obsesi

39 4 0
                                    

Testpeck berhasil membuat pekerjaan Kirana berantakan, bukannya dia tidak profesional dalam bekerja hanya saja fikirannya saat ini benar-benar kacau. Selain pekerjaannya yang berantakan Kirana juga melupakan semua perintah atasannya untuk menyerahkan hasil kerjanya selama seminggu lalu tapi nyatanya belum satupun yang bisa dia serahkan. Kirana belum meninjau ulang dia juga belum bisa melakukan apapun saat ini. Kacau! Satu kata yang tepat untuk otaknya.
Kirana terus bergerak gelisah diatas Stool, beberapa kali dia memindah posisi duduknya selain itu dia juga belum memegang mouse komputernya sama sekali. Benar-benar kacau hidupnya kali ini. Hamil tetapi tidak bahagia inilah yang Kirana rasakan.
Keinginannya childfree lenyap seketika karena kebodohannya setiap hari. Bodoh! Hanya itu yang bisa dia sematkan untuk dirinya sendiri. Harusnya dari awal dia sudah menggunakan pengaman meski disentuh atau tidak Kirana tidak boleh lengah.
“Astaga!” Dicengkramnya ujung kerudungnya berkali-kali mengingat kebodohannya sendiri. Kalau seperti ini dirinya juga yang repot bukan?
Evan yang tanpa sengaja melihat Kirana mengigit-gigit kuku jempolnya sambil menatap gelisah layar komputernya menjadi terheran dan iba. “Ada apa?” Evan mendongak menatap sahabatnya yang ada tepat didepan kubikelnya.
Kirana mengalihkan pandangannya dari layar komputer, menatap sendu kearah Evan rekan kerjanya. “Aku belum menyelesaikan pekerjaanku sama sekali bang.”
“Kok bisa? Kamu ada masalah?”
Kirana mengangguk namun sedetik kemudian menggeleng. “Anu aku hanya—“
“Kirana.” Suara serak milik kepala devisi menggema memanggil namanya.
Sambil meringis Kirana berusaha menjawab panggilan Edo kepala Devisi. “Iya bang.”
Tanpa menghampiri Kirana, Edo menatap kesal Kirana dari depan pintu ruangannya. “Sebentar lagi saya mau pulang. Kamu mau sampai kapan membuat saya menunggu heh?”
“Maaf bang kayaknya ada—“
“Kirana lagi enggak enak badan. Gimana kalau gue aja bang yang kerjain?” Tawar Evan yang menyelat ucapan Kirana.
“Terserah. Pokoknya gue mau sekarang juga Van! Setengah jam lagi gue tunggu kalau enggak lu berdua lembur.”
“Siap bang.” Evan mengacungkan jempolnya bertanda setuju.
“Tapi—tapi bang.”
Evan beranjak dari duduknya lalu melangkah mendekati meja kerja Kirana. “kamu tunggu aku di kantin saja. Biar ini aku selesaikan!”
“Tapi bang.”
“Udah sana. Anggap saja kamu punya hutang kerjaan sama aku! Liat wajah kamu pucet banget.” Ujar Evan tanpa menoleh kearah Kirana.
“Makasih bang.” Kirana segera berdiri dari duduknya lalu meraih tas kerjanya dan melangkah kearah kamar mandi meninggalkan Evan yang mulai mengerjakan pekerjaannya.
Tepat saat didepan pintu kamar mandi Kirana menimang-nimang kembali keputusannya untuk kembali mengecek kehamilannya. “Kalau kali ini positif matilah aku.” Gumamnya sambil menahan tangis dan juga cemas.
“Bismillah saja deh.” Kirana membuka pintu toilet lalu melangkah kearah closet dan mulai mengeluarkan alat testpecknya.
Dalam hati dia terus berdoa semoga dia benar-benar tidak hamil jika benar dia hamil keputusannya adalah kedokter kandungan dan berkonsultasi tentang rencana mengugurkannya. Meski itu adalah perbuatan berdosa tetapi Kirana tidak ada pilihan lain, selain dia belum siap dia juga memikirkan reaksi keluarga Suga Martinez nanti saat mereka tahu dirinya hamil.
Kirana tidak boleh gegabah dalam bertindak, sebelumnya dia sudah pernah mendapat ulti dari mertua perempuannya. Kalau selama menikah dia dilarang hamil sebelum Suga Martinez menginginkannya sendiri. Konyol memang tetapi Kirana menyetujuinya kala itu. Selain dirinya belum siap dia juga tidak ada keinginan sama sekali untuk memiliki keturunan. ‘Trauma’ itulah yang menjadi alasan Kirana memilih untuk childfree.
“Ya Allah. Nenek!” Kirana kembali syok saat melihat hasilnya masih sama ‘positif’ dan itu tandanya dia memang benar-benar tengah mengandung. “Bodoh!” Kirana terus mengumpati dirinya sendiri. Tangisnya pecah, dia benar-benar tidak kuasa menahan air matanya. “Bagaimana sekarang?” Kirana menatap pantulan dirinya didepan cermin, bermonolog sendiri dengan bayangan wajahnya seolah mencurahkan isi hatinya kepada bayangannya sendiri. “Kalau anak ini lahir terus bapaknya enggak mau bagaimana donk? Masak iya nasib anak aku sama kayak aku? Ah enggah mau. Kasihan dia.” Ujarnya sambil mengusap-ngusap perutnya.
“Kamu enggak usah lahir ya bocil. Kasihan kamu punya emak kayak aku.” Ujarnya tanpa meredakan tangisnya hingga keryit pintu membuat tangisnya berhenti seketika. Dengan cepat Kirana mengusap sisa air matanya menggunakan punggung tangannya lalu membasuhnya dan cepat pergi keluar dari toilet tidak lupa dia juga memasukkan kembali hasil testpeck -nya.
Tepat saat dirinya baru saja membuka pintu, Evan sudah berdiri didepan pintu sambil mengulas senyumnya. “Yuk pulang.”
“Kok Abang tau aku ditoilet?”
Evan menarik tangan Kirana sambil mengajaknya melangkah menuju pintu evelator. “Kebetulan aku ketemu Yuli. Dia bilang kamu ketoilet saat aku mau cari kamu.”
“Oh.”
Bohong! Sebenarnya Evan berbodong, tadi setelah Kirana beranjak dari duduknya Evan sengaja mengikuti gerak langkah wanita itu dan ternyata Kirana tidak munuju ke kantin tetapi ketoilet dan karena itu juga Evan menjadi kawatir. Setelah menyelesaikan pekerjaan Kirana, Evan segera menyusul Kirana karena takut jika wanita itu kenapa-napa didalam toilet. Secemas itulah Evan jika melihat Kirana murung. Karena dia masih Evan yang sama, Evan yang selalu berharap jika Kirana mau menjadi istrinya seperti awal dia bertemu. Tetapi nyatanya Kirana sudah memiliki pria idaman lain namun Evan tetap tidak menyerah. Pria itu akan selalu berusaha mencari celah agar dia bisa memiliki Kirana.
Entah itu cinta atau obsesi yang terpenting Evan bisa memenuhi keinginannya sejak dulu.
“Mas enggak usah antar aku ya.” Tolak Kirana saat Evan mengajaknya kearah parkir mobilnya.
“Kenapa?” Tanya Evan dengan wajah sedikit kecewa.
“Anu itu aku—“
“Kamu hutang penjelasan sama aku dek. Udah yok aku anter, aku janji enggak anter kamu Sampek kedepan pintu rumah kok. Cuma depan gedungnya saja.”
Kirana memilih mengiyakan karena dirinya juga tidak tega melihat wajah kecewa Evan. Andai saja Evan yang menjadi suaminya mungkin dia tidak terlalu tertekan seperti ini akan tetapi sayang seribu kali sayang Evan tidak sekaya Suga. Jadi hatinya belum bisa move on dari deretan uang Suga Martinez. Selain bisa melunasi hutang Kirana juga bisa menabung untuk masa depan ah satu lagi, Kirana bisa sedikit merubah jalan takdir keluarnya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Realistis bukan? Jika menikah juga memandang harta dan penghasilan? Cinta bukan hanya bermodal cinta tetapi juga penghasilan, selain kebutuhan untuk hidup Kirana juga bisa membantu sesama jika ada yang membutuhkan. Kaya bukan hanya untuk hura-hura tetapi juga bisa menjadi ladang amal untuknya kelak diaherat.
Kirana bukan wanita munafik, dia membutuhkan uang untuk kelangsungan hidupnya. Capek juga jadi miskin, selain sering mendapat Bullyan dia juga sering mendapat tatapan cibiran dari tetangga kampungnya dulu dan karena itu pula yang membuat Kirana begitu workholic. Abisinya untuk menjadi kaya sangat besar. Ada banyak hal yang dia inginkan dalam hidup. Selain memakmurkan keluarga dia juga ingin membangun rumah singgah untuk anak jalanan.
“Dek.”
“Ya?” Seketika Evan membuyarkan lamunannya.
“sebenarnya apa yang kamu fikirkan?”
Kirana mencoba mengulas senyumnya. “Enggak ada Bang.”
“Jangan bohong. Aku udah lama kenal kamu dan enggak biasanya kamu mengabaikan pekerjaan kamu seperti ini.”
Kirana menghela nafas berat, bahunya merosot dan pandangannya mulai berkabut. Tangannya kembali mengopek-ngopek kuku jemarinya.
“Kalau kamu enggak mau cerita juga nggak apa-apa.”
“Aku hamil bang.”
Cit!
Setika Evan menekan pedal remnya begitu saja. Mengabaikan umpatan kesal dari pengendara yang ada dibelakangnya. Beruntung kening Kirana tidak terjumbab dasboard mobilnya. Dengan kesal Kirana menatap Evan. “Abang mau kita mati konyol?”
Evan masih terdiam, dia sungguh syok mendengar kabar kehamilan Kirana. Berarti impiannya untuk merebut Kirana musnah begitu saja.
“Arg!” Kesalnya sambil mengacak rambutnya sendiri.




Scandal Tuan MudaWhere stories live. Discover now