Tiga Puluh Satu

Mulai dari awal
                                    

"Nang, cek ulang, ya?" Suara umi sempat membuatku terkejut karena aku tak menyadari kehadirannya. "Kok kaget?" Umi duduk di hadapanku.

Tanpa disuruh, aku menyorongkan sebelah tangan, membiarkan umi menusukkan jarum ke ujung jari manis untuk mengecek kadar gula darah.

"Tujuh puluh tujuh. Udah naik," katanya. "Jangan langsung berdiri. Tunggu bentar lagi. Kalau udah enakan baru subuhan," lanjutnya seraya menepuk-nepuk punggungku sebelum kembali meninggalkan kamar.

"Kamu itu, mau bilang nggak papa, stressnya tetep keliatan." Arik ternyata ada di sini. "Maksudnya bapak sebenernya baik, Ja." Entah sudah berapa kali dia mengulang-ulang kalimat itu semenjak kuluapkan perasaanku ke bapak hampir seminggu yang lalu.

Aku menegakkan tubuh lantas beranjak. "Aku lagi nggak pengen bahas itu, Rik," ucapku seraya berjalan keluar kamar.

Ini adalah hari kedua dari dua hari cuti yang kuambil minggu ini. Tapi, kurasa baru hari ini yang benar-benar bisa kusebut sebagai cuti. Kemarin seharian kuhabiskan di rumah sakit. Biasa, kencan bulanan dengan dokter. Pagi-pagi harus berangkat agar mendapatkan antrian depan, ditambah keribetan ketika di sana, dan telpon dari kantor yang tak berhenti tentang pekerjaan, jelas tak terasa seperti cuti. Semoga hari ini lebih santai dan bisa kunikmati.

Acara pernikahan Reno dilaksanakan di luar kota. Ini adalah alasan yang sebenarnya mengapa aku mengambil cuti. Aku harus menyediakan waktu agak luang agar tak merasa sedang dikejar-kejar pekerjaan. Ya walaupun aku tahu dengan pasti kalau akan tetap ada panggilan masuk atau pesan-pesan dari kantor untuk urusan pekerjaan dan bahwa aku tak bisa seratus persen bebas kerja. Sewaktu mengajukan permohonan cuti sebulan lalu, Mbak Adel sudah langsung menyampaikan untuk menyelesaikan tugasku sebelum cuti serta tetap berjaga dan siap jika sewaktu-waktu kantor menghubungi untuk urusan pekerjaan.

Tubuhku sudah jauh lebih bugar setelah menyelesaikan subuh. Sel-selnya sudah mendapat asupan gula yang cukup sepertinya. Aku melipat sajadah, meletakkannya ke atas meja kerja, lalu ganti meraih ponsel dan melemparkan tubuh ke atas tempat tidur. Rombongan baru akan berangkat ke Salatiga, tempat acara Reno digelar, setelah  sholat jumat nanti karena kami juga baru akan bisa masuk kamar di pukul dua siang. Masih ada cukup waktu untuk bersantai atau bahkan mungkin mengganti tidurku yang baru sedikit.

Revisi proposal tesis juga sudah kukirim semalam. Untungnya aku mendapatkan pembimbing yang sangat baik dan, sama denganku, ingin segera menyelesaikan proses bimbingan. Jadi beliau menuntut untuk segera melakukan perbaikan dan mengirimnya kembali, tak peduli pukul berapa. Beliau tak mempermasalahkan waktu pengirimannya. Yang penting beliau baru akan bisa membuka dan membalasnya di jam kerja. Tak banyak tuntutan, apalagi yang tak masuk akal, selalu mau berdiskusi, bukannya menggurui, efisien, dan sangat efektif. Dosen yang seperti ini yang selalu bisa memotivasiku untuk menyelesaikan tugas.

Red:
Sampai ketemu di Salatiga. Di sini dingin, kaya ada AC dipasang di luar ruangan terus disetel di suhu terendah.

Senyuman tersungging di wajahku sat membaca pesan yang kamu kirimkan lima menit yang lalu itu. Minggu ini kamu sengaja mengambil dobel shift, bertukar jaga dengan rekan kerja, demi bisa mendapatkan tambahan libur dua hari dan menemani Dewi semenjak kemarin. Pasti tidurmu cukup nyenyak semalam setelah hari-hari yang melelahkan itu.

Jariku lantas membuat ketukan di layar untuk merekam suara.

"Rombongan mempelai pria yang dari Solo berangkat mepet jam cek in. Iya, sampai ketemu. Tinggal sembilan jam lagi."

Pesan suara kukirimkan. Sembilan jam lagi sebelum kita bisa bertemu.

"Jaaa!"

Aku bergegas duduk di atas tempat tidur, menurunkan kaki ke lantai dan merentangkan kedua tangan. Seruan yang terdengar menggemaskan itu berasal dari arah pintu. Tak lama, Ose sudah masuk ke dalam pelukan, kutangkap, lalu kunaikkan ke pangkuan. Pagi ini tak ada suara ribut sepatunya. Sepertinya dia baru bangun lalu langsung mendatangi kamar ini.

Merah MatahariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang