21. Keras kepala

151 15 0
                                    

Perdebatanku dengan ibu mengenai mobil yang diberikannya padaku berlangsung hingga malam. Bahkan setelah Geni pulang. Kata ibu aku keras kepala. Sementara menurutku ibu terlalu seenaknya.

Nah, itu sudah kejadian kemarin. Sekarang lebih baik dilupakan. Aku hanya perlu menjalani hari-hari seperti biasa tanpa bahasan tentang mobil mewah. Tapi, sepertinya tidak juga.

“Ibumu bilang kau tidak mau memakai mobil barumu ke kampus. Kenapa?” tanya ayah pagi-pagi begitu aku mau sarapan dengannya.

“Malu.” jawabku.

“Kenapa harus malu kalau bukan mobil curian? Tidak suka warnanya? Bisa diganti.”

Bukan soal warna. Perkara semacam itu mudah diselesaikan. Tapi yang ini berbeda.

“Nanti dikira anak orang kaya.”

“Ya ampun, Gabriel. Orang lain miskin pun ingin terlihat kaya. Kalau sebagai orang tua kami mampu membelikanmu mobil baru memangnya kenapa?”

“Aku tidak akan menolak kalau mobilnya setara mobil yang lama.”

“Dia sama saja dengan Geni.” Ibu yang datang dari arah dapur sambil membawa semangkuk sayur asam menyahut, “Ibunya bilang Geni juga tidak mau dibelikan motor seperti milik teman-temannya. Di tahun sekarang dia lebih memilih motor bebek lama ayahnya.”

“Tampil sederhana itu bagus.”

“Katakan itu kalau baju yang kau pakai tidak seperti model sedang fashion show.”

Memangnya apa yang salah dengan pakaianku? Aku tidak berpenampilan hehoh. Bahkan tidak ada gambar atau tulisan pada atasan dan bawahanku.

“Ini sayur asamnya tidak terlalu pedas.” jelas ibu di tengah omelannya, “Kalau kurang pakai sambal saja.”

“Ini daun melinjo?” tanyaku.

“Daun melinjo itu namanya so.”

Aku tahu. Tapi kan tidak salah juga disebut daun melinjo. Sepertinya ibu memetik daunnya di halaman belakang. Di sana ada pohon melinjo yang umurnya lebih tua dariku.

“Makan yang banyak. Di dapur masih ada lagi.”

Soal itu tidak perlu dijelaskan. Aku tahu ibu selalu memasak apapun dalam jumlah banyak. Porsinya sudah seperti warung makan.

“Kemarin juga ada yang mengganggumu di jalan kan, Gabriel?” tanya ayah.

“Iya.”

“Apa kau ingin diantar jemput saja?”

Itu lebih memalukan dari memakai mobil mewah.

“Tidak perlu. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

“Tapi kemarin kau selamat karena ada Geni kan? Belum tentu dia bisa menolongmu lagi.”

“Percaya saja padaku. Aku benar-benar bisa menjaga diri.”

Tinjuku lumayan keras. Kalau hanya untuk melawan beta atau omega bagiku cukup mudah. Hanya mungkin kewalahan kalau jumlahnya terlalu banyak. Tapi tetap saja tidak masalah. Dengan sesama alpha pun sebenarnya aku masih akan baik-baik saja, kalau mau lebih berusaha.

***

Ya, masih baik-baik saja. Secara fisik tidak masalah. Sedangkan secara mental rasanya ingin mengamuk sejadi-jadinya.

Aku berangkat ke kampus menggunakan motor seusai sarapan. Kuparkirkan motorku di antara kendaraan beroda 2 lainnya saat tiba. Kupikir aku bisa langsung menuju kelas. Sialnya lagi-lagi Luki muncul di hadapanku dengan senyum lebarnya yang menjengkelkan.

GravityWhere stories live. Discover now