11. Rencana kencan

246 20 9
                                    

Geni ngambek.

“Kenapa aku jadi tidak tenang begini?” batinku sambil berjalan memasuki rumah.

Ada ayah di ruang tamu. Sedang mengelus-elus ayam jago yang beralas underpad.

“Baru menjenguk ayah mertuamu?”

“Ya.” jawabku yang lalu jongkok di sampingnya, “Ini ayam baru?”

“Ini anaknya Grandong.” Nama ayam jagonya yang terkenal pada masanya, “Tinggal ini soalnya yang lain dibeli orang-orang bulan lalu.”

Ho, jadi itu ayam hasil ternak sendiri.

“Ini yang paling hebat. Pukulannya bagh-bagh-bagh.” Apa sih? “Jalunya juga kuat.”

“Aduan ayam itu melanggar hukum loh. Bisa ditangkap polisi.”

“Halah, polisinya ikut sabung ayam juga. Apa kamu lupa pak Sudar yang sering kesini? Dia kan polisi tapi biasa nonton sabung ayam. Malah direkam juga.”

“Direkam untuk dijadikan barang bukti.”

“Ditonton saat sedang sendiri.”

Ayah benar-benar tidak mau kalah.

“Sabung ayam kan judi, Yah.”

“Yang namanya ayam jago tidak diadu pun kalau bertemu sesama jago ya saling pukul.”

Aku permah melihat kejadian itu, memang, di peternakan ayam Bangkok milik ayah. Makanya aku malas kesana. Karena ayam-ayamnya galak.

“Penyuka sabung ayam cuma memanfaatkan keadaan. Jadilah mereka taruhan. Dan yang namanya taruhan itu lumrah. Anak kecil saja kalau ada apa-apa juga gampang taruhan.”

“Kalau kalah kehabisan uang bisa jual tanah jual rumah. Anak istrinya makan apa?”

“Itu urusan rumah tangga mereka.”

“Peternak 1 ini.”

Ayah tertawa. Begitulah ayah, tidak terlalu mementingkan hal di luar sana. Entah itu dosa, pelanggaran hukum, atau apapun, dia selalu menyerahkan pada masing-masing pelaku. Baginya yang penting hanya bekerja sambil menikmati hidup. Ya, menikmati hidup. Seperti yang dia lakukan dengan beternak ayam sebagai kegiatan sampingan.

“Ini.” Ayah menyerahkan ponselnya padaku, “Tolong kau potret ayam ini.” Ha? “Tunggu dulu. Kalau di sini kurang bagus.”

Ayah mengangkat ayamnya. Memindahkannya ke atas sofa tanpa membawa serta underpad.

“Dia bisa buang kotoran di situ.” Aku berusaha mengingatkan.

“Tinggal dibersihkan. Yang penting foto dulu.”

“Kalau ibu marah aku tidak ikut-ikut.”

“Jangan banyak omong. Mumpung ibumu belum marah.”

Ya Tuhan, ayah. Dia selalu seenaknya kalau sudah berkaitan dengan ayam peliharaannya. Dulu juga, saking sayangnya pada ayam, pernah ada 1 ayam jago yang diletakkan di samping ranjang tidurnya. Tentu saja ibu marah. Tapi... sudahlah.

***

Ibu benar-benar marah. Memang tidak mengamuk layaknya setan yang murka. Ibu hanya... mendiamkan ayah. Gara-gara ayam, tentu saja.

Kejadiannya berlangsung beberapa jam yang lalu. Aku baru selesai memotret ayam yang ayah letakkan di atas sofa. Ayah melihat-lihat hasilnya dengan bahagia. Lalu ibu datang, pulang dari memeriksa toko yang entah di cabang mana. Melihat ayam di atas sofa membuatnya kesal. Terlebih lagi karena ayam itu membuang kotoran sesuai dugaanku.

GravityWhere stories live. Discover now