2. Si Punya Banyak Muka

Start from the beginning
                                    

Sialnya, belakangan ini Brian malah semakin gencar mendekatinya. Terutama setelah Bintang dan Alanda tunangan. Hampir setiap akhir pekan, Brian ke Yogyakarta. Iseng main ke rumah Alit meski enggak ada Bintang. Cuma ngobrol dengan Ayah atau Bundanya, lalu menggoda Alit dengan berbagai akal bulus yang enggak ada habisnya.

Bunda dan Ayah sudah sering diperingatkan oleh Bintang. Namun, keduanya tidak percaya begitu saja oleh peringatan Bintang. "Menurut Bunda, Brian kelihatan baik-baik aja tuh! Sejauh ini anaknya sopan dan enggak pernah macem-macem. Bunda enggak punya alasan buat nolak kedatangannya, apalagi kalau dia sopan dan bawa banyak oleh-oleh."

Sedangkan Ayah menanggapi enggak kalah santainya. "Ayah sih, terserah Alit. Ya kalau Alit mau sama Brian, silakan. Sejauh ini Ayah juga enggak melihat sisi buruk Brian. Masa lalu orang enggak bisa diubah lagi. Selama anaknya mau berubah dan memperbaiki diri, ya enggak papa. Kan Ayah udah pernah bilang, yang terpenting dari seorang laki-laki itu adalah tanggung jawabnya. Selagi dia bertanggung jawab dengan kata-katanya, ya enggak ada salahnya, coba buat kenal."

Memang jago banget pria itu untuk masalah cari muka dengan orangtua. Brian betulan bisa ngobrol panjang lebar berjam-jam meladeni Bunda dan Ayahnya tanpa mengenal lelah. Pria itu tahu betul, bahwa semakin tua seseorang, yang dibutuhkan hanyalah didengarkan. Dan Brian selalu mendengarkan semua omongan orangtuanya, menggantikan posisi Bintang yang belakangan ini sibuk di Kaliurang dan jarang pulang. Sementara Alit sudah terlalu pusing dengan kerjaannya, sehingga tidak punya banyak tenaga untuk mendengarkan ocehan Bunda dan Ayahnya.

Alhasil usaha Alit untuk menghindari Brian jadi lebih susah, selama orangtuanya menerima Brian dengan sangat welcome.

"Udah? Enggak ada yang ketinggalan?" Alanda membantu Alit membawa koper menuruni anak tangga di depan rumah mewah berlapis marmer ini. Sungguh, Alit takut sekali roda koper murahannya menggores marmer mahal ini. Meski sebenarnya Alanda terlihat santai saja, Alit tetap enggak enak.

"Harusnya sih, udah semua, Mbak. Nanti kalau ada yang ketinggalan kan, tinggal Mbak bawain pas ke Jogja ya?" sahut Alit sambil membantu Alanda membuka pagar, sementara Alanda langsung berjalan memasuki mobilnya di carport.

"Oke, Lit. Yuk!"

Baru setengah pagar terbuka, langkah Alit otomatis berhenti. Sialan. Dadanya refleks menghela napas panjang, ketika mendapati mobil Mercedez Benz G65 yang tidak Alit sukai berada persis di depan rumah sebelah. Sementara pemiliknya, berdiri santai bersandar di belakang mobil dengan senyum lebar.

Jadi, pria itu cuma memajukan mobilnya sampai ke depan rumah tetangga Alanda, tidak benar-benar pergi sesuai harapannya.

"Kenapa, Lit?" Alanda yang sudah berada di dalam mobil melongokkan kepalanya dari jendela, ketika sadar kalau Alit terpaku di tempatnya.

"Brian masih di sini ternyata." Alit menjawab dengan ogah-ogahan.

Kenapa juga Alit bisa berpikir kalau Brian semudah itu dikerjai?

Apalagi ini bukan pertama kalinya Alit mengerjai Brian. Selama tiga bulan terakhir, ada banyak sekali hal ekstrim yang Alit lakukan untuk menghindari Brian. Seperti keluar dari mobil secara tiba-tiba di tengah lampu merah. Memutuskan senar gitar mahal Brian. Menyembunyikan kabel charger-nya sampai akhirnya Brian terpaksa membeli Magsafe baterai packs. Memasukkan banyak wasabi ke mangkuk ramennya. Dan masih banyak lagi hal-hal kekanakan yang Alit lakukan untuk membuat Brian marah dan menjauhinya. Tapi, pria itu enggak pernah benar-benar marah. Dan tetap bersikeras bergentayangan di sekitarnya.

"Ngapain masih di sini, sih?" gerutu Alit ketika langkah Brian mendekatinya.

"Kalau mau ganti mobil, kamu harus ikut juga ke rumahku. Sekalian kamu kenalan sama Mamaku." Pria itu tersenyum lebar, memamerkan sebelah lesung pipinya.

Hello ShittyWhere stories live. Discover now