10. Is A Date?

12 3 0
                                    

"Kalau kita mampir dulu, kamu keberatan nggak?" tanya Rei tiba-tiba saat mobil berhenti di lampu merah.

"Boleh Mas, emangnya mau mampir kemana?" Jingga menyahuti dengan santai, dia malah terlihat antusias. Karena akhirnya Rei mau berbicara padanya setelah sejak tadi hanya diam.

"Makan," sahut Rei singkat sembari melihat-lihat sekitarnya untuk menemukan tempat makan yang sekiranya sesuai dengan selera Rei.

"Mas Rei mau makan di foodcourt?" tanya Jingga yang menyadari kalau mobil yang mereka tumpangi sudah masuk area parkir Malioboro Mall.

Rei menggeleng, "Nggak, cuma mau parkir aja. Nggak apa-apa kan kalau kita jalan?" tanyanya.

"Nggak apa-apa, seru malah." Jingga mengangguk antusias, sepertinya dia memang senang bejalan-jalan seperti ini. Apalagi suasana Malioboro malam ini cukup ramai karena kebetulan malam minggu.

Jingga dan Rei berjalan pelan sambil menikmati suasana. Disepanjang jalan terlihat banyak orang yang juga berjalan-jalan atau sekadar duduk santai di bangku-bangku yang sengaja disediakan. Suasana di sekitar Titik Nol KM malam ini terbilang cukup ramai. Tapi Rei dan Jingga hanya melewatinya, karena tujuan mereka adalah area kuliner sekitar alun-alun utara Keraton.

"Untung tadi kita nggak bawa mobil ya Mas, bisa-bisa baliknya susah nanti. Area nol km aja seramai itu." Jingga berujar pelan ketika mereka sampai di depan warung bakmi yang menjadi tujuan Rei. Keduanya langsung nengedarkan pandangan untuk mencari tempat duduk yang sekiranya kosong dan bisa mereka tempati.

"Saya mau pesen bakmi godhog nyemek sama teh panas nggih, Pak." Rei beralih menatap Jingga, bermaksud menanyakan pesanan gadis itu, "Kamu mau pesan apa?" ujarnya.

"Samain punya Mas Rei aja deh," sahut Jingga singkat, karena sebenarnya Jingga tidak terlalu lapar hari ini. Selain itu, dia juga bingung bila harus memilih akan memesan makanan apa. Karena menurut Jingga, semua makanan yang tersedia dalam daftar menu pasti rasanya enak.

"Berarti jadinya bakmi dua sama teh panas dua," ucap Rei pada pelayan yang ada di depannya.

"Tapi antre ndakpapa, Mas?"

Rei mengangguk, dia tidak masalah kalau harus menunggu. Lagi pula di rumah tidak ada siapa pun, jadi dia tidak ingin buru-buru pulang. Jingga juga sepertinya tidak keberatan bila harus menunggu, karena gadis itu terlihat menikmati suasana malam itu dengan tenang.

Rei memanfaatkan hal itu untuk mengabadikan momen mereka dalam sebuah potret. Diam-diam Rei memotret Jingga yang sedang menatap tenang suasana alun-alun utara. Dia tersenyum senang karena berhasil mengabadikan senyuman manis Jingga dan menyimpannya dalam album khusus yang dia buat.

"Aku kira Mas Rei nggak suka makan di luar kayak gini dan lebih sering masak sendiri." Jingga bertanya untuk sekadar membuka obrolan, karena memang sejak tadi mereka hanya diam dan sibuk menikmati suasana malam di tempat itu. Rei yang sedang fokus dengan ponselnya sedikit kaget, tapi untungnya dia bisa mengontrol ekspresinya dengan baik.

"Nggak, aku jarang masak. Lebih sering beli atau makan di kafe kadang. Riffa yang lebih sering masak, dia kadang eksperimen juga di rumah," jelas Rei sambil menggeser duduknya agar berhadapan dengan Jingga.

"Aku kira Mas Rei juga sering masak. Ah iya, Mas Rei kan juga owner tuh tapi aku lihat-lihat lebih sering di dapur dan lebih banyak Pak Riffa yang ngurusin soal kafe," tanya Jingga terlihat penasaran, sepertinya gadis itu sudah mulai nyaman berbicara dengan Rei.

"Kafe itu idenya Riffa, dia yang pengen bikin kafe sejak masih kuliah dan kebetulan Ayah juga mendukung. Jadilah kita berdua mulai merintis bikin Kafe Serenity dengan bantuan dana dari Ayah." Rei menjelaskan secara singkat soal kafe dan Jingga hanya mengangguk kecil mendengar penjelasan itu.

"Terus, Mas Rei lebih milih jadi barista karena suka kopi ya?" tebak Jingga asal dan diiyakan oleh Rei.

"Ngobrolnya nanti lagi, nih makan keburu dingin." Rei mengangsurkan piring berisi bakmi yang masih mengepulkan asap di hadapan Jingga.

"Ah, akhirnya datang juga. Selamat makan Mas Rei," ucap Jingga dan langsung fokus menikmati bakmi miliknya.

Rei yang melihat Jingga tersenyum ikut menyunggingkan senyum tipis. Rei merasa cukup senang hari ini, karena bisa berdua dengan Jingga sedikit lebih lama. Setidaknya, untuk hari ini dia bisa leluasa menikmati perasaan yang mulai tumbuh untuk gadis di hadapannya ini.

"Makasih ya Mas, maaf kalau hari ini aku ngerepotin Mas Rei lagi." Jingga berucap disela-sela makannya.

Rei hanya tersenyum singkat dan mengangguk, karena mulutnya sedang mengunyah. Dia tidak ingin mengambil resiko tersedak bila memaksakan untuk menjawab ucapan Jingga ketika mengunyah seperti ini.

"Mas Rei tuh harusnya banyak senyum, soalnya Mas Rei makin ganteng kalau senyum," ucap Jingga tiba-tiba memuji Rei dan membuat lelaki itu hampir saja tersedak karena kaget.

Percakapan mereka terputus begitu saja. Jingga langsung diam karena Rei tidak merespon pujiannya. Gadis itu memilih cepat-cepat menyelesaikan makannya agar bisa segera pulang, karena merasa malu atas apa yang diucapkannya tadi. Jingga merasa sedang melakukan kebodohan akibat mulutnya yang terkadang tidak bisa direm.

"Aku bayar dulu, setelah itu kita pulang." Rei beranjak dari duduknya dan membayar semua makanan yang mereka pesan. Sebenarnya itu hanya alasan Rei agar bisa menjauh dari Jingga sebentar untuk menetralkan degub jantungnya yang tidak beraturan karena pujian Jingga untuknya.

"Ayo, pulang."

Jingga mendongak dan menerima uluran tangan Rei. Lelaki itu mengenggam jemari Jingga dan berjalan bersisian dengan gadis itu sampai area parkir mall.

Tapi sejak masuk mobil dan sepanjang perjalanan pulang, Jingga hanya diam. Gadis itu tidak berani membuka obrolan karena masih terlalu malu akibat ulahnya sendiri. Jingga hanya akan berbicara bila Rei bertanya, selebihnya dia hanya diam.

"Kenapa sejak tadi kamu malah jadi diam? Kamu bosan ya nemenin saya?"

Mendegar pertanyaan Rei, Jingga langsung menggeleng cepat, "Nggak Mas, saya senang malah bisa jalan-jalan malam kayak gini."

"Syukurlah, aku kira kamu bosan nemenin saya. Soalnya dari tadi kamu cuma diam," ucap Rei merasa lega karena Jingga diam bukan karena merasa keberatan menemani dirinya.

"Makasih, Mas. Hati-hati pulangnya dan maaf soal tadi, kalau aku nggak sopan." Jingga berucap pelan sambil menunduk.

"Eh, kenapa minta maaf. Harusnya aku bilang makasih sama kamu karna dipuji seperti itu." Rei berujar tenang sambil menepuk kepala Jingga pelan, "Makasih ya Jingga atas pujiannya, selamat istirahat," ujarnya.

Jingga masih berdiam diri di depan gerbang sampai mobil Rei menghilang dibelokan. Sepertinya dia masih terkejut karena ucapan Rei tadi. Bagaimana tidak, Rei yang biasanya terlihat tegas dan sedikit kaku tiba-tiba menjadi ramah dan murah senyum seperti tadi.

"Astaga Jingga, sadar! Dia atasan kamu, bisa-bisanya kamu malah senyum-senyum sendiri kayak gini. Ini lagi jantungku kenapa berdebar tidak jelas," omel Jingga pada dirinya sendiri sambil menepuk pelan pipinya sendiri dan buru-buru masuk rumah. Tanpa tahu kalau sebenarnya Rei melihat semua tingkah Jingga barusan dari dalam mobilnya sambil tersenyum. Rupanya Rei tidak benar-benar langsung pergi setelah menurunkan Jingga di depan gerbang.

Kalau kayak gini caranya. Bisa-bisa saya akan semakin jatuh dalam pesonamu, batin Rei sambil tersenyum tipis.

========

Wah, Rei udah mulai deketin Jingga nih
Kira-kira gimana ya hubungan Jingga sama Rei setelah ini?

Rhain
28-11-2023

Just for You [TERBIT]Where stories live. Discover now