Bagian 2

925 58 0
                                    

Rumah minimalis dengan dinding eksterior dominasi putih itu nampak menarik minat untuk dipandang. Ada taman kecil di halaman yang memiliki sisi estetik; unik, berbeda dari desain rumah lain di kawasannya. Di lantai dua, balkon yang bisa nampak jelas dari jalanan depan rumah tak kalah apiknya; sekilas membuat orang berprasangka bahwa pemiliknya memang memiliki selera seni yang tinggi.

Tidak banyak ruangan di rumah itu. Di lantai satu, begitu melewati pintu utama maka tampaklah ruang tamu yamg tak terlalu besar, tapi jelas nyaman. Lantas, di sampingnya ada ruang yang paling jarang dijamah atau di tempat lain sering disebut ruang keluarga. Semakin masuk ke dalam ada satu kamar tamu dan satu kamar yang dihuni Laven yang hanya bersebelahan saja. Di tengah tampaklah undakan anak tangga yang memisahkan dua kamar tersebut dengan ruang makan dan dapur.

Sama halnya di lantai satu, ada dua kamar di lantai dua. Satu merupakan kamar pribadi pemiliknya, satu lainnya tak dihuni. Lantas dua ruang lainnya adalah ruang kerja Rendra dan perpustakaan baca yang menduduki desain paling menarik dan ternyaman di antara ruangan lainnya. Di sana pula Lita bersama dua kesayangannya berada. Wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu tengah sibuk depan laptop di hadapannya. Sementara Laven dan Nanta duduk lesehan di karpet berbulu dengan meja persegi panjang berkaki pendek yang pas untuk menumpukan siku. Ralat, menempatkan buku.

"Kak, kamarnya dibersihin dulu, gih." Lita berseru. Jemari lentik wanita itu masih sibuk menari di atas susunan huruf acak.

Nanta mendongak dengan tatapan yang mengarah ke tempat bundanya. "Kapan ya, Bun, aku nginep sini make kamar tamu?"

"Ya, siapa tau 'kan?"

Ekor mata Nanta kini melirik yang lebih muda. Adiknya itu tampak serius sekali dengan bacaannya. Keduanya sama-sama suka membaca. Maka, Nanta juga akan paling waras di samping adiknya kalau keduanya sudah ada buku ditangan masing-masing dari mereka.

"Ngantuk belum?" Nanta meletakkan bukunya, berbaring dengan kepala ia tempatkan di pangkuan yang lebih muda.

Laven menggeleng. Tatapannya masih fokus pada buku yang ia pegang. Nanta menghela nafas. Cowok itu lantas bangkit berlalu pergi sebab kantuknya sudah tak bisa dibendung. Laven sejenak menatap kepergian kakaknya sampai sosok itu menghilang di balik pintu.

"Tumben kakakmu loyo duluan."

Laven hanya tersenyum simpul, sejenak menatap bundanya yang sebenarnya wanita itu juga masih fokus dengan layar di hadapannya.

"Bunda."

"Ada apa, Sayang?"

"Boleh nanya? Tapi, kalau nggak dijawab juga nggak papa."

Beberapa detik, Lita berpikir. Laven tak mungkin menanyakan suatu hal yang tak penting. Kalau sampai anak itu bertanya, Lita juga harus menimbang pertanyaan seperti apa yang akan anak itu utarakan padanya; apakah ia akan mampu menjawab atau tidak? Lita setidaknya harus mempersiapkan itu.

"Mau tanya apa? Bunda usahain bisa jawab, deh."

Kedua sudut bibir Laven sempat tertarik naik beberapa detik. "Ayah ada kontaknya mama?"

"Boleh Bunda balik tanya dulu?" Tanyanya yang tanpa ragu dibalas anggukan oleh sosoknya.

"Kamu udah lama simpen pertanyaan ini?"

Lagi, sosoknya mengangguk. Untuk apa dirinya berbohong? Laven tahu pertanyaan Lita barusan hanya sekadar untuk validasi.

"Ayah kamu punya." Singkat Lita tak bisa meneruskan kalimatnya. Wanita itu kembali fokus dengan pekerjaannya, sengaja agar sosoknya tak bertanya lebih lanjut. Lita hanya tidak mau anak itu berharap terlalu banyak.

LavenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang