Bagian 35

237 26 7
                                    

Kamu pasti merasa heran saat melihat orang-orang yang emosional. Kamu yang penyabar tidak pernah meledak meski tertekan dan frustrasi. Namun kemudian, kamu berpikir jangan-jangan kamu sendiri emosional. Kamu sering merasa kesal, tetapi kamu menjejalkan kekesalan tersebut dalam botol dan menyimpannya dalam hati, bukan? Kamu menahan mulut hanya untuk menjaga hubungan baik, bukan? Kamu menahan air mata sambil tersenyum, berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, bukan?

Kepadamu yang seperti itu aku ingin berkata, tidak perlu menjadi 'orang yang sabar.' Meski kamu meluapkan amarah, mengungkapkan apapun yang ingin kamu katakan, bahkan menangis sekalipun, masih cukup banyak orang yang menyayangimu. Tidak ada salahnya meluapkan emosi.

Aku harap kamu mengingat ini baik-baik: bahwa ada orang yang mencintaimu. Kamu adalah kebanggaan dan pelipur lara bagi seseorang. Percayalah bahwa semuanya akan selalu baik-baik saja, dan aku harap kamu tidak lagi terluka karena ucapan sembarangan orang lain. Aku harap, kamu tidak menyesal membuka hati untuk orang-orang baru.

-Kim Sang-hyun (dalam buku 'Siapa yang Datang ke Pemakamanku Saat Aku Mati Nanti?')

Pesan berisi tiga paragraf berderet itu dikirim oleh Nanta tanpa basa-basi, tak diiringi kalimat dan caption lain yang membumbui. Hanya terkirim dengan polosnya diikuti nama penulis yang namanya masih cukup asing baginya. Hal yang menjadi tanda tanya adalah sejak kapan kakaknya itu terbuai dan tertarik dengan kata-kata seperti barusan? Entahlah, yang jelas, saat ini, rasanya ia ingin memeluk yang lebih tua yang ucapan dan sikapnya seringkali membuatnya tenang, meskipun jika dalam mode yang lain jelas akan berlawanan. Dengan kakaknya, Laven merasa cukup dimengerti. Bahkan, jika harus menyebutkan satu nama dalam kategori orang yang paling paham akan dirinya, maka Laven tak akan ragu menyebut nama lengkap kakaknya.

Maksud dari pesan itu, Laven cukup tahu. Tak butuh pemikiran yang dalam untuk menafsirkannya. Nanta kakaknya sudah beberapa kali kerap mengucapkan hal itu dengan bahasa yang berbeda. Dan kini, hatinya bak bumi yang disambangi sinar mentari di pagi hari. Tak apa menangis, tak salah meluapkan emosi. Hal-hal yang akhir ini ia lakukan bukan hal yang salah, dan mungkin bisa saja dibenarkan 'kan? Laven artikan bahwa masih ada orang yang akan tetap menyayanginya, bahwa ia adalah sosok yang berharga, dan mungkin itu bagi Nanta kakaknya. Dan entah siapa lagi yang jelas keberadaannya masih berarti.

"Dari siapa? Dari ayah, ya?"

Menaruh kembali ponselnya, sosoknya menggeleng. Diraihnya susu kotak yang belum selesai ia minum itu untuk ia habiskan. "Dari Kak Nanta."

Tersenyum tipis, Nalendra mengangguk. Pandangan cowok itu kini beralih pada taman sederhana di luar ruangan. "Weekend nanti, Nanta ikut 'kan?" Kalimat itu Lendra lontarkan dengan suara pelan.

"Harusnya iya. Aku belum nanya lagi."

Menarik napas panjang, lantas menghembuskannya perlahan, itu yang Nalendra lakukan untuk sedikit meredakan kecemasan yang ia rasakan. Berkaitan dengan Nanta, ada beberapa hal yang ia khawatirkan sejak lama. "Menurut kamu, apa bisa kakak berhubungan baik sama Nanta? Bukan apa-apa, kok. Kakak cuma ngerasa kalau Nanta kurang suka sama kakak."

"Kak Nanta nggak suka sama mama. Menurutku Kak Nanta punya feeling yang sama salah satunya karena itu. Tapi, yang pasti Kak Nanta belum kenal deket sama kakak 'kan?"

Laven membalikkan pertanyaan. Manik matanya beratensi penuh menatap wajah yang lebih tua yang nampak serius menyimak.

Mengangguk pelan, Nanta tersenyum tipis menyudahi topik pembahasan. Bahwa semua lebih baik sampai di sana saja. Cowok itu juga masih ragu jika harus membahas hal itu lebih dalam. Bagaimanapun, fokus utamanya adalah menjaga perasaan yang lebih muda, memastikan adiknya itu baik-baik saja meskipun mustahil adanya. Bagi Nalendra, tak ada usaha yang sia-sia. Jadi, meskipun hanya akan ada sedikit pengaruh dan efek yang didapat, setidaknya itu akan lebih baik daripada tidak sama sekali.

LavenarioWhere stories live. Discover now