17. Ganjil

153 19 0
                                    

Dia berubah menjadi makhluk aneh. Maksudku Luki. Aku tidak bicara tentang rambut super pendeknya. Karena ini adalah tentang sikapnya.

Tentu saja aku ingat Luki seorang laki-laki ramah yang terbiasa tersenyum, bahkan tertawa saat bahagia atau merasa ada yang lucu. Tapi ini bukan itu. Dia tersenyum, masih tampak ramah, hanya saja terasa berbeda.

“Selamat pagi, Gabriel.” sapanya begitu kutinggalkan mobilku di parkiran.

Untuk apa dia menyapaku? Hal semacam itu tidak dibutuhkan bagi sesama mahasiswa.

“Ya, memang masih pagi.” jawabku sambil berjalan melewatinya.

Dia langsung mengikutiku. Aku berusaha mengabaikannya. Juga menambah kecepatan berjalan agar jarak kami lebih jauh. Tapi dia justru ikut mempercepat dan berpindah ke sampingku.

Kuhentikan langkahku. Dia pun berhenti.

“Apa yang kau mau?” tanyaku.

Dia masih tersenyum.

“Jadwal kuliah kita sama. Jadi aku hanya menuju kelas yang sama denganmu.” jelasnya.

Dia benar, tapi aku yakin niatnya lebih dari itu. Semalam dia masih menyatakan cinta berulang kali meski sudah kutolak setegas mungkin. Sekarang dia bertingkah aneh begini.

“Kau tahu aku pemarah kan, Luki?”

Dia tertawa, pelan.

“Jangan aneh-aneh, mengerti?” Aku berusaha memperingatkannya. Di detik selanjutnya, aku kembali berjalan. Berusaha berbaur dengan sekian mahasiswa lain untuk menghindarinya.

***

Kularang berbuat aneh pun Luki tetap dengan kelakuannya. Nomornya sudah kublokir akibat spam pernyataan cinta semalam. Tapi bisa-bisanya dia mengirim dengan nomor baru. Dan itu dilakukannya di tengah jam kuliah saat dosen menerangkan tugas yang harus dikumpulkan 2 minggu lagi. Konsentrasiku terpecah gara-gara ulahnya. Dasar makhluk sialan!

“Hey.” panggilku pada Ayu yang kebetulan sekali duduk di sebelah kiriku, pelan.

Dia menoleh padaku.

“Tolong kendalikan suamimu.” pintaku, “Dia sangat mengganggu.”

“Maksudmu Luki?”

Memangnya siapa lagi?

“Aku sudah menyerah tentangnya.” Eh? “Sekarang aku sedang berusaha mencintai pacarku.”

“Kau... berpacaran dengan orang lain?” tanyaku.

“Sejak semalam.” Oh, “Itulah alasanku duduk di sebelahmu. Aku ingin memberitahumu hal itu. Luki sangat mencintaimu, Gabriel. Karena aku sudah menyerah, kau bisa berpacaran dengannya.”

“Aku tidak akan berpacaran dengannya.” Tidak akan pernah.

“Kenapa? Kalian terlihat serasi, walau sesama alpha. Dulu aku tidak mau mengakui itu, tapi kalian memang serasi.”

Yang benar saja. Aku dan Luki hanya berteman. Kalau harus mengubah nama hubungan, jika bukan asing ya bermusuhan. Tidak akan pernah berpacaran.

“Yang serasi denganku cuma Geni, bukan Luki.”

“Geni? Api? Maksudmu tipe idealmu seseorang yang terlihat panas? Menggoda? Atau... berbahaya?”

Malas sekali menjelaskannya. Kenapa juga tadi aku kelepasan menyebut nama suamiku?

“Yang pasti bukan Luki.” tegasku.

“Dia seksi, kau setuju kan?”

Tidak. Bagiku Luki tidak seksi sama sekali. Dia hanya bertubuh lebih tinggi dariku. Selebihnya, dia sama seperti alpha pada umumnya.

“Pada dasarnya semua alpha memang seksi. Termasuk kau juga, Gabriel.”

Aku?

“Pikirkanlah sekali lagi. Aku akan senang kalau kau berpacaran dengan Luki.”

Mantan istri Luki ini membuatku merinding. Dia sama mengganggunya seperti Luki.

***

Benar-benar menyebalkan. Seharian aku dibuat kesal oleh Ĺuki yang tingkah anehnya semakin menjadi-jadi. Dia selalu terlihat kemana pun aku pergi. Juga selalu tersenyum setelah memanggil namaku. Menjijikkan sekali.

“Aku ingin Geni berada di sini.” batinku yang segera mendapat sebuah pesan dari Geni.

“Sepertinya rencana kencan hari minggu harus batal.” Itu yang tertulis pada pesannya.

“Kenapa?” balasku cepat-cepat.

Aku tidak rela kencan kami batal begitu saja.

“Ada persiapan untuk acara ulang tahun sekolah.”

“Dari pagi sampai sore?”

“Tidak bisa kupastikan.”

Mengecewakan. Tapi mau bagaimana lagi.

“Kita undur saja sampai kau punya waktu luang.” usulku.

“Maaf.”

“Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti.”

Tidak segera muncul pesan lanjutan. Kecepatannya berkurang, sampai kukira sudah tidak akan ada pesan lagi. Ternyata tidak, dia justru mengirim pesan yang membuatku langsung tertawa sendiri.

“Aku yang tidak bisa mengerti. Kenapa kencan kita selalu gagal begini.” Itu pesan dari Geni yang membuatku tertawa sampai jadi pusat perhatian sekian mahasiswa lain di taman.

“Tumben kau tertawa sendiri.” sapa Theo yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki yang langsung kukenali sebagai omega.

“Kau membuat jam pulangku molor.” keluhku.

“Maaf. Aku ada urusan lain barusan. Ah iya, kenalkan. Ini Nicholas. Dan Nicholas, ini yang bernama Gabriel.”

“Aku mahasiswa pindahan.” jelas Nicholas padaku.

“Yang sekarang tinggal sekamar dengan Theo dan main air tiap malam.” Tebakku, langsung membuat wajahnya merah karena semua yang kusebut benar.

“Gabriel!”

“Seterbuka itulah Theo padaku. Jadi silahkan hukum dia kapan pun kau mau.”

“Kenapa kau mengusiliku!?”

“Karena kau merusak jam pulangku.”

“Aku benar-benar ada uruaan lain barusan.”

“Ya-ya. Terserah kau saja.” Kusodorkan sebuah buku padanya, “Ini pesananmu. Batas peminjamannya 3 hari.”

“Bukan seminggu?”

“Tidak bisa seminggu. Kampus kita hanya punya 2. Antrian peminjamnya sangat panjang. Harus cepat dikembalikan untuk giliran.”

“Mana mungkin selesai dalam 3 hari. Seminggu saja pas-pasan.”

“Ada scanner di rumahmu kan, Theo? Kamera ponselmu juga bagus. Scan atau foto saja dulu.”

“Benar juga.”

Lamban.

“Ngomong-ngomong, terima kasih. Kalau tanpa bantuanmu belum tentu aku bisa meminjam buku ini.”

“Santai saja.”

Aku punya koneksi di perpustakaan. Intan. Dia bisa menemukan buku apapun untukku. Dia selalu siap membantu, walau tidak lagi berstatus sebagai pacarku.

Tunggu.

Kenapa aku merasakan sesuatu yang mengganjal? Ini insting yang biasa muncul pada alpha. Tapi memangnya tentang apa?

“Ada apa, Gabriel?” tanya Theo padaku.

Perasaan was-was ini... seakan ada masalah yang sedang menanti.

“Kau merasakan bahaya?” tebah Nicholas yang langsung membuatku menoleh padanya., “Aku seorang omega. Itu sebabnya aku cukup peka saat ada seorang alpha yang merasakan ancaman.”

“Kau merasa terancam, Gabriel?” tanya Theo.

Kualihkan pandanganku dari Nicholas untuk melirik sekitar. Sepertinya tidak ada apa-apa.

“Mungkin aku cuma lapar.” jawabku, “Aku pulang saja.”

Semoga saja memang cuma karena lapar. Aku tidak sempat sarapan dan tidak mengkonsumsi apapun sampai sekarang.

***

19:28 wib
3 November 2023
reo





GravityWhere stories live. Discover now