bab 1

116 10 0
                                    



Sejatinya setiap manusia pasti memiliki rencananya tersendiri yang telah ia susun secara rapi, tapi kembali lagi pada kenyataan.
Saat sang pencipta masih menjadi sang penentu alurnya.

_____

Terik matahari terasa kian menyengat saat sang Surya tepat berada di puncak kepala.
Riuh kendaraan yang berlalu lalang kian menambah kekacauan yang terasa. Beberapa orang bahkan sudah beberapa kali mengeluarkan umptannya saat kendaraannya harus terjebak macet di hari yang terasa kian terik.

Mengabaikan riuh suara di sekitarnya, park Aira wanita yang kini tengah melangkah dengan tertatih di trotoar jalan dengan langkah kian gontai.

Tatapannya kosong seolah mengatakan bahwa jiwanya tak berada dalam raga.
Pikirannya jauh berkelana berperang dengan segala kecamuk jiwa.

Ckitt....

Suara ban kendaraan yang beradu dengan aspal tak membuatnya berhenti, ia justru terus berjalan mengabaikan sumpah serapah dari sang pemilik mobil.

" Dasar wanita gila, apa kau mencari mati?"
Teriak sang pengendara lain, tapi seolah tuli wanita bernama Park Aira itu terus berjalan mengabaikan keadaan sekitarnya.
Justru ia akan teramat berterima kasih jika saja sang pemilik kendaraan tadi mau meloloskan rem kendaraannya.
Sekedar membuat tubuhnya terpental mungkin, hingga ia bisa berhenti singgah dari dunia yang terasa tak adil baginya.

Hingga langkahnya terhenti pada sebuah jembatan dengan air yang mengalir deras, Aira menatap aliran sungai itu masih dengan tatapan kosong.
Membayangkan bagaimana damai dirinya saat arus air itu membawa tenggelam tubuhnya.
Nampak terasa damai dan dingin dengan membawa semua bebannya.

Dan dengan bodohnya wanita berusia dua puluh dua tahun itu naik pada pembatas jembatan, dan merentangkan kedua tangannya seolah menyambut hembusan angin yang menerpa tubuh mungilnya.

"Bawa lukaku." Kalimat yang ia ucapkan sembari memejamkan matanya dan membiarkan tubuhnya melepas semua beban yang selama ini ia tanggung.

Grep....

"Kau gila!" Sebelum kakinya mengambang di udara, terlebih dulu sebuah tangan melingkar pada betisnya. Memeluk erat tak rela jika ia meloncat saat itu juga.

"Seberapa berat beban hidup mu nona, hingga kau melakukan hal yang bodoh seperti ini." Lelaki asing itu terus memeluk kaki Aira. Tak peduli jika mereka tak saling mengenal yang jelas rasa kemanusiaannya berada dalam puncaknya. Mana mungkin ia diam saja, saat melihat seorang wanita memilih menyerah dari hidupnya dengan terjun bebas.

"Lepaskan aku! Biarkan aku pergi meninggalkan dunia ini." Aira terus meronta agar lelaki asing itu melepaskan tubuhnya.

"Heyy kau gila." Lelaki itu menarik paksa tubuh Aira hingga wanita itu terjatuh di susi jalan.

"Iya aku gila, aku gila. Kau bahkan tak tahu bagaimana perasaan ku." Aira berteriak tak kalah keras, dan marah pada sosok laki-laki di depannya.

"Kau gila! Kau wanita bodoh! Lihat dan buka matamu bodoh. Kau pikir hanya kau yang hidup menderita di dunia ini. Masih banyak yang lebih menderita darimu, masih banyak bodoh. Tapi apa mereka menyerah seperti apa yang akan kau lakukan!" Lelaki asing itu terus berbicara seolah sedang memaki Aira, meski tujuannya ia hanya ingin menyadarkan wanita yang nyaris kehilangan nyawanya.

"Kau pikir mati itu menyenangkan hah." Lelaki itu mengakhiri kalimat panjangnya dengan nafas yang terendah, seolah baru saja berlari jarak jauh.

Sementara itu Aira justru membebankan wajahnya di antara lutut yang ia tekuk di sertai tangisan yang cukup terdengar di telinga pria itu.

Lelaki itu paham, mungkin yang sedang wanita ini alami memang beban yang cukup berat, ia kemudian ikut terduduk di samping Aira.

"Aku tak tahu seberat apa bebanmu, tapi setidaknya jangan memilih jalan itu. Masih banyak cara untuk menyelesaikan masalahmu." Lelaki itu kembali berucap kali ini dengan nada suara yang melembut.

"Lihatlah, berapa banyak orang yang berada dalam kesulitan tapi mereka tetap bersyukur dengan hidup yang mereka punya. Cobalah berfikir jernih, tuhan tidak akan memberikan dirimu unjian yang berat jika ia tahu kau tak akan bisa melewatinya. Tuhan memilihmu karena ia tahu, kau lah yang mampu." Lelaki itu mengusap punggung Aira dengan hangat seolah menyalurkan kekuatan pada wanita yang kini sedang terpuruk.

"Sudah, mari kita pulang. Aku akan mengantarmu."

Sejenak Aira terdiam...

"Percayalah hari esok pasti lebih baik." Ucap lelaki itu sembari menarik tangan Aira.

Dan nampaknya Aira tak berontak, menandakan bahwa wanita itu jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Mungkin apa yang dikatakan pria itu langsung di cerna akal sehatnya.

Pria itu menuntun tubuh Aira agar ia duduk di samping kemudi.

"Dimana rumahmu?" Tanya lelaki itu, sembari tangannya fokus pada kemudi.

"Di daerah Hannam-dong." Ucap Aira singkat.

Lelaki itu kemudian mengangguk dan mengemudikan mobilnya menuju arah tujuan.
. Setelah itu tak ada lagi percakapan diantara keduanya yang tenggelam dalam pikirnya masing-masing.

.
.
.
" Setelah belok kiri dua rumah berikutnya berhenti." Ucap wanita itu setelah mobil yang ia tumpangi memasuki kawasan perumahan mewah itu.

Lelaki itu mengangguk, hingga tak beberapa lama mobilnya berhenti di depan sebuah rumah yang tak kalah mewah dari rumah lainnya.

"Ini rumahmu?" Tanya lelaki itu sembari menilik keadaan rumah Aira yang berbeda dari rumah biasanya.

"Apa sedang ada pesta?" Tanya lelaki itu kemudian.

" Pesta penyambutan kematian ku." Ucap wanita itu singkat sembari keluar dari mobil milik lelaki itu.

Sementara lelaki itu nampak tercengang dengan jawaban wanita yang kini sudah berada di luar mobilnya.

Tanpa sepatah katapun, Bahkan untuk sekedar kata terimakasih Aira pergi begitu saja meninggalkan lelaki itu.

" Sama-sama nona." Sindir sang pria.

"Namaku park Jimin. Siapa namamu?" Teriaknya lagi.

Aira hanya berhenti sejenak, kemudian kembali melangkah seolah tak peduli dengan apa yang lelaki itu ucapkan.

Sementara lelaki bernama Park Jimin itu belum ingin beranjak hingga tubuh wanita itu benar-benar tak lagi nampak di matanya.

Hingga ia kemudian memilih beranjak dari tempat itu.
Seiring dengan kendaraannya semakin menjauh, ingatannya seolah tak ingin lepas dari bayangan gadis yang beberapa waktu ia tolong.

Entah kenapa, bayangan itu seolah terus menari dalam ingatannya.

"Kita harus bertemu lagi nona, dalam keadaan yang lebih baik pastinya." Gumam sang pria.

Menjadi awal pertemuan yang terkesan buruk, namun seolah siap menjadi ingatan yang tak akan pernah pupus.

Menjadi awal pertemuan yang terkesan buruk, namun seolah siap menjadi ingatan yang tak akan pernah pupus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Love Me Again (Park Jimin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang