Pertiwiku Hilang

0 0 0
                                    

Setelah hampir tujuh tahun aku mengabdi sebagai budak korporat yang terus mementingkan kerja, kerja, dan kerja, hari ini aku memutuskan untuk berlibur ke kampung halamanku yang berada di pelosok kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Setelah mengambil cuti tujuh hari, aku memboyong serta dua temanku untuk ikut bergabung ke dalam edisi healing ini. Mereka Tyo dan Adam, teman satu kantor, tetapi beda divisi. Tyo dari divisi pemasaran, Adam dari divisi personalia, sedangkan aku dari divisi produksi. Jika ditanya mengapa kami bisa dekat padahal kami berada di divisi yang berbeda, singkatnya karena kami bertiga dulunya adalah tiga orang asing yang mengikuti interview di hari yang sama. Saling menyapa hingga sampai sekarang kami menjadi sebuah tim yang kompak dalam menjelajah alam.

"Ini masih jauh lagi, Jo?" tanya Tyo dari kursi belakang.

"Sekitar satu setengah jam lagi," jawabku.

Tyo mengangguk kecil, lalu kembali fokus melihat sekitaran jalan yang banyak ditumbuhi pohon kelapa sawit.

Perjalanan ke kampung halamanku biasanya memakan waktu sekitar empat jam dari kota Medan. Selama perjalanan itu pula, mata kalian akan disuguhi oleh deretan pohon kelapa sawit karena mata pencaharian di sini kebanyakan bersumber dari pohon tersebut. Padahal, dulunya pohon karet menjadi salah satu sumber mata uang yang banyak dijadikan ladang pekerjaan. Namun, karena saat ini harga karet semakin turun, para petani banyak yang beralih ke pohon kelapa sawit.

Jujur saja aku lebih suka melihat pemandangan pohon karet dibandingkan kelapa sawit, hawa yang dihasilkan jauh berbeda. Dulu ketika aku pulang ke kampung halaman di umur 10 tahun, sekitaran jalan terasa sangat sejuk karena pohon karet biasanya tumbuh merimbun. Sepanjang jalan, telinga akan dimanjakan oleh nyanyian burung dan suara kelatak─buah pohon karet─yang jatuh dan menimbulkan suara 'tak tak' yang bersahut-sahutan.  Lalu, suara daun yang saling bergesekan pun menambah tenang.

"Masih lama lagi, Jo? Aku mulai mual. Jalan ke kampung kau berasa lagi naek kuda."

Aku tertawa mendengar penuturan Adam. Aku tahu betul kalau dia tidak kuat berkendara jauh menggunakan mobil. Adam gampang mabuk, ditambah lagi dengan keadaan jalan yang berlubang. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana gejolak di dalam perutnya.

"Lumayan ini. Kuat nggak kau? Kalo nggak kuat, kita berhenti dulu aja, sekalian makan siang."

Adam mengangguk lemas, sekali lagi aku tertawa, begitu pun Tyo yang sedari tadi malah asyik mengunyah kuaci. "Lemah kali ketua," ujarnya lalu tertawa lagi.

Aku menepikan mobil di salah satu rumah makan khas Jawa. Ah, aku lupa mengatakan kalau di sekitaran kampungku, mayoritas penduduknya adalah suku Jawa dan Karo. Saking dekatnya kedua suku tersebut, warga di sini sampai bisa menggunakan bahasa daerah dari suku tetangga. Suku Jawa mahir menggunakan bahasa daerah suku Karo, dan begitu pun sebaliknya.

Kami memilih duduk di gubuk yang berada tepat di depan warung, sambil melihat keadaan sekitar yang sudah tidak seasri dulu. Aku ingat betul, dulu di seberang jalan masih ditumbuhi oleh pohon-pohon jati dan pohon kelapa, sedangkan sekarang sudah penuh diisi oleh bangunan rumah warga.

"Mau ada pesta ya, Buk?" tanyaku pada pemilik warung, sebab kulihat tak jauh dari posisi kami saat ini, ada tenda yang biasanya menandakan akan ada pesta.

"Iya, Dek, nanti sore ada jarkep," jawab pemilik warung setelah menaruh pesanan kami.

"Jarkep apaan, Jo?" Tyo berbisik. Aku kaget dan spontan mendorong wajahnya yang tadi sangat dekat dengan wajahku.

"Astaghfirullah ...," gumamku, Tyo malah nyengir.

"Jarkep itu apa?" tanyanya lagi.

"Jaran kepang, itu singkatan."

Jendela HatiWhere stories live. Discover now