23. Semua baik-baik saja [end]

374 13 6
                                    

Bagaimana mungkin mereka bisa mengetahuinya? Naluri orang tua? Pengalaman sedari muda? Atau kami saja yang terlalu ketara?

Aku dan Geni baru saja kembali dari kamar kos Luki. Masih terdapat cipratan darah pada tubuh dan bajuku. Begitu pun dengan Geni karena kejadian seusai Luki dibawa pergi.

“Maaf.” ucapku pada kedua orang tuaku.

Kami berempat berdiri di teras. Belum sempat masuk kedalam rumah karena sepertinya aku akan langsung disidang bahkan dicincang.

Ibu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar.

“Entah kenapa kau memang selalu dihampiri masalah.” ucap ibu, “Tapi salah kami juga kenapa tidak lebih menjagamu.”

Karena aku alpha dan keras kepala kan? Itu sebabnya kedua orang tuaku menaruh kepercayaan padaku. Mereka pikir aku sanggup menjaga diri. Jika menyangkut keselamatan memang benar. Tapi di luar itu kondisinya berbeda.

“Kami tahu kalian sudah berbuat macam-macam.” Kali ini ayah yang bicara.

“Maaf karena sudah ingkar janji.”

“Akulah yang membuat kak Gabriel ingkar janji.” Geni menyahut.

“Ini bukan kesalahan Geni.” tegasku, “Dia hanya tidak punya pilihan lain. Kalau saja aku lebih berhati-hati tidak akan begini.”

Aku tidak selemah yang tampak dari luar. Bisa dilihat bagaimana aku membuat Luki babak belur tanpa kesusahan. Aku cukup kuat dalam pertarungan. Sayangnya jika belum merasa perlu aku selalu belagak kalah dengan diam saja atau memberi perlawanan sekadarnya. Aku tidak serta merta berusaha sekuat tenaga. Kalau saja sebelum cairan perangsang itu Luki minumkan padaku aku sudah melepaskan ikatan tanganku dan menghajarnya, hasil akhirnya akan berbeda. Aku tidak perlu ingkar janji.

“Sudah terlanjur terjadi. Mau bagaimana lagi kan.” Ayah bergumam.

“Cepat masuk dan mandi.” Ibu menyuruhku dan Geni.

Kami tidak dimarahi? Tidak dimaki-maki, dicincang dimutilasi, atau dikebiri? Tidak sama sekali?

“Kalian... memaafkan kami?” tanyaku, “Maksudku, aku sudah ingkar janji dan Geni terseret masalah ini. Kalian tidak memarahi kami.”

“Kenapa harus dimarahi?” Ayah malah bertanya, “Kalian sudah menikah.”

“Tapi aku dilarang macam-macam pada Geni kan?”

“Sebenarnya memang begitu. Tapi dia adalah mate-mu. Ditambah lagi upacara pernikahan dari tradisi kedua keluarga. Kau juga sudah mengikatnya. Semua itu membuat kalian saling tarik-menarik dengan nafsu yang sulit terkendali.

Yang penting kalian saling mencintai. Dan lain kali bermainlah dengan pelan-pelan. Jangan lupa menggunakan pengaman.”

Bagian terakhir dari omongan ayah membuatku dan Geni malu setengah mati. Seolah yang kami lakukan di kamar Luki sudah menjadi tontonan umum hingga bagaimana tiap detailnya ayah bisa tahu. Padahal tidak mungkin begitu. Ayah cuma berhasil menebak dengan mengetahui kondisiku dan Geni saat ini.

“Sudah kubilang cepat masuk dan mandi.” tegas ibu, “Kami akan ke rumah keluarga Ibrahim. Kalian tidak perlu menyusul. Istirahat saja. Nanti aku yang akan menjelaskan kondisi kalian.”

“Tapi untuk apa ke rumah keluargaku?” tanya Geni.

“Sidang yang sebenarnya akan dilakukan di sana?” tebakku.

“Sidang apa?” tanya ibu, “Ayahnya Geni sudah pulang dari rumah sakit. Kami kesana untuk melihat kondisinya yang kabarnya benar-benar sembuh total.”

“Ayahku sembuh total?” tanya Geni.

“Ya. Dinyatakan sembuh total secara ajaib. Diyakini berkat doa semua orang dan anugrah Tuhan.” jelas ayah.

“Tapi bisa jadi hubungan kalian juga sangat berperan.” tambah ibu.

“Jadi ayahku sudah sembuh total.” gumam Geni. “Syukurlah.”

“Kami akan menyusul kesana setelah mandi.” janjiku.

“Bukankah kalian butuh istirahat?”

“Kami akan baik-baik saja setelah mandi.”

“Baiklah, terserah saja kalau begitu. Kami pergi lebih dulu.”

Ayah dan ibu pun berjalan meninggalkan teras menuju mobil yang terparkir di halaman depan. Tidak lama, mereka sudah terlihat pergi melewati gerbang dengan mobilnya. Ternyata semua baik-baik saja.

“Kukira aku akan dikebiri.” gumamku sambil menatap bekas keberadaan mobil orang tuaku.

“Eh?”

“Aku sudah ingkar janji. Ini yang pertama kali. Maksudku, biasanya aku menuruti apapun kemauan orang tuaku. Aku taat pada aturan mereka. Jadi saat tiba-tiba membuat pelanggaran, kukira mereka akan sangat kecewa.”

“Kau berpikir sampai sedalam itu?”

“Mau bagaimana lagi kan? Aku anak bungsu. Ketiga kakakku tipe pembangkang. Pikirku, sebagai harapan terakhir setidaknya aku akan jadi anak yang baik.

Tapi bukan cuma alasan mengharukan itu yang kupunya. Memang dasarnya aku pemalas dan tanpa ambisi. Jadi disuruh apapun iya-iya saja. Dilarang ya sudah. Tidak perlu membuang tenaga.”

Geni malah tertawa.

“Ada yang lucu?”

Dia menggelengkan kepalanya. Tapi masih tertawa.

“Kau jauh dari image yang pertama kali kutangkap darimu.”

“Sangat berbeda dari kesan pertama?”

Dia mengangguk.

“Aku sempat mengira kau misterius.”

“Ah, dulu rambutku hitam kan? Aku sering dianggap begitu saat rambutku belum kembali ke warna asli.”

“Mungkin memang karena warna rambut dan kulitmu. Atau mungkin juga wajah tanpa ekspresimu.”

“Aku cukup ekspresif.”

“Hanya kalau sudah merasa nyaman dan dekat kan?”

Dia benar.

“Ternyata kau orang yang biasa-biasa saja.” Ya. “Tapi justru biasa-biasa saja itu yang membuat berbeda. Karena orang lain cenderung berusaha jadi berbeda. Terlalu heboh. Belagak unik padahal tidak spesial sedikit pun.

Aku senang bisa menjadi suamimu. Juga... menangani selangkanganmu.” Ha?

Dia langsung masuk kedalam rumah setelah mengucapkannya. Setelah membahas karakterku yang berlanjut pada selangkangan. Apa dia tidak terlalu santai dengan apa yang sudah kami lakukan? Dia menyukainya? Menikmatinya?

Tapi... ya. Memangnya kenapa? Kami sudah menikah. Mau melakukan lebih pun tidak akan jadi masalah. Yang penting tetap mengingat pesan ayah. Dan harus bahagia. Nafsu ada bersamaan dengan cinta.

***

END
08:30 wib
6 November 2023
reo

Cerita ini menyimpang dari rencana. Awalnya aku berniat menceritakan ketidakpercayaan Geni pada cinta Gabriel. Tapi selama menulis aku justru menggambarkan mereka sebagai pasangan yang sama-sama ‘mau’.

Lalu tentang karakter. Aku tidak bisa memperlihat karakter Gabriel dengan jelas. Bahkan aku sendiri bingung dia orang seperti apa.

Hingga akhirnya cerita sudah berjalan terlalu panjang. Konflik utama belum muncul. Kejutan-kejutan tidak bisa disisipkan. Dan lain sebagainya.

Aku menyerah. Jadi inilah hasilnya. Tamat begini saja. Maaf.

GravityWhere stories live. Discover now