07

1.5K 134 2
                                    

Donghyuck menajamkan penglihatannya saat dia baru saja terbangun dari ketidaksadarannya. Orang pertama yang dilihat oleh Donghyuck saat sadar adalah Mark.

"Eungh? Mark?" tanya Donghyuck serak.

Mark mengangguk.

"Gimana bisa lo enggak lawan mereka, sih?! Mereka udah kelewatan banget. Lo didorong sampai kepala lo terbentur dan berdarah," jelas Mark.

Donghyuck tersenyum tipis saat mendengarkan penjelasan pemuda beralis camar yang ada di hadapannya.

"Kenapa enggak bantu saya kalau kamu lihat? Harusnya kamu bantu saya, bukan menolong saya setelah kejadian," tanya Donghyuck.

"Sedekat apa kita sampai gue harus nolong lo? Syukur-syukur karena gue gerak cepat bawa lo ke rumah sakit," jawab Mark.

Donghyuck terdiam sambil tersenyum tipis saat mendengarkan jawaban Mark.

"Kata dokter, lo nggak punya luka yang serius. Kepala lu cuma diperban sedikit biar pendarahannya berhenti," jelas Mark.

Donghyuck memegang kepalanya dan memang benar kalau di sana kepalanya tengah diperban.

"Makasih karena udah nolong saya," ucap Donghyuck.

Mark mengangguk sebagai jawaban.

"Kenapa kamu nolong saya?"

"Karena gue nggak mau lo mati sebelum waktunya."

"Waktunya?"

"Lo pernah janji sama gue kalau lo bakalan pertemuin gue sama orang yang gue sayang."

"..."

Donghyuck terdiam sambil tersenyum tipis saat mendengarkan jawaban Mark.

"Yah ... Saya memang pernah mengatakan itu, tetapi saya tidak pernah mengucapkan kata janji. Jadi, tolong jangan terlalu berharap dengan apa yang saya katakan," jelas Donghyuck.

Mark tampak terdiam saat mendengarkan penjelasan Donghyuck, lalu dia tertawa pelan.

"Emang permintaan gue nggak masuk di akal. Iya kali gue minta lo bawa orang yang udah meninggal ke hadapan gue," ucap Mark miris.

Mark memandang keluar jendela rumah sakit sambil tersenyum nanar.

"Haechan. Dia orang yang jadi alasan gue buat mau ketemu sama orang mati. Dia orang yang berhasil bikin gue trauma dan bikin gue nggak mau kenal sama yang namanya teman."

"Hati gue tertutup karena dia. Gue nggak bisa jauh dari dia. Sayangnya, Tuhan ternyata lebih sayang dia dibandingkan gue."

"Andai waktu itu gue nggak bertengkar hebat sama dia, gue nggak akan kehilangan dia buat selama-lamanya."

Mark menundukkan kepalanya sambil memegang sebuah cincin putih yang tersemat pada jari tengah tangan kirinya.

"Dia bilang sama gue, dia bakalan selalu ada buat gue. Tapi, yang dia tinggalin cuma cincin ini..." lirih Mark.

"Kalau memang nama dia ada di hati kamu, kenapa kamu bisa menjadi kekasih Giselle?" tanya Donghyuck.

Mark mengangkat pandangannya dan mengalihkannya ke arah Donghyuck.

"Gue nggak bisa buat nggak ngejalin hubungan sama Giselle. Dia ... Dia orang yang namanya disebut terakhir kali sama Haechan sebelum dia benar-benar meninggal," jawab Mark.

"..."

"Ck! Ngapain gue malah curhat sama orang asing kayak lo, sih?!" ucap Mark sambil tertawa kecil dengan kepala menggeleng pelan.

Mark kembali menatap cincin putih itu sambil mengelusnya dengan penuh kasih. Dia berharap agar kekasihnya yang telah tiada kembali dan memeluknya.

"Saya akan membantu kamu untuk ketemu dengan sosok yang bernama Haechan itu. Tapi, kamu harus menerima satu kenyataan pahit. Bisa?"

Mark kembali menatap pemuda berkulit karamel yang ada di hadapannya.

"Kamu tidak akan pernah bersama dengan dia," ucap Donghyuck.

"Roh yang sudah pergi meninggalkan tubuhnya tidak akan pernah bisa kembali lagi. Apa kamu bisa mengikhlaskannya?" tanya Donghyuck.

Mark terdiam beberapa saat, lalu tak lama dia mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Aku janji kalau dia akan datang saat party night sekolah nanti," ucap Donghyuck.

- 🤍🤍🤍 -

Replacement | MarkhyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang