12. Ulah para mantan

163 19 43
                                    

Dia telat datang. Yang kumaksud tentu saja Geni. Kami punya janji kencan di kafe tidak jauh dari kampus tempatku kuliah. Dia bilang akan datang dengan motor untuk menghindari macet. Tapi sepertinya tetap saja dia kalah dari kondisi jalan raya. Dan saat aku terus mengharap kedatangan Geni, yang muncul di hadapanku justru Intan disusul pasangan Luki dan Ayu.

Ada aroma manis.

“Akhirnya aku menemukanmu.” ucap Intan padaku.

“Kau mencariku?”

“Ya.”

Untuk apa? Kurasa urusan kami selesai begitu hubungan berakhir. Dia bahkan sudah membantingku.

“Aku penasaran siapa pacar barumu.” Ha? “Aku melihat saat kau tidak terpengaruh feromon dari omega yang sedang birahi. Seorang alpha bisa memiliki kekebalan itu hanya setelah membuat ikatan dengan seseorang. Jadi, siapa seseorang itu? Siapa pacar barumu?”

“Kau tidak perlu tahu hal semacam itu.”

“Tentu saja perlu tahu.” sahut seorang perempuan.

“Ya, perlu tahu.” sahut perempuan lainnya.

“Aku juga ingin tahu.” Luki yang duduk tidak jauh dariku ikut menyahut, meski langsung mendapat tatapan tak enak dari Ayu, “Tapi... siapa ketiga perempuan itu?”

Luki menunjuk Intan dan 2 perempuan lain yang berdiri di sekitarnya.

“Mantan pacarnya.” sahut mereka secara bersamaan, seperti paduan suara saja.

“Mantan pacar!?” Luki terdengat sangat terkejut.

“Aku juga mantan pacarnya.” 1 perempuan lagi masuk.

“Ha!?”

“Aku juga.” tambah lagi yang bergabung.

“Aku juga.” Kali ini seorang laki-laki yang ikut mengaku.

Kenapa mantan-mantanku bisa berkumpul di sini? Apa mereka sama seperti Intan sengaja mencariku? Untuk mengetahui siapa pacar baruku?

“Ini pasti bercanda.” Luki tidak percaya, “Jumlah kalian terlalu banyak untuk menjadi mantannya.”

“Tapi aku memang pernah berpacaran dengan Gabriel tahun lalu. Dia memutuskan hubungan setelah berpacaran selama 3 minggu.”

“Dia memutuskan hubungannya denganku setelah 2 bulan.”

“Denganku 1 bulan.”

“1 ½ bulan.”

“5 bulan.”

“Aku pemenangnya.” ucap Intan, “denganku 6 bulan.”

“Kalian... sungguh pernah berpacaran dengannya?” Luki masih tidak percaya.

“Ya.” sahut mereka secara bersamaan.

“Kukira kau pacaran dengan Luki, Gabriel.” Ayu pun ikut menyahut.

“Aku tidak pernah pacaran dengan suamimu.” tegasku.

“Sampai beberapa hari yang lalu dia masih berpacaran denganku.” Intan ikut menegaskan, bersamaan dengan aku yang baru sadar kalau ternyata Geni sudah berdiri di dekat pintu.

“Playboy.” ucap Geni, pelan, yang sebenarnya tidak bisa kudengar. Aku hanya membaca gerak bibirnya.

“Pantas saja ada aroma manis yang tidak asing. Ternyata dia sudah datang.” batinku.

“Jadi siapa pacar barumu, Gabriel?” tanya Intan.

Aku tidak ingin menjawabnya. Sangat tak penting. Dibanding meladeninya lebih baik aku memberi penjelasan pada Geni. Karena dari ekspresinya dia terlihat sangat menganggap rendah kelakuanku. Tapi saat tubuhku bergerak untuk berusaha mengejar Geni yang mulai meninggalkan kafe, Intan dan mantan-mantanku yang lain mencegah. Memegangiku.

Sepertinya aku tidak akan bisa lepas sebelum mereka mendapatkan jawaban yang diinginkan.

“Aku tidak punya pacar baru.” jelasku, “Sungguh.”

“Tapi kau kebal feromon.” Benar.

“Padahal kau alpha.”

Mereka sangat keras kepala. Baiklah, akan kuberi alasan yang bisa mereka terima. Meski artinya aku harus mengarang cerita.

“Apha tidak  selalu terpengaruh feromon.” Kumulai karanganku dengan fakta, “Sama seperti omega yang memiliki pil untuk masa birahi, alpha juga memiliki pil yang bisa diminum untuk mencegah reaksi saat mencium hormon omega yang sedang birahi.”

Mereka saling pandang, kelima perempuan yang sudah menjadi mantan pacarku.

“Ya, memang ada pil semacam itu.” Satu-satunya mantan pacarku yang laki-laki mengatakan itu, “Aku seorang beta jadi tidak memerlukannya. Tapi pil semacam itu memang ada.”

“Dia benar, memang ada.” Luki menyahut.

“Aku meminum pil itu.” Inilah kebohonganku.

“Sungguh?” tanya Intan, “Artinya sekarang kau tidak memiliki pacar dan belum mengikat siapapun?”

“Kenapa aku harus membuat ikatan saat kuliahku saja belum selesai?”

Whoaa... kebohonganku bertambah. Tapi mau bagaimana lagi, hubunganku dengan Geni harus dirahasiakan. Orang tua kamilah yang memutuskan begitu. Kalau tidak, aku lebih senang menjalin hubungam secara terbuka dengannya.

“Kalian bebas untuk percaya atau tidak. Tapi tolong biarkan aku pergi. Ada kelas yang harus kuikuti jam 3 sore ini.”

Aku lebih ingin menyusul Geni.

***

Mati. Aku mengajak Geni kencan untuk memperbaiki suasana hatinya. Agar dia berhenti kesal. Tapi gara-gara kemunculan 6 mantan pacarku, situasi menjadi lebih buruk.

Kencan kami batal. Geni pergi, mungkin pulang ke rumahnya. Sementara aku harus mengikuti kuliah dengan pikiran kemana-mana.

Sebenarnya bisa saja langsung kususul Geni ke rumahnya, tapi dia akan lebih marah. Karena dia tidak suka kalau aku sampai membolos. Jadi, mau tidak mau aku berusaha membetahkan diri di ruang kelas hingga kuliah berakhir, sambil mengirim puluhan pesan padanya berisi permintaan maaf dan penegasan bahwa aku bukan playboy seperti anggapannya. Sayangnya, tidak ada tanggapan.

“Sial!”

***

Akhirnya aku bisa menyusulnya. Aku sudah berada di depan rumah keluarga Ibrahim. Baru saja turun dari mobil setelah mengalami macet yang sangat menyebalkan. Aku ingin langsung masuk kedalam rumah untuk menemuinya tapi—

“dia akan mengabaikanku sebelum setuju untuk bicara padaku kan?” batinku.

Aku menunggu balasan pesan darinya.

“Apa sebenarnya memang lebih baik langsung kutemui saja?” tambahku, masih membatin, “Tapi apa gunanya kalau dia tidak merespon?”

Kepalaku berpikir keras, mencoba mencari jalan keluar. Tidak berhasil. Yang kudapatkan cuma rasa pusing yang menjadi-jadi. Meski begitu tidak mungkin aku menyerah begitu saja. Entah kenapa aku benar-benar membutuhkan maafnya. Biasanya aku tidak seperduli ini saat menjalin hubungan dengan seseorang. Mungkin karena dia memang berbeda? Bukan hanya suami, dia juga berstatus sebagai mate-ku. Bisa jadi itulah penyebabnya.

Sebuah benda kecil tiba-tiba menghantam bahuku. Jatuh dari atas. Saat kulihat arahnya, Geni berada di sana, berdiri di balkon. Tidak lama, ada balasan pesan masuk ke ponselku. Segera kubaca.

“Aku bukan Rapunzel. Aku tidak punya rambut panjang yang bisa kujulurkan padamu.” Itu balasannya, “Kalau memang mau bicara masuklah dengan cara yang normal.”

Syukurlah, sepertinya dia mulai memaafkanku.

***

23:29 wib
31 Oktober 2023
reo




GravityWhere stories live. Discover now