1. Cinta Pertama Alit

Mulai dari awal
                                    

Meski kali ini tebakannya meleset. Rafly mau. Dengan senang hati pria itu mengiakan. Hanya saja, pria itu enggak bisa ikut ke Jakarta untuk fitting baju. Karena baju pria lebih sederhana dibanding kebaya, jadi Alit pun setuju kalau Rafly memang enggak perlu ikut fitting.

Yang jadi masalah adalah, fakta bahwa hubungan mereka masih tanpa status. Sudah dua tahun ia dekat dengan Rafly. Tepatnya sejak Alit masih kuliah semester tujuh. Mereka beda fakultas, tapi saling mengenal semenjak satu kelompok KKN. Ya, seperti banyak mitos yang beredar, KKN itu ladang cinlok. Dan Alit salah satu korbannya.

Ketika Alit meminta Rafly sebagai groomsman yang bakal berpasangan dengannya pun, pria itu kelihatan antusias. Alit pikir, setelahnya Rafly bakal menegaskan hubungan mereka dengan menyatakan perasaannya. Tapi nyatanya, sampai satu bulan kemudian Rafly enggak juga mengatakan apa-apa.

Kalau sampai hari H pernikahan Bintang, dia enggak ditembak juga, Alit harus mengenalkan Rafly pada keluarga besarnya sebagai apa?

"Kalau enggak mau, ya sudah enggak papa. Ntar kamu berpasangan sama adeknya Alan aja, Lit. Enggak usah dipaksa," tutur Bintang dengan nada tidak suka.

Ya, seperti kebanyakan kakak overprotektif pada umumnya, Bintang enggak pernah suka dengan laki-laki mana pun yang dekat dengannya. Bahkan tanpa berniat mengenal lebih dekat, Bintang sudah langsung menampilkan gestur tidak suka. Termasuk Rafly yang tidak pernah Bintang sukai, meski Alit sudah mengungkapkan seribu satu kebaikan Rafly padanya.

"Mau. Dia mau kok. Aku cuma lagi bete aja, PMS kali. Enggak ada masalah kok, Ca."

Bintang cuma manggut-manggut, kemudian perhatiannya tertuju pada calon istrinya yang sedang memakai gaun pengantin.

"Cantik banget, Sayang!"

Sumpah, Alit iri sekali melihat bagaimana cara Bintang menatap Alanda. Demi Tuhan, baru kali ini Alit melihat sorot mata Bintang selembut dan seintens itu. Rasanya Alit ingin bertanya pada Alanda, bagaimana caranya bisa mendapatkan laki-laki yang memujanya sebegitu besarnya seperti ini?

Jujur saja Alit enggak pernah dipuja sebegitunya. Termasuk Rafly pun, tatapannya selalu santai saja seperti ... mengobrol dengan temannya yang lain. Namun, di lain waktu, Rafly tidak segan-segan merangkulnya erat, menggandengnya, tersenyum lebar sambil mengacak-acak rambutnya, dan memberikan gestur ringan lain yang membuat Alit berbunga-bunga dan enggak mungkin dilakukan oleh seorang teman tanpa perasaan.

Sepertinya setelah ini Alit harus mulai mempertimbangkan untuk menegaskan semuanya pada Rafly agar tidak digantung terus-terusan seperti ini. Lebih baik dia galau karena ditolak, daripada kepalanya pecah untuk terus mengira-ngira apakah Rafly menyukainya atau tidak.

"Alit juga cantik banget! Bagus, Lit. Warna kebayanya cocok banget sama kulitmu yang terang!" Alanda berjalan mendekat, memperhatikan tubuh Alit dengan senyum lebar.

"Emang ini enggak terlalu ketat ya, Mbak?" tanya Alit pelan.

"Iya, menurutku ini terlalu ketat," sambung Bintang yang selalu menjadi polisi pakaian yang Alit pakai.

"Kamu ngerasa sesak gitu enggak?" tanya Alanda yang disahuti oleh gelengan Alit. "Ya udah, kalau enggak, berarti ini udah oke. Badanmu bagus kok. Enggak papa, harus percaya diri dong! Kebaya memang bagusnya fit body kayak gini."

"Makasih, Mbak." Alit betulan senang sekali mendengar pujian lembut dari calon kakak iparnya ini, yang kecantikannya sering bikin Alit insecure.

"Coba kamu jalan! Kainnya sempit banget enggak?"

Alit berjalan sesuai intruksi Alanda. "Iya, Mbak, ini sempit banget. Kalau pakai high heels makin susah lagi jalannya."

Hello ShittyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang