Bagian 24

239 31 3
                                    

Laven hanya bisa pasrah, membereskan beberapa pakaian serta barang yang perlu ia bawa. Lantas, memasukkannya ke dalam ransel milliknya dengan cekatan. Ayah sepertinya sadar jika sosoknya tak bisa membantah perintahnya. Terlebih di situasi mendesak seperti barusan, yakni di beberapa menit sebelum keberangkatannya yang tak Laven duga ayah memberi tahu bahwa mama akan menjemputnya.

Ayah baru saja pergi setengah jam yang lalu dan siapa sangka jika mama akan datang secepat ini. Maka berbekal kemampuan berkemasnya yang sudah cukup mumpuni, sosoknya akhirnya keluar menggendong ransel berukuran sedang miliknya.

"Bawa baju ya? Di rumah juga banyak baju, kok."

Laven tak membalas. Cowok itu terlebih dulu berjalan keluar dari pintu utama. Secara sadar, ia tahu jika mama juga mengikuti langkahnya. Usai memastikan pintu terkunci, Laven berjalan memasuki mobil yang pintunya sudah dibuka oleh mama.

"Pakde baru libur karena anaknya mau lamaran. Jadi, maaf ya kalau mama langsung jemput, kebetulan dari kampus langsung mampir."

"Nggak papa, udah terlanjur."

Suasana kembali bebas dari suara manusia. Laven tahu jika mama tengah berusaha membangun obrolan, tapi sayang dalam suasana hati sekarang ini Laven tak bisa untuk berpura-pura sebaik sebelumnya. Harapannya akan penjelasan dari mama juga sudah kembali ia pendam. Rasanya menunggu waktu yang tak menentu, atau bahkan sudah dipastikan tak akan datang hanya membuatnya seperti orang polos nan dungu saja.

Suasana di halaman rumah memang sepi. Pakde yang dulu ia lihat keberadaannya memang absen hari ini. Sampai dalam pun tak ada manusia satupun yang ia lihat, termasuk Lendra yang saat ini mungkin tengah berada di kamarnya. Entahlah, di sekolah pun Laven juga tak pernah melihat kembali penampakkan kakaknya. Setahunya, dua hari Lendra dirawat di rumah sakit dan setelahnya apa sudah masuk sekolah atau belum Laven tak tahu. Satya yang mengajaknya menjenguk saja ia sodori dengan penolakan serta alasan yang ia buat masuk akal.

"Laven udah tau 'kan kamarnya di mana?"

Laven tak merespons, meski kuat dugaannya jika kamar yang dulu pernah ia sambangi adalah kamar yang dimaksud mama.

"Biar mama bantu bawa ranselnya."

Sosoknya menggeleng, mencegah tangan mama yang sudah akan meraih ransel yang ia bawa. "Tolong kasih tau aja kamarnya."

Tersenyun tipis, mama mengangguk. Langkah mama yang ada di depannya menuntunnya menaiki tangga. Benar saja, kamar yang dimaksud mama adalah kamar yang juga berada dalam pikirannya. Dan kamar di sampingnya dengan pintu tertutup itu, Laven yakini adalah kamar Lendra.

"Kamar mandinya di dalem. Kalau mau makan ambil sendiri atau bisa panggil mama. Kamar mama di bawah, ya!"

"Makasih," ucapnya yang lagi-lagi mendapat senyuman tipis dari mama.

"Sama-sama, Sayang."

Mama keluar, menyisakan dirinya dalam kamar yang telah ditutup rapat. Mau tak mau Laven mulai beradaptasi dengan kamar yang akan menampungnya dua malam ini. Cowok itu meletakkan ranselnya, mengeluarkan beberapa buku yang akan ia eksekusi, sedangkan barang lainnya ia biarkan ada di dalam sana.

Cukup lama fokusnya terjaga dan Laven sangat bersyukur sebab kamar yang ia huni sekarang juga terasa nyaman seperti kamarnya sendiri. Mendekati magrib, sosoknya mandi dan kini nampak rapi dengan baju koko miliknya. Kamarnya ia buka, hendak bertanya pada mama di mana letak masjid terdekat. Beruntung sekali, momen yang pas sebab saat pintu kamarnya terbuka, pintu di sebelahnya juga dibuka, menampakkan Lendra yang juga sudah rapi dengan potongan kain sama dengan bahan bajunya.

Laven tahu jika Lendra cukup terkejut dengan keberadaannya. Namun, ia juga tahu jika kakaknya itu dengan cekatan mengatur air mukanya. Maka ragu tak ragu ia bertanya, masa bodoh dengan sikapnya yang buruk belakangan ini. Biarlah Lendra membencinya sekalian, itu tak apa. "Masjidnya di sebelah mana?"

LavenarioWhere stories live. Discover now