Bagian 9

1.8K 104 10
                                    

Bagian 9

Wajah Satria dan Fawwaz

***

Satria memiliki karakter seperti Tania. Ceria dan banyak bicara, tapi sayangnya Tania berbeda. Satria juga perasaannya sangat lembut dan mudah tersentuh. Pernah suatu ketika, Tania tidak punya uang sama sekali saat Satria minta mainan. Tania menatap Satria dengan mata berkaca-kaca, menggeleng dan menunjukkan isi dompetnya yang kosong. Satria yang saat itu masih lima tahun, memeluk dan berkata, “Bunda jangan sedih, nggak apa-apa, Satria mintanya nanti lagi saja kalau Bunda punya uang.”

Tania justru tak kuasa menahan tangisnya mendengar Satria bilang seperti itu. Tapi Satria mengusap air mata Tania dan kembali berkata, “Maaf, Bunda. Maaf udah bikin Bunda nangis. Satria janji nggak akan nakal lagi minta mainan kok.”

Seorang bapak pedagang mainan di pinggir jalan itu, menyodorkan pistol-pistolan panjang yang tadi ditunjuk Satria. Tania dan Satria mendongak, bingung tapi penjual itu tersenyum dan mengatakan, “Ambillah, Nak. Anggap saja ini hadiah dari kakek karena kamu sudah jadi anak yang baik.”

Satria menganga, tapi kemudian tersenyum lebar hendak mengambil mainan itu, tapi baru menyentuhnya, anak itu menoleh pada Tania. “Boleh, Bunda?”

Tania tersenyum dan mengangguk, mengizinkan. Satria langsung mengucapkan terima kasih pada bapak itu. Tania berdiri, lalu mengeluarkan buku kecil dan bolpoin dari tas. Ia menuliskan alamat rumah kontrakannya dan nomor ponsel, lalu menyerahkan pada Bapak penjual itu.

Si Bapak tersenyum membacanya. ‘Ini alamat kontrakan dan nomor Hp saya, Pak. Tiga hari lagi bapak bisa datang buat ambil uangnya, sekarang saya lagi nggak ada uang. Atau nanti saya ke sini saja.’

“Saya ikhlas ngasih buat anakmu, Mbak. Saya dari dulu suka sama anak kecil, karena saya sudah 20 tahun menikah belum dikasih kepercayaan sama Allah buat punya anak.”

Tania menangkupkan kedua tangan, tersenyum dengan tatapan mengucapkan terima kasih. Tapi tiga hari kemudian, saat Tania sudah menerima upah dari kerjanya di kompeksi, ia datang lagi dan membayar mainan itu. Meski si Bapak menolak, tapi Tania tetap memohon agar diterima. Tania tahu niat si Bapak memberi, tapi Tania juga tak mau merugikan orang lain, karena ia tahu untuk dari dagang mainan tidaklah seberapa.

Tania selalu tersenyum dan berdoa setiap melewati tmpat si Bapak dagang mainan itu, karena setahun lalu terdengar kabar bahwa bapak itu telah meninggal. Kini lapak itu diganti pedagang bakso. Setiap hari Tania melewati tempat itu ketika mengantar Satria sekolah.

Seperti pagi ini, Tania mengantar Satria ke sekolahan sebelum berangkat kerja. Saat sampai di depan gerbang, Satria mendongak dan bertanya, “Bunda jadi mau ketemu sama Miss Hasna dulu?”

Tania mengangguk, lalu ikut saja ketika Satria menariknya masuk. Tapi sebelum sampai ke kelas, mereka bertemu dengan Miss Ria, guru kelas tiga.

“Eh, Satria. Selamat pagi.” Miss Ria menyapa, lalu tersenyum pada Tania.

“Selamat pagi, Miss Ria. Miss, apa Miss Hasna sudah datang? Soalnya Bunda mau ketemu.” Satria langsung menjelaskan tanpa ada rasa takut sedikit pun, membuat Miss Ria tertawa.

“Wah kayaknya belum. Miss Ria juga belum ketemu sama Miss Hasna. Tunggu aja di kelas ya.”

“Iya, Miss. Terima kasih.”

“Sama-sama, Anak Pinter! Miss ke kantor dulu ya.”

Satria mengangguk, dan setelah Miss Ria pergi, Satria mendongak menatap Tania. “Gimana, Bun? Bunda mau nunggu Miss Hasna?”

Tania menggeleng, lalu berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Satria. Ia mengeluarkan ponsel dan mengetik sesuatu lalu memberikannya pada Satria.

‘Bunda nanti telat. Nanti saja ketemu sama Miss Hasna kalau Bunda libur kerja. Salam buat Miss Hasna ya. Bunda bilang terima kasih gitu.’

Satria mengangguk setelah membaca tulisan di ponsel Tania. “Oke deh, Bun. Bunda berangkat kerja.”

Tania kemudian mengecup kening dan pipi Satria, tersenyum dan pamitan lewat tatapan mata. Satria mencium punggung tangan Tania, lalu mengucap salam dan lari masuk ke kelas.

***

“Kamu beneran nggak mau aku anter?” tanya Fawwaz sembari menerima roti bakar dari Hasna.

“Nggak usah, Sayang.” Hasna menyuruh Fawwaz duduk, lalu ia mengambil susu coklat yang sudah diseduh. “Aku tuh nggak enak sama guru guru lain. Soalnya pada naik motor, masa aku naik mobil.”

“Kenapa emang?”

Hasna kembali dan meletakkan susu coklat di meja depan Fawwaz. “Ya nggak enak aja. Ntar jadi omongan juga, masa guru SD doang naik mobil.”

“Bilang aja ke mereka kalau suamimu ini sekarang manager keuangan di perusahaan Wedding Organizer cukup besar di Jakarta, yang menangani pernikahan anak pejabat dan artis.”

Hasna tertawa, lalu mengecup pipi Fawwaz. “Aku berangkat ya, nanti telat.”

“Ini seriusan kamu berangkat naik motor aja?”

“Serius, Sayang. Lagian kan arah berangkat kita beda, nggak mau aku kalau harus bikin suamiku ini bolak-balik cuma buat nganter aku.”

“Nggak masalah. Aku justru khawatir kalau kamu naik motor.”

“Aman. Lagian dari dulu kan aku naik motor. Udah ah, aku berangkat, telat nanti.”

“Hati-hati, kalau kenapa-napa langsung telpon ya.”

“Siap, Komandan!”

Hasna kemudian mengambil tas di kamar lalu segera berangkat setelah mengucap salam dan mencium punggung tangan suaminya. Ia keluar dari apartemen, dan turun ke parkiran motor. Motor yang sudah dibeli dari pertama pindah, tapi baru pertama dipakai ke sekolahan. Fawwaz selalu mengantarnya selama ini, tapi semalam ia membujuk agar diizinkan naik motor saja.

Jarak dari apartemen ke sekolahannya jika naik motor hanya ditempuh kurang lebih 25 menit. Hasna sampai di sekolahan tepat jam tujuh. Iaa langsung ke ruang guru lebih dulu untuk menyapa para guru lain dan mengambil buku muridnya yang ditumpuk.

“Eh, Miss Hasna, tadi Bu Tania nyariin Miss Hasna.” Miss Ria langsung cerita sebelum keluar dari rang guru untuk ke kelas.

“Bu Tania siapa ya, Bu?”

“Itu ibunya si Satria, muridnya Miss Hasna. Belum kenal?”

“Ibunya Satria?” Hasna mengernyitkan dahi. Nama itu seperti tidak asing baginya, tapi siapa?

Hasna mengabaikan dan langsung pergi ke kelas. "Selamat pagi, Anak-Anak!" serunya saat memasuki kelas satu tersebut. Ia tersenyum menatap wajah murid-muridnya yang masih lugu. Tatapannya kemudian tertuju pada Satria yang juga menatapnya dengan senyum lebar.

Sorot mata itu, seperti mengingatkannya pada ….

"Miss Hasna!" Satria berseru sembari berjalan menghampiri.

Hasna pun langsung berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Satria. Semakin ia menatap Satria, ia seperti sudah mengenal lama. Wajah Satria seperti mengingatkannya pada ….

"Miss, tadi Bunda nganter Satria ke sini. Bunda pengen ketemu sama Miss Hasna, tapi Miss Hasna belum datang. Jadi Bunda berangkat kerja deh. Bunda mau bilang makasih sama Miss Hasna."

Hasna tersenyum mendengar ucapan Satria. "Wah semoga nanti Miss bisa ketemu sama Bunda ya. Sekarang, Satria duduk lagi kita doa. Satria bimbing doa temen-temen bisa? Soalnya Rio nggak berangkat, tadi mamanya Rio telpon Miss katanya Rio lagi sakit."

"Bisa, Miss." Satria pun kembali ke tempat duduk, dan mulai membimbing doa teman-temannya.

Satria, wajahnya, alis tebalnya, sorot mata tajamnya, hidung, dan bibir, kenapa … kenapa ia seperti melihat Fawwaz versi kecil?

Hasna menggeleng. Ia menyangkal pikirannya sendiri. Karena ia tahu, jika pernikahan Fawwaz dan istri sebelumnya tidak memiliki anak. Fawwaz bahkan mengatakan, "Aku nggak pernah nyentuh dia, Nis. Aku nggak bisa nyentuh perempuan tanpa ada cinta sedikit pun. Itu yang bikin pernikahanku hambar."

Hasna percaya pada suaminya. Fawwaz tak mungkin berbohong.

Bersambung ….

Baca cepat ke Karyakarsa. Sudah tamat di sana. Username: Popynovita14

APA KABAR MANTAN SUAMIKUWhere stories live. Discover now