P R O L O G

21 3 0
                                    

.

Mau curhat dikit! Jujur aku tu baru sadar udah hampir 3 tahun pertarungan pada masa putih abu-abu aku lewati.

Cerita itu udah lama berakhir,

_

Kau Amerta dalam aksara, sastra, dan prosaku, menjadi tokoh utama yang tak bisa tergantikan oleh siapapun; meski hanya fatamorgana yang tak pernah berakhir.

Bintang: Dia teman sekelasku.

Lira: gadis ini sekarang berdomisili di Bandung.

Mauren: adalah seorang mayorit cantik kebanggaan sekolahku.

Revan: jangan tanyakan kenapa aku disana, pertemuan pertamaku dan revan adalah dikantor polisi.


Prolog:

Seorang bocah laki-laki berusia 6 tahun meringsut didalam sebuah lemari tua.

Diluar sana sepasang suami istri tengah beradu argument, saling meninggikan suara.

Prang!

Bugh?

Vas bunga diatas meja ruang tamu jatuh, meninggalkan kepingan-kepingan berserakan. Si pria sudah tidak dapat lagi menahan emosinya, dengan mudahnya tangan kekar miliknya melukai seorang wanita.

Ini bukan pertama kalinya! Hampir setiap malam si pria melukai istrinya dalam bentuk pelampiasan.

Si pria beranggapan bahwa istrinya terlalu menuntut dalam hal keuangan, terlalu boros, dan tidak bisa mengelola keuangan dengan baik.

Sedangkan si wanita bilang suaminyalah yang salah. Suaminya itu tidak mau bekerja dengan giat. Dalam pembelaannya, dia tak masalah hidup dengan pria sedari nol asalkan mau bekerja keras, tidak menggunakan uang yang dia dapat untuk judi; yang konon dapat melipat gandakan uang.

Saling tuduh menuduh itulah yang dilakukan sampai tengah malam begini. Entah siapa yang benar atau salah. Satu pun tidak ada yang mau mengalah. Terkadang orang dewasa juga bisa bersikap kekanak-kanak.

Bocah laki-laki itu masih dalam posisi meringsut, air mata mengalir deras sejak tadi. Dia memeluk lututnya sendiri. Tubuhnya gemetar ketakutan. Untuk melerai kedua orang tuanya dia sama sekali tidak memiliki keberanian. Bahkan keluar sekedar mengintip pertengkaran saja tidak ia lakukan. Malam itu ditemani hujan petir diluar rumah, bocah laki-laki itu tertidur sembari mengigau. Mentalnya hancur sedari kecil.

.

Devi, seorang lansia berusia 60 tahun mendorong pintu rumah tua dengan ukuran 5×5 meter.

Beruntung, pemilik rumah tidak mengunci pintunya.

Tangan yang telah mengeriput itu terulur menekan tombol saklar didekat pintu masuk. Mata renta miliknya mengecil.

Baju berserakan disana-sini, kursi kayu patah dibiarkan begitu saja ditengah ruangan, sobekan kertas berserakan kemana-mana,dan juga banyaknya serpihan kaca dari bingkai foto yang pecah.

Nenek devi menahan sesak didadanya mendapati pemandangan seperti ini. Dengan hati-hati kakinya melangkah kedalam sebuah kamar kecil.

Dilihatnya seorang gadis menelungkupkan wajahnya disela-sela lipatan lututnya. Rambut panjang miliknya menjuntai menutupi hampir seluruh bagian wajahnya.

"Lira, sayang!," panggil nenek devi pelan.

Tangan Nenek devi terulur mengusap lembut surai milik cucunya.

Wajah yang sebelumnya tenggelam itu perlahan terangkat. Lira buru-buru menghapus air matanya. Dia benci terlihat lemah didepan orang lain.

Nenek devi menatap iba cucunya. Mata cucunya bengkak akibat menangis semalaman. Perpisahan anak dan menantunya 2 tahun lalu menyisakan luka mendalam dalam diri cucunya.

"Mata lira bengkak, lira habis nangis, ya?"

Lira tidak menjawab. Nenek devi dapat memakluminya, cucunya jadi pendiam sejak 2 tahun terakhir. Cucunya yang dulunya ceria berubah seratus sembilan puluh derajat. Sekarang hanya tinggal Lira yang kaku, tanpa ekpresi dan tertutup.

Nenek devi peduli pada Lira dengan menyuapi Lira nasi bungkus. Ini adalah nasi bungkus untuk sarapan pagi tapi sampai sore tidak Lira makan.

"Lira tinggal sama nenek aja, ya?," tanya nenek devi disela-sela menyuapi.

Lira menggeleng lesu.

"Setidaknya, dengan tinggal sama nenek pola makan kamu terjaga. Nenek mau bilang apa sama ayah sama bunda kamu kalo semisal dia datang kemari?."

"Badan kamu udah kayak lidi sekarang."

Garing. Perkataan nenek itu garing.

Lira meneguk air putih terlebih dahulu, "ayah atau bunda gak bakal jenguk Lira, nek."

"Kata siapa, sayang? Setiap orang tua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya."

Setiap orang tua memang menginginkan yang terbaik untuk anaknya, sampai tanpa sadar mereka lupa bertanya apa yang anaknya inginkan.

Nenek devi menarik sudut bibir Lira. "Jadi sekarang senyum, ya."

Lira tersemyum masam.

Jujur, Lira sangat sangat menyayangi nenek devi dan kakek jerman, karena hanya mereka berdualah yang tidak meninggalkan dirinya, disaat semua orang meninggalkannya tanpa iba, bahkan saat dia meminta untuk tidak ditinggalkan.

"Jadi, Ayo pulang kerumah nenek hati kaca."

Lira memang memiliki 2 rumah. Sesekali dirumah neneknya dan dilain hari dirumah peninggalan kedua orang tuanya. Lagi pula letak rumah keduanya sangat dekat. Rumah kedua orang tuanya berada dibelakang rumah neneknya.

BINTANG LIBRAWhere stories live. Discover now