13. Emosional

221 18 9
                                    

Kukira Geni sudah mulai memaafkanku. Tapi setelah kupikir ulang, ternyata dia hanya bersikap sesuai kebutuhan.

Ini berhubungan dengan keluarganya. Lebih tepatnya kali ini khusus mengenai ayahnya. Berkat upacara pernikahan—menurut orang-orang—ayah Geni berhasil diselamatkan. Tidak lagi dalam kondisi gawat meski masih perlu menjalani rawat inap di rumah sakit.

Sekarang, karena hubunganku dengan Geni renggang, peringatan itu kudapatkan.

“Kau baik-baik saja dengan Geni kan, Gabriel?” tanya ibu melalui telephone saat aku baru masuk melewati pintu kamar Geni.

“Kenapa?”

“Kondisi ayahnya kembali menurun. Kami khawatir itu karena hubungan kalian kurang baik.”

Jadi... hubunganku dan Geni berpengaruh pada hal semacam itu?

“Kalau memang tidak ada masalah ya sudah. Tolong jaga hubungan baik kalian. Dan yang terpenting jangan selingkuh. Kau terlanjur menikahinya, jadi setialah sebagai seorang suami.”

“Aku mengerti.”

Obrolan dengan ibu berakhir. Di detik selanjutnya, aku jadi tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

“Kau bisa duduk di mana pun.” ucap Geni padaku.

Dia duduk di lantai beralas karpet dengan sebuah meja kecil di hadapannya yang dipenuhi sekian peralatan sekolah. Tampak sibuk.

“Ibuku baru memberitahuku kalau kondisi ayahmu menurun.” jelasku, masih berdiri.

“Ya. Ibuku juga baru mengabariku.” Oh.

“Apa... dia memperingatkanmu tentang sesuatu?”

Geni menoleh padaku. Menatap dengan ekspresi yang menunjukkan seolah ada yang aneh dengan pertanyaanku.

“Sesuatu apa? Kenapa aku harus diperingatkan?”

Dia tidak mendapatkan peringatan yang sama.

“Tentang kesehatan.” jawabku, “Kau harus menjaga pola makanmu agar terus sehat, misalnya.”

“Aku sudah paham pentingnya menjaga pola makan sejak kecil. Di TK pun hal itu diajarkan.”

Benarkah? Aku tidak inget TK tempatku bersekolah mengajarkan tentang pola makan. Tapi 4 sehat 5 sempurna memang sering disebutkan. Dan sepertinya memang cuma aku yang mendapat peringatan. Mungkin karena aku lebih tua. Harus banyak mengalah saat muncul masalah. Juga harus lebih peka.

“Kenapa kau masih berdiri? Kubilang duduk saja dimana pun kau mau kan?”

Aku akan duduk di sampingnya.

“Kau selalu belajar di sini?” tanyaku, berbasa-basi, “Tidak khawatir masuk angin? Perutku bisa kembung kalau duduk di lantai.”

Dia melirikku dengan tatapan yang menggambarkan rasa menyerah.

“Kau boleh duduk di kursi, kak Gabriel.” jelasnya, “Duduk di kasur atau berguling-guling di sana pun terserah. Tapi tolong perbaiki cara basa basimu.” Dia tahu aku cuma basa-basi, “Kalau memang tidak bisa, bicaralah dengan gayamu yang seperti biasa.”

“Kau memang ketus pada semua orang atau hanya padaku saja?”

Dia langsung mengabaikanku. Sibuk menulis pada buku pelajarannya.

“Ibu memperingatkanku agar menjaga hubungan baik denganmu.” jelasku, “Karena... hubungan kita berpengaruh pada kondisi keluarga.”

“Maksudmu pada kondisi ayahku?”

“Untuk kali ini iya.”

“Aku tidak pernah mendapat peringatan semacam itu. Tapi dengan melihat keadaan, kupikir hubungan kita memang berpengaruh.”

Dia peka, tidak sepertiku.

“Mantan pacarmu lebih dari 6 orang kan?” Ha?

Mendadak dia mengalihkan bahasan. Langsung pada masalah yang membuat kami berada di situasi sekarang.

“Perempuan yang kulihat bersamamu tahun lalu, tadi tidak berada di kafe.”

“Perempuan yang mana?”

Dia segera membuka galery pada ponselnya. Lalu menunjukkan fotoku. Itu... memang aku setahun lalu. Bisa kuingat karena warna dan panjang rambutku.

“Kau menghampiri perempuan setelah foto ini kuambil.”

“Bagaimana kau bisa mengambil foto itu?”

“Kita sedang membahas perempuan itu.” tegasnya, “Kalian pacaran kan saat itu? Selain dia dan 6 orang tadi, ada berapa lagi mantan pacarmu?”

“Hanya mantan pacar kan? Aku bukan sedang selingkuh.”

“Kenapa tidak kau jawab saja berapa jumlah mantan pacarmu!?” Dia membentakku dengan suara bergetar.

Sejujurnya aku terkejut. Kukira dia tidak semarah itu. Tapi dibanding marah, sepertinya dia lebihh merasa kecewa.

“Maaf.” pintaku.

“Masih saja tidak mau menjawab.” gumamnya, lemah.

Dia membuatku merasa bersalah. Seolah aku baru melakukan dosa sangat besar yang menyakitinya.

“Bukan begitu.” jelasku, “Aku hanya tidak pernah menghitung jumlah mantan pacarku.”

“Tidak dihitung karena tak terhitung.”

“Kenapa kau memojokkanku? Mantan pacar memang tidak perlu dihitung kan? Apa gunanya? Hubungan kami sudah berakhir jadi ya sudah.”

Dia terdiam. Sekadar menatapku dengan ekspresi campur aduk yang sulit kuartikan.

“Maaf.” ucapku, kedua kalinya, “Aku terkesan tidak bisa serius saat menjalin hubungan. Kuakui selama ini aku memang tidak pernah berjuang mempertahankan hubungan baik saat berpacaran. Aku menjalani sekadarnya lalu mengakhiri begitu saja.”

“Kau itu cinta pertamaku.” Eh? “Aku sudah menyukaimu sejak setahun lalu.”

Aku tidak ingat kami pernah bertemu tahun lalu. Tapi kalau melihat foto yang dia tunjukkan padaku, artinya kami memang pernah berada di tempat yang sama.

“Sudahlah. Seharusnya aku tidak emosional.”

“Tapi aku senang kau marah padaku.”

“Ha?”

“Aku juga senang mendengar pengakuanmu kalau aku adalah cinta pertamamu.”

“Jangan meledekku.”

Aku tidak meledeknya kan? Aku cuma mengatakan kalau aku senang mendengar pengakuannya.

“Cepat pindah ke kursi.” Dia memerintah, “Aku tidak mau kau menyalahkanku kalau tiba-tiba masuk angin.”

“Aku masih ingin bicara denganmu.”

“Apa tidak bisa kalau kau duduk di kursi?”

“Tidak bisa sambil memelukmu.”

Kedua matanya membulat lebar. Tapi aku tidak memperdulikan itu karena kedua tanganku sudah bergerak begitu saja melingkari pinggangnya dan kutempelkan dadaku pada punggungnya.

“Lanjutkan saja belajarmu. Aku tidak akan berbuat lebih jauh.”

“... Aku ingin meninjumu.” Ha?

Memangnya apa salahku? Aku hanya memeluk suamiku. Tidak ada yang salah dengan hal itu kan? Dia milikku. Apa salahnya kalau kusentuh?

***

11:22 wib
1 November 2023
reo

Emosi keduanya kurang tergambar dengan baik setelah Geni mengakui Gabriel sebagai cinta pertamanya. Itu karena ada jeda saat aku menulisnya. Sempat berhenti karena urusan pekerjaan. Saat mau kulanjutkan nuansanya terlanjur buyar.








GravityWhere stories live. Discover now