19. Disiram, lagi

171 16 5
                                    

Tidak kusangka Geni bisa manja begini. Dia sosok yang mandiri, setahuku. Sangat tegas saat mengambil keputusan. Dan tidak punya banyak pengalaman dalam berpacaran. Tapi dia yang sekarang berada di sampingku bisa-bisanya bertingkah begini.

Kami berada di rumahku. Rumah orang tuaku, lebih tepatnya. Kami duduk di taman samping setelah aku selesai meminta tolong pak Sutikno, salah 1 pekerja di rumah, untuk memeriksakan mobilku ke bengkel.

Geni berada di sisi kiriku. Menempelkan kepalanya ke bahuku dan memeluk pinggangku. Aroma manis tubuhnya lebih kuat dari biasanya.

“Apa terjadi sesuatu?” tanyaku.

“Apa maksudmu?” Dia balik bertanya, tanpa melepaskan pelukan.

“Bagaimana aku harus menjelaskannya? Kau... terlihat berbeda.”

“Kau yang berbeda.” Eh?

“Aku?”

“Rambutmu merah. Setahun lalu hitam dan lebih panjang.”

Ah, tentang itu.

“Rambutku rusak parah. Kering, bercabang, mudah patah, dan rontok. Jadi kuputuskan untuk berhenti mewarnai rambutku lagi.”

Dia segera menjauhkan kepalanya dari bahuku. Juga melepaskan pelukannya dariku. Menatapku. Memang ada yang berbeda darinya.

“Ini warna asli rambutmu?”

“Ya.” jawabku, “Merah kecoklatan, coklat kemerahan, atau apalah ini. Ayah bilang ini seperti rambut ibunya. Rambut nenekku.”

Aku tidak sempat bertemu dengannya. Fotonya juga tidak ada di rumah. Jadi aku tidak pernah melihat nenekku seperti apa. Hanya pernah mendengar kalau dia bertubuh tinggi ramping, berkulit putih, rambut merah, dan pendiam. Dia meninggal saat ayah masih remaja. Itu sebabnya aku tidak punya kesempatan bertemu dengannya.

“Aku lebih senang kau berambut hitam.” Dia mulai menyentuh rambutku, “Tapi merah begini pun kau tetap tampan.”

“Geni, kau yakin tadi tidak terjadi sesuatu?”

“Memangnya kau ingin kejadian yang bagaimana?”

“Bukan yang kuingin. Tapi kau... sungguhan berbeda.”

Dia tidak segera menjawab seperti sebelumnya. Yang dia lakukan justru menggerakkan jemarinya yang semula menyentuh rambutku beralih perlahan ke wajahku.

“Kau menahan diri untuk tidak menciumku.” Ucapnya yang langsung membuatku membelalakkan mata.

Darimana dia tahu?

“Kenapa? Apa bibirku tidak cukup menarik bagimu?”

“Bukan begitu. Aku terlanjur berjanji untuk tidak macam-macam padamu. Termasuk tidak menciummu sampai setidaknya 4 tahun lagi.”

“Itu terlalu lama.”

Mau bagaimana lagi kan? Dia masih di bawah umur. Meski tidak bisa disebut anak-anak, juga belum bisa disebut dewasa.

“Aku tidak akan tahan menunggu selama itu.” tambahnya yang membuatku tertawa, pelan.

“Kau lebih bisa mengendalikan nafsu dibanding aku, setahuku.”

“Tidak bisa. Aku tidak mau menunggu. Kalau kau memang tidak bisa melakukannya karena terhalang janji, biar aku saja. Akan kucium kau kapan pun aku mau.”

Bersamaan dengan ucapan itu tubuhnya sudah beralih ke pangkuanku. Kedua tangannya memegang baik-baik wajahku. Dan bibirnya mencium bibirku. Lalu terjadi dejavu.

Untuk sesaat tubuhku sempat memanas. Nafsuku meninggi dan nyaris kehilangan kendali. Aku menikmati ciuman dengan Geni. Tapi di detik selanjutnya semburan air yang cukup deras membuyarkan semuanya.

GravityWhere stories live. Discover now