Bagian 7

1.8K 96 3
                                    

Bagian 7

Video Call Adam

***

Rintik hujan membasahi salah satu kota di Kalimantan, tempat di mana Adam mengais rejeki saat ini. Sudah tiga bulan dia berada di sana, dan selama itu pula dia tidak bertemu dengan Tania atau Satria.

"Kapan lagi, Dam. Kesempatan bisa punya gaji besar." Tania memberikan pendapat lewat ketikan di ponsel, saat Adam ragu apakah harus menerima tawaran kerja dari temannya.

Adam meletakkan ponsel di meja setelah membaca ketikan Tania. "Tapi aku nggak bisa ninggalin Mbak dan Satria sendiri di sini."

Tania mengambil ponsel lalu mengetik sesuatu dan menyodorkan pada Adam. "Aku dan Satria baik-baik saja. Pergilah. Hasil kerja di sana bisa kamu tabung, buat lanjut kuliah lagi nanti."

Adam pernah kuliah tapi hanya satu semester. Dia memilih berhenti karena terkendala biaya. Selain itu, ia juga lebih memikirkan kebutuhan Satria.

"Aku udah nggak minat buat kuliah, Mbak." Dalam hati dia melanjutkan bahwa ingin menikah saja. Tapi pasti Tania akan bertanya dengan siapa. Padahal Tania tahu selama ini ia tak pernah memiliki kekasih.

Semenjak bertemu dengan Tania di terminal waktu itu, Adam membawa Tania ke kost yang murah tak jauh dari kontrakan neneknya. Saat itu, Adam masih punya nenek dan dia sedari kecil tinggal berdua dengan sang nenek.

Setelah neneknya meninggal saat dia berusia 20 tahun, Adam merasa hanya punya Tania dan Satria. Hidupnya untuk mereka. Ia tak pernah minat untuk memiliki kekasih meski tak jarang ada gadis yang berusaha mendekati.

Entah sejak kapan dia menyukai Tania layaknya rasa suka laki-laki terhadap perempuan. Mungkin karena setiap hari bertemu, atau karena awalnya rasa iba yang akhirnya memunculkan benih-benih cinta? Entah. Adam tak terlalu memahami itu. Dia buta tentang asmara.

Malam ini, ia duduk di kursi kayu luar rumah. Rumah yang disediakan oleh pemilik bangunan rumah sakit untuk para pekerja. Adam meletakkan satu ponselnya di tripod, setelah itu memanggil video call pada Tania. Tidak terjawab di panggilan pertama. Adam mengetik pesan menanyakan apakah Tania sudah tidur atau belum. Panggilan kedua baru diterima.

"Udah tidur ya, Mbak?" tanyanya langsung karena melihat rambut Tania yang sedikit berantakan serta wajah yang seperti … "Mbak abis nangis?" selidiknya.

Tania menggeleng dengan cepat, mengusap wajah dan tersenyum. Adam seperti melihat kebohongan di sorot mata Tania, tapi ia juga tak mau memaksa wanita itu untuk bicara.

"Satria mana? Udah tidur?"

Tania mengangguk, kemudian terlihat sedang meletakkan ponse di meja, dan ia duduk di kursi sembari memegang ponsel Satria yang akan digunakan untuk mengetik pesan.

Ponsel Adam yang ada di tangan berdenting. Ada pesan masuk dari Tania. Ia pun membacanya.

"Satria kekenyangan, makanya cepet tidur. Tadi gurunya main ke sini katanya, beliin banyak makanan buat Satria."

Adam tersenyum lalu menatap layar ponsel yang di tripod. "Iya, tadi Satria juga ngirim foto makanannya. Baik banget ya guru barunya Satria."

Tania mengangguk lalu mengetik pesan. "Besok aku mau nganter Satria pagi pagi supaya bisa ketemu gurunya itu."

"Pagi kayaknya susah, Mbak. Pasti gurunya berangkatnya juga mepet jam masuk sekolah."

Tania terlihat berpikir lalu mengetik pesan lagi. "Semoga sorenya bisa ketemu. Tapi kalau nggak ketemu juga, kapan-kapan aja."

Adam tersenyum dan mengangguk pelan setelah membaca pesan dari Tania. "Besok aku gajian, Mbak. Aku transfer ya buat jajan Satria."

Tania menggeleng cepat dan buru-buru mengetik pesan. "Jangan. Uangmu tabung aja. Uang jajan dari kamu bulan lalu aja masih ada. Pokoknya uang kamu ditabung buat kuliah lagi."

"Mbak pengen banget ya liat aku kuliah lagi?"

Tania mengangguk.

"Akan aku usahain. Tapi tetep, aku bakal transfer buat jajan Satria. Kalau masih ada, Mbak bisa pake buat kebutuhan lain."

Tania mengerucutkan bibir, lalu tersenyum.

***

Fawwaz dan Hasna masuk rumah ketika mobil milik Fero mulai meninggalkan pekarangan. Mereka sama-sama bernapas lega karena akhirnya Fero pergi juga. Selama tiga jam lebih, mereka menahan diri dari emosi. Fero terus mengungkit jika sebaiknya memikirkan punya anak dengan cara bayi tabung.

"Bagaimana jika Kak Fero tau jika yang bermasalah itu adalah rahimku, bukan kamu." Hasna bertanya dengan sorot mata sedih, saat mereka sudah di kamar.

"Kak Fero nggak akan tau. Tenanglah, Sayang." Fawwaz memandangi wajah istrinya dengan lembut.

"Tapi bisa saja kan suatu saat nanti—"

Cup!

Fawwaz mengecup bibir Hasna agar istrinya itu tidak meneruskan ucapan. "Berhentilah mengkhawatirkan hal yang belum terjadi."

"Aku hanya takut, Kak Fero akan ngamuk kalau tau yang sebenernya."

"Dan kalau pun Kak Fero tahu, aku akan tetap ada di samping kamu."

"Gimana kalau Kak Fero nyuruh kamu nikah lagi?"

Fawwaz tertawa. "Aku nggak akan mau untuk nikah lagi."

"Tapi kalau Kak Fero maksa kayak waktu jodohin kamu dulu?"

"Nggak akan, Sayang. Mantan istriku dulu itu anak dari sahabat mamaku. Kak Fero sangat dekat dengan mantanku itu. Jadi, perjodohan dulu itu bukan tanpa alasan."

"Tapi, Yang …."

"Apa lagi?"

"Bukan. Aku kepikiran mamanya Satria yang tunawicara. Mantan kamu dulu juga nggak bisa ngomong kan?"

"Astaga apalagi ini?!" Fawwaz terbahak-bahak. "Apa kamu pikir, mamanya si Satria itu adalah mantan istriku?"

Hasna mengerucutkan bibir. Fawwaz mencubit pelan. "Orangtua tunawicara tuu banyak di dunia ini, Sayang. Lagipula, kalaupun Satria anaknya mantan istriku kenapa? Nggak ada urusannya denganku. Sudah mantan ini."

"Iya iya. Ih aku lupa minta nomor WA-nya Satria. Tapi, Yang, beneran aku boleh ajak Satria main ke sini?"

"Boleh. Kamu bawa semua murid kamu juga boleh."

Hasna tertawa. "Besok ya, aku bawa ke sini. Nanti kukenalin, kamu pasti langsung suka sama anak itu."

Fawwaz mengangguk lalu menyuruh Hasna tidur.

Bersambung ….

Baca cepat ke Karyakarsa ya. Dah tamat di sana.
Username: Popynovita14

APA KABAR MANTAN SUAMIKUOnde histórias criam vida. Descubra agora