Bagian 37

223 29 16
                                    

Tanpa bercermin, Laven sudah sadar jika kedua kelopak matanya membengak luar biasa. Air mata emosi yang keluar terus-meneruslah yang menjadi penyebabnya. Dalam tidurnya, segala pikiran yang menganggunya tak berkutik, masih mengusiknya menyelinap lewat mimpi. Tidurnya benar-benar tak menghilangkan lelah dan jauh dari kata nyenyak. Mungkin juga karena faktor suhu badannya yang ternyata hanya mereda sementara setelah minum obat. Sekarang ini masih panas, bahkan pening di kepala kini jauh lebih terasa.

Adzan subuh belum terdengar. Suasanya rumah juga masih senyap, membuat sosoknya dengan mengendap-endap melangkah ke dapur mencari mentimun dan memasukkan potongannya ke dalam mangkuk kecil berisi air dingin. Kembali berbaring di kamarnya, sosoknya dengan berani melawan dinginnya potongan mentimun itu dengan menaruhnya di kedua kelopak matanya. Beberapakali cowok itu mengganti potongan itu dan mengulang langkah yang sama. Hingga saat adzan terdengar, barulah ia duduk bersandar menjawab tiap baris panggilan adzan.

Rasa pedih dan berat di matanya sudah sangat berkurang. Ia harap tak ada orang rumah selain ayah yang mengetahui tangisnya, meskipun rasanya mustahil. Setidaknya bengkak yang tidak separah awalnya itu bisa menunjukkan bahwa tangisannya masih cukup lumrah meskipun kenyataannya air matanya tumpah meriah.

Inginnya air mata tak lagi ada setelah ia tumpahkan dengan volume begitu banyaknya. Namun, hal yang murni jika air mata itu terundang kembali menemaninya mengadu pada Dzat yang Maha Penyayang. Tak apa, sebab ketenangan itu mulai ia dapatkan setelah meluapkan semuanya yang ia rasakan. Sosoknya kembali mendapatkan kepercayaan bahwa pasti ada maksud tersirat di balik kemua yang ia dapat. Sakit iti memang begitu terasa, terlebih pada permulaannya. Akan tetapi, nyatanya sampai sekarang ia masih kuat bukan?

Melipat sajadahnya, Laven baru menyadari sesuatu. Ada seseorang yang wujudnya tak nampak berada di kamarnya. Itu artinya kemungkinan sudah ada yang ingkar sebab akan cukup sulit dipercaya jika kakaknya menempati kamar lain. Seharusnya Nanta akan jadi orang  yang paling mengkhawatirkannya kala mendapati dirinya yang pulang malam. Tapi, sosoknya juga sudah cukup lelah jika beban pikirnya harus bertambah.

"Semalam pulang jam berapa? Apa memang selalu pulang malam?"

Emosi di dalam gelas yang sudah ia jaga tetap rata kini sedikit terguncang dengan pertanyaan yang Oma lontarkan bahkan sebelum membiarkan dirinya duduk. Demi Tuhan. Laven mati-matian harus menahan diri untuk tetap dalam mode tenang, tak membiarkan emosi itu teraduk-aduk.

"Bu.. 'Kan udah dijelasin Rendra."  Suara tenang bunda menyapa telinga, sedikit mengurangi ketegangan yang ada. Tapi, tak cukup berefek jika itu untuk ketenangan hati sosoknya.

"Maaf, Oma. Aku izin makan di kamar."

Laven tahu jika tindakannya akan membuat hati Oma jauh dari kata lega. Tapi, itu harus ia lakukan guna menjaga air matanya yang sedang kehilangan rasa malu saat ini. Maka, dengan pelan tapi pasti, kakinya kembali menuju kamar membawa sepiring sarapan. Kalau tidak untuk menjaga perasaan yang lain, tentu ia sudah tak ada niatan untuk makan dan menampakkan diri.

"Ayah kamu baru cari koran. Demamnya udah mendingan belum?" Lita bertanya bersamaan dengan punggung tangannya yang sudah mengecek suhu di dahi sosoknya.

"Masih panas. Ke klinik ya? Atau mau bunda panggilin dokter?"

Pelan, sosoknya menggeleng. Tak ingin banyak bicara, Laven mencoba fokus pada sarapannya. Pikirnya mengatakan, kalau bunda sudah tahu tentang demamnya, besar kemungkinan bunda juga tahu tentang tangisnya.

"Ya udah. Tapi kalau dirasa belum mendingan, harus terima ya kalau bunda panggilin dokter."

Daripada menjawab, sosoknya memilih mengangguk pelan. Kalau mau tahu harapannya, ia ingin agar jalannya waktu bisa dipercepat. Laven ingin segera menuntut penjelasan dan meluapkan apa yang ia rasakan.

LavenarioWhere stories live. Discover now