Bagian 47

279 22 0
                                    

"Ayah kira kamu nggak balik ke sini."

Laven hanya diam mendengar kalimat pertama yang dilayangkan ayah ketika membukakan kembali pintu kamar untuknya. Masih seperti kedatangan sebelumnya, cowok itu berdiri kaku di depan pintu. Barulah saat ayah menyuruh masuk, Laven mulai bergerak mengekori ayah dari belakang. Lagi-lagi, sosoknya juga duduk usai ayah yang menyuruh.

Pada tempat yang sama Laven mendudukkan diri. Ujung jari yang awalnya tertutupi sweater lengan panjang itu saling menggenggam. Bukan karena dingin, sebab kalau dibandingkan dengan kamarnya sekarang, sudah bisa dipastikan akan berbeda jauh selisihnya. Laven hanya tengah gelisah memikirkan bagaimana obrolannya dengan ayah akan terlaksana.

"Dingin?"

Pertanyaan singkat barusan Laven jawab dengan gelengan. Namun, rupanya tak begitu dipercaya oleh ayah. Sebab sekitar sepuluh menit berlalu, ayah yang tadinya keluar dari kamar membawakan secangkir teh hangat untuknya. Begitu ayah menyuruhnya untuk minum pun Laven langsung melakukannya. Sebab, ia tahu jika ayah tak akan memulai sebelum perintahnya terpenuhi. Lagi-lagi ucapan ayah memang sulit iluntuk dibantah.

"Before that, let's make an agreement first."

Untuk kalimat ayah barusan, Laven tak bisa jika harus tetap diam. Seharusnya di situasi sekarang, ayah sudah tak punya pilihan apapun selain menceritakan segala hal yang masih abu-abu untuknya.

"For unclear reason, aku keberatan, Yah."

Helaan nafas ayah bisa Laven dengar dengan jelas; membuatnya yakin jika hal-hal yang akan disampaikan ayah mungkin cukup berat bagi ayah, juga mungkin untuknya nanti?

"As your Mom said, your dad wants you to stay here."

Kalimat ayah barusan; Laven jadi paham jika percakapannya dengan mama kemarin mungkin sudah diketahui sepenuhnya oleh ayah. Tentu saja, itu sebabnya ayah menanyakan ketakutannya di waktu sebelumnya. Semakin ke sini, ia menjadi sanksi jika apa yang akan ia dengar benar-benar berupa fakta. Apa yang dibicarakan ayah dan mama atau mungkin dengan yang lain mungkin saja telah disepakati.

"Berapa banyak hal yang udah jadi kesepakatan ayah sama yang lain? It feels hard to know the truth," ucap sosoknya memelan di akhir.

Kali ini ayah bangkit, lantas kembali duduk di tempatnya semula setelah meletakkan sebuah laptop. Sebuah laptop desain lama yang tak pernah Laven tahu bahwa ayah masih memilikinya. Selama ini, cowok itu hanya tahu jika ayah memiliki dua laptop yang sering terlihat digunakan.

"Foto-foto dan video lama kamu ayah simpan di sini." Begitu keterangan dari ayah sebelum akhirnya menempatkan laptop yang sudah menampilkan awalan video itu ke hadapannya.

Dad made this for you, Dear! Hopefully this can be a sweet memory.

Tidak ada suara apa-apa di detik awal video itu diputar. Hanya kalimat singkat yang terketik dalam font berwarna putih di antara background hitam polos. Barulah setelah beberapa detik tertampilkan, video yang terputar perlahan berganti gambar diiringi instrumental musik klasik yang terdengar manis.

Ada deretan foto yang tampil bergantian. Dan, Laven sadar jika penyajian gambar itu diurutkan berdasarkan usianya dulu. Bahkan, foto bayi mungil yang belum pernah sekalipun ia lihat muncul untuk pertamakali. Foto bayi mungil yang berada dalam box khas rumah sakit dengan nama, tanggal lahir, dan nomor rekam medis di kaca luarnya.

Berbagai foto yang tak pernah ia kira ada itu justru muncul satu per satu. Hingga foto berseragam sekolah dasar itu muncul, barulah foto itu perlahan terganti dengan kumpulan video semasa kecilnya yang entah kapan ayah atau siapa mengambilnya. Sulit untuknya untuk menaham rasa haru nya. Ia tak pernah menyangka jika gambaran masa kecilnya akan terdokumentasikan.

LavenarioWhere stories live. Discover now