bab 13

23 3 0
                                    


Tangan Aira bergetar sembari meremat sebuah kertas undangan yang beberapa waktu lalu ia dapatkan

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.


Tangan Aira bergetar sembari meremat sebuah kertas undangan yang beberapa waktu lalu ia dapatkan.
Dadanya bergemuruh menahan luka yang seolah kembali sengaja di buat menganga.
Semuanya terasa sia-sia saat ia berusaha berdamai dengan keadaan, tapi nyatanya ia tak pernah sampai pada titik baik-baik saja.
Sejauh apapun ia melangkah, pada kenyataannya ia kembali terjatuh pada titik yang sama.

Isak tangisnya kian terdengar, hari lelahnya kian terasa. Tak adakah kabar yang lebih baik di penghujung harinya ini?

Ia kian terluka saat mengingat kembali bagaimana sang ibu memberikan sebuah undangan dalam genggamannya seolah ialah orang asing yang datang untuk mengusik kebahagiaan kakanya sendiri.

"Datanglah, dan jangan buat malu." Hanya kalimat itu.
Singkat namun terasa menyayat, tak cukupkah kemarin kemarahan itu terlepaskan hingga hari ini seolah ingin mengulang.

Apa salahnya?
Hingga ia seolah pantas untuk menerima semua ini.

Tangannya kian bergetar, di sertai riuh suara yang kembali mengisi kebisingan pada otaknya.
Matanya terus terarah pada sebuah pisau buah yang tergeletak di atas meja.

Hatinya menolak, namun otaknya tak dapat berpikir selain sedikit menggoreskan benda itu pada pergelangan tangannya.

Aira menatap benda dalam genggamannya teramat minat, air matanya terus berderai disertai isi kepalanya yang kian bising.

Lakukan! Dan semuanya akan selesai.

JANGAN! Masih banyak hal yang belum kau lakukan.

Dua suara itu terus beradu perang saling menguasai.

Sret...

Hingga Aira mengalah, saat bisikan setan yang menjadi pemenang dalam otaknya.

Darah segar mengalir disertai tubuhnya yang mulai melemah.
Tubuh Aira tergeletak bersandar pada sofa, bodohnya sebuah senyum justru terlukis diantara dua birai miliknya seolah apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran.

Gemuruh dalam otaknya perlahan menghilang, di susul dengan pandangannya yang kian memburam.
Pendengarannya mulai terasa samar.

Sayup-sayup ia mendengar suara seseorang yang terus memanggil namanya.
Sebelum matanya perlahan tertutup sempurna, gelap.
.
.
.
.

Sedari tadi pria bermarga park itu tak pernah berhenti tersenyum, seolah membagi bahagianya pada siapapun yang ia temui.
Di tangannya terdapat dua kantong besar berisi makanan. Malam ini ia berecana akan menghabiskan waktu bersama Aira. Sekedar membuat Ramyun dan makan bersama.

"Ish aku pasti sudah gila." Ucap lelaki itu menyadari bahwa ia sudah terlalu banyak tersenyum hari ini terlebih saat membayangkan bagaimana ia bisa melihat wajah bahagia Aira beberapa hari ini.

Tak sabar rasanya ia ingin segera sampai di apartemen, sangat tak sabar hingga jarak lima meter saja terasa menjadi puluhan meter.

"Aku langsung ke apartemennya saja." Jimin urung menekan sandi apartemen miliknya saat melihat sedikit pintu apartemen Aira terbuka.

Love Me Again (Park Jimin)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt