Bagian 45

210 28 6
                                    

Laven melupakan suatu hal, bahwa hal yang tengah ia pikirkan, hal yang menjadi sasarannya sepulang sekolah tadi ialah terkait Nanta kakaknya. Ucapannya tadi pagi, ia yakin berdampak besar pada yang lebih tua. Bisa saja atau memang sudah sewajarnya kakaknya itu menelan semua ucapannya, termasuk ucapan terakhir yang spotan keluar akibat luapan emosi yang sudah tak bisa ia tahan.

Tapi ia sadar, sekarang ini rumah mama yang tengah menampungnya. Bagaimana bisa ia pulang mengecek keberadaan kakaknya sementara untuk izin dengan Oma saja mama yang menyampaikan. Belum lagi buku dan seragamnya saja Pakde yang diminta mama untuk mengambilkan.

Ponsel yang baru saja ia letakkan itu kembali ia pegang. Yang ia pikirkan adalah, apa harus ia menghubungi kakaknya? Tapi, sebenarnya untuk apa sebab sekarang ini, baginya, yang memulai itu kakaknya. Pikirnya, kalau menelepon, pasti kakakya itu akan besar kepala sebab dirinya yang sudah kalah tak bisa marah. Tapi, jika tidak menelepon batin dan pikirannya sendiri yang justru tak tenang. Menelepon ataupun tidak, nyatanya jemari tangannya bergerak menghubungi nomor Nanta yang sudah tak dalam mode memblokirnya.

Tak sampai 3 detik terlewati, nada sambung itu tercipta. Cukup tanggap bukan? Tapi nyatanya tak ada suara dari seberang, masih diam tanpa tanggapan. Susah payah Laven menahan diri, pada akhirnya dieinya juga yang harus memulai. Mengucap salam, kini ada balasan suara dari seberang.

"Buat ucapanku tadi pagi, maaf." Begitu ketika Laven memilih menurunkan keegoisannya.

"Permintaan maaf diterima. Baru apa?" Tanya yang lebih tua yang tak membahas lebih lanjut.

Ditanya seperti itu, sosoknya kelabakan. Tak mungkin ia menjawab bahwa sudah membuang waktunya untuk memikirkan apakah harus menghubungi yang baru saja bertanya atau tidak.

"Habis mandi, mau buka laptop. Lagi di mana?" Tanyanya to the point, sebab alasannya selain meminta maaf adalah memastikan bahwa kakaknya itu tak menuruti ucapan ngawurnya tadi pagi. Meskipun kecil kemungkinannnya sebab kakaknya itu juga kadang nekat sendiri.

"Vidcall aja ya? Kangen."

Baru memikirkan jawabannya, tapi pamggilan video call di layarnya sudah muncul. Dan tanpa ragunya tangannya justru menerima panggilan itu, padahal harinya sudah berbisik akan menolak.

"Halo."

Nanta yang tengah tersenyum tipis muncul dengan jelas di layar ponsel sosoknya, membuat sang empu refleks mengarahkan kamera ponselnya ke sembarang arah sebab yakin jika wajahnya juga akan nampak jelas. Tapi, meskipun dalam hitungan seper sekian detik, sosoknya bisa tahu bahwa kakaknya itu tak pulang. Kolase kamarnya, ia bisa begitu mudah mengenalinya.

"Laven, yang mau kakak lihat itu kamu."

Menghela nafas pelan, meski tak akan terlihat sepenuhnya, kamera itu Laven kembali sorotkan ke arahnya. Kemarin ia bisa sepercaya diri itu akan berbalik memberitahu bahwa ia bisa saja sekecewa itu, tapi jika sudah begini rasanya tak pas jika ia masih akan menyambungnya.

"See? Kakak udah beresin kamar kamu, beli makanan buat kamu, tinggal jemput. Eh, udah keduluan. Malahan nggak pulang."

"Aku ngiranya kakak yang pulang."

"Tadinya iya. Ucapanmu tadi pagi ngena banget, sih. Tapi, Oma ngelarang. Bilang kalau kamu nggak bermaksud. Ya udah, nggak tega juga ninggalin Oma sendiri."

Yang lebih muda masih diam. Sedari tadi arah pandangnya memang tak pernah menatap kamera ponsel, meski tak memungkiri lebih dari setengah wajahnya tertangkap kamera. Itu agar Nanta tak banyak berbicara yang berujung bercanda.

"Ya udah kalau mau nugas. Kakak end ya."

"Jadinya pulang kapan?" Buru-buru sosoknya bertanya. Siaga jika jaringan akan terputus begitu saja. Laven hanya ingin memastikan jika ucapannya tadi pagi tidak diambil hati.

LavenarioDonde viven las historias. Descúbrelo ahora