ada di satu gang yang sama dengan rumah Eiji. Ami adalah teman dekat Gian di sekolah dan di lingkungan rumah. Kadang aku bertanya-tanya apakah mereka saling menyukai karena tidak mungkin ada persahabatan di antara perempuan dan laki-laki. Ya, terserah mereka, toh itu bukan urusanku.

Ketika sampai di depan rumah, gadis berambut pendek itu berada di depan garasi, celingukan dengan wajah bingung.

“Cari apa?” Tanya Gian begitu masuk ke halaman rumah Ami.

“Minmin, kayaknya dia keluar deh,” jawab Ami. Minmin adalah kucing Ami, dia jantan dan berambut oranye. Seperti kucing oranye kebanyakan, Minmin sangat hiperaktif, aneh, dan kadang menyebalkan. “Gue takut dia ke rumah Bang Eiji, nanti gue kena amuk lagi,” lanjutnya.

Mendengar nama Eiji disebut, aku langsung mengernyit. Laki-laki itu masih menyebalkan rupanya. Eiji pasti memusuhi Minmin yang padahal hanya ingin mendekati Nyan. Siapa yang tidak menyukai Nyan yang secantik itu?

“Kak, tolong lihatin di rumahnya Bang Eiji dong. Lo kan deket sama dia,” Ami tiba-tiba merangkul lenganku, wajah imut yang dibuat-buat olehnya itu terlihat menyebalkan.

Hah? Dekat? Tidak tuh.

“Iya iya.”

Dengan malas aku berjalan ke rumah Eiji yang hanya berjarak lima rumah dari rumah Ami. Begitu sampai di depan rumah Eiji, wajahku menjadi datar. Hah, lihatlah itu. Entah aku harus tertawa ngakak atau menggeleng heran. Eiji berdiri di teras sambil menggendong Nyan, wajahnya terlihat keras, sedangkan Minmin bergelantung di kaki laki-laki itu, berusaha menggapai Nyan.

Minmin, kamu salah pilih gebetan.

“Ra, tolong!” Eiji yang melihatku hanya berdiri di tempat langsung berteriak. Wajah garangnya berubah menyedihkan.

Aku melangkah mendekat, cepat-cepat menggendong Minmin. Begitu kucing oranye itu berada di tanganku, Eiji bernapas lega. Aku menatapnya sinis. Merepotkan sekali manusia satu ini. Mengabaikan Eiji, aku memandang Nyan. Wah, sudah lama aku tidak melihat kucing cantik ini.

Seperti biasa, begitu aku melayangkan tatapan tante girang seperti yang dikatakan Eiji, laki-laki itu langsung menjauhkan Nyan dariku. Argh, menyebalkan.

“Gue balik.” Tidak ada alasan lagi aku berada di sini, lebih baik aku kembali ke rumah Ami.

“Gue bikin cookies, lo mau?”

Aku meliriknya, berpikir sebentar.

“Mau, gue balikin Minmin dulu.”

Sebenarnya aku sangat penasaran dengan masakan Eiji. Sepertinya dia memang jago memasak. Maka dari itu setelah mengembalikan Minmin kepada Ami, aku dengan semangat memasuki rumah Eiji. Bau wangi butter semerbak memenuhi ruangan. Eiji berada di dapur, dia baru saja mengeluarkan cookies dari oven. Tangannya melambai, menyuruhku duduk di kursi meja makan.

“Baunya enak,” celetukku begitu duduk di depan meja makan yang penuh dengan loyang berisi cookies. Air liurku bisa menetes jika begini.

“Ambil di loyang paling pojok, itu udah agak dingin,” kata Eiji.

Aku langsung mencomot satu cookies dan melahapnya setelah mengatakan terima kasih. Hmmm… rasanya enak. Meleleh di mulutku.

“Kenapa bikin cookies?”

Eiji memandangku dengan dahi mengerut. “Gara-gara lo bilang kerjaan gue nonton anime doang.”

Aku tertawa, ternyata dia memikirkan ledekanku saat itu, padahal aku hanya bercanda.

“Kopi atau susu?” Tanya Eiji tiba-tiba. Sepertinya dia akan membuat minuman pendamping cookies.

“Kopi,” jawabku.

Setelah dua gelas kopi jadi, Eiji mengajakku ke lantai atas rumahnya. Katanya ada rooftop di sana. Dari sini aku dapat melihat rumah-rumah warga. Sinar matahari cukup panas karena sudah mendekati tengah hari. Kami duduk di kursi yang berhadapan dengan meja kayu di tengahnya.

“Oh, ya. Lo nggak mau Nyan punya anak kah? Kenapa Minmin gak boleh deketin dia?” Tanpa sadar suaraku meninggi. Di kepalaku sekarang penuh dengan pertanyaan dan dugaan mengenai Eiji yang sangat protektif kepada Nyan.

“Ya, itu alasan gue nggak mau kucing jantan deketin Nyan. Gue nggak mau ngurus kucing lagi. Cukup Nyan doang,” jawab Eiji.

Masuk akal. Alasannya bisa diterima. Jika aku menjadi Eiji, aku juga pasti punya alasan yang sama. Punya satu kucing saja sudah susah. Kucing pasti beranak banyak, akan merepotkan mengurusnya.

“Terus, kenapa orang lain nggak boleh deketin Nyan?”

Hening. Eiji hanya memutar jarinya di atas gelas, tampak ragu menjawab. Wajahnya terlihat tidak nyaman. Rasa penasaranmu terhadap Eiji harus dibatasi, Ra. Tidak semua pertanyaan harus dijawab.

“Lupain,” kataku setelah sekian lama keheningan menyelimuti.

Ah, kali ini aku sudah kelewatan.

≽^⩊^≼

Don't Approach Nyan✔Where stories live. Discover now