40 : Kembali Ke Tempat yang Seharusnya (End)

27 3 1
                                    

"Padahal kita belum piknik sama Ghea. Gimana kalo kali ini hiking aja?" tanya Senja setelah Halim mengatakan dirinya harus segera pergi. Setidaknya mereka harus merayakan kemenangan bersama karena pada akhirnya berhasil menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Keduanya berdiri di balkon apartemen Senja, menghitung bintang sembari menikmati keripik kentang sisa piknik tadi.

"Gue udah nemuin caranya buat pulang."

"Ah ... Bener juga. Ada orang yang kemungkinan nunggu lo sekarang."

Halim tak yakin apakah sang ibu menunggunya atau tidak. Namun, yang jelas sang ayah yang sudah pasti menunggunya. Dia pergi terlalu lama dan dapat dipastikan sang ayah sudah mencarinya ke berbagai tempat. Dia harus segera pulang.

Senja tersenyum hingga lesung pipi itu muncul. "Tapi ... Gue seneng kalo misalkan lo udah nemuin cara untuk pulang."

Senja sebenarnya tetap sedih meski kedekatan mereka hanya terjadi sebentar, namun gadis itu merasa Halim benar-benar menyenangkan jika dijadikan teman. Andai bisa, dia juga ingin bertemu lagi dengan Halim. Sayang sekali di tahun tempat Halim berada, dirinya mungkin sudah tua.

"Apa kita bisa ketemu lagi?"

Halim tersenyum dan mengangguk. "Kita bisa ketemu lagi kok."

Senja sangat antusias mendengarnya. Dia mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji?"

"Janji."

Memang benar mereka akan bertemu lagi. Namun, dengan kondisi yang berbeda. Di masa depan, Senja adalah ibunya. Dia harap ada sedikit perubahan di sana. Setidaknya agar dia tak membenci sang ibu. Meski begitu, Halim cukup yakin sangat banyak perubahan yang terjadi. Apalagi, pelakunya sudah benar-benar ditangkap, kemudian nampaknya sang ibu akan berhenti dari pekerjaannya saat ini. Jadi, kemungkinan di masa depan sang ibu akan punya lebih banyak waktu dengannya.

"Makasih, karena mau bantu buat nangkep pelakunya."

Senja terkekeh mendengar ucapan terima kasih itu. Malah dia yang harus mengucapkan terima kasih karena Halim secara tak langsung membantunya menyelamatkan Tirta. "Makasih pernah ngamanin gue waktu jadi buronan."

Senja kemudian tertawa saat ingat kejadian pakaian. Dia takkan pernah lupa, Halim pernah membelikannya pakaian sekaligus pakaian dalam saat dirinya jadi buronan hanya karena Senja yang tak bisa pergi keluar. Dia sungguh tak pernah membayangkan Halim akan dengan sangat konyol datang ke tempat pakaian wanita dan menanyakan soal pakaian dalam.

"Pasti ngetawain waktu belanja 'kan?"

Senja menepuk-nepuk bahu Halim sambil mencoba menahan tawa. Namun, dia bisa bayangkan akan seberuntung apa gadis yang nantinya menjadi pasangan Halim. Pria itu kelihatannya akan melakukan apa saja demi kekasihnya. "Di masa depan lo jangan kayak gitu ya. Takutnya nih ... Ceweknya mikir lo otaknya mesum."

Halim memasang wajah cemberut. Bagaimana bisa sang ibu mengungkit masalah itu lagi?

"Ah ya, di masa depan kayaknya gue udah punya anak seusia lo. Jadi mantu gue aja gimana?"

"Ngarep ya?" tanya Halim diiringi tawa. Masalahnya, kalau pun Senja punya anak perempuan, dia takkan pernah jadi menantunya. "Pasti 11 12 sama lo, keras kepala."

"Aduh, sakit perut deh jadinya." Senja terlalu banyak tertawa. Apalagi saat wajah Halim terlihat tersipu seperti kepiting rebus. Dia pasti akan mengingatnya agar dia setidaknya mendapat menantu seperti Halim.

Halim melirik jam tangan kulit yang melingkar di tangan kirinya. Sudah menunjukkan pukul 10 malam. Dia harus memastikan dulu Tirta hidup atau tidak di tahun 2027. Dia harap ayahnya hidup. Jadi, dia tak perlu lagi terjebak di tahun tersebut.

"Gue harus pergi sekarang. Ah ya, makasih banyak karena ngembaliin harddisknya. Harddisk itu terlalu berbahaya. Jadi ... Gue bakalan hancurin."

"Terus, kita ketemunya gimana dong?"

"Mungkin ... Akan lebih baik waktu berjalan seperti seharusnya. Terakhir kali gue malah bikin timeline yang ada jadi berantakan. Bener kata bunda. Kalo semua orang bisa kembali ke masa lalu dan liat masa depan, gak akan ada kata 'penyesalan' di kamus mana pun, dan ... Orang-orang gak akan berhati-hati karena mau seburuk apa pun yang mereka lakuin, mereka tetep bisa pergi ke masa lalu untuk memperbaikinya. Terus ... Waktu udah bukan lagi hal yang mahal karena kita bisa tau apa yang akan terjadi ke depannya," papar Halim dalam hatinya.

"Kita pasti ketemu lagi kok. See you!"

"Andai mesin waktu itu gak ada, mungkin sampe nanti pun gue bakalan benci sama bunda dan ... Gue akan nyesel karena lagi marahan sebelum bunda meninggal," lanjutnya dalam hati.

Halim tahu, keputusannya mengotak-atik waktu cukup membuat segalanya berantakan. Namun, dengan begitu dia bisa mengobati banyak hal yang tak dia dapat saat masih kecil. Termasuk berada sangat dekat dengan sang ibu. Sekarang dia sudah tak menyesali apa pun lagi dan benar-benar akan menghancurkan harddisk yang berhasil membawanya ke tahun 2027.

Halim menekan tombol lift, tersenyum saat lift itu bereaksi. Dia benar-benar berharap di tahun 2027, Tirta memang masih hidup. Jadi, dengan begitu dirinya bisa kembali lagi ke tahun 2050 seperti seharusnya.

Halim menatap ponselnya untuk memastikan dirinya sudah berada di tahun 2027. Selanjutnya, dia hanya perlu memastikan kondisi Tirta.

"Semuanya udah berubah 'kan?" gumamnya sembari mencari berita soal Tirta. Tak ada berita soal pria itu dibunuh atau meninggal. Artinya, Tirta masih hidup di tahun 2027.

"Temuin jangan ya? Ah, tapi takut malah bikin papa mau nonjok nanti." Halim masih sangat ingat bagaimana wajah cemburu Tirta. Dia kemudian bergidik, membayangkan akan seseram apa Tirta saat kembali bertemu dengannya.

"Kayaknya ... Lebih baik gak perlu ketemu di sini deh, tapi di masa depan."

Halim bergegas menuju unitnya. Dia akan membawa harddisk itu bersamanya agar tak ada lagi orang yang bisa melakukan perjalanan waktu. Dari bagaimana mereka kewalahan setelah mengejar Pramono dan Jiwa, dia belajar bahwa perjalanan waktu benar-benar punya sisi menyeramkan.

Sementara Halim sedang dalam perjalanan menuju tempatnya yang seharusnya, kini Senja sedang membaca ulang tulisan-tulisan luka Tirta. Meski rasanya menyakitkan, namun itu bisa sedikit mengobati rasa sesalnya karena tak bisa memeluk Tirta saat itu. Sekarang dia mengerti mengapa seri lanjutan itu ditunda. Itu karena Tirta sedang sangat sibuk menyelesaikan masalah organisasinya. Meski tetap saja tim IT mereka belum bebas.

"Jadi ... Selama ini gue baca tulisan yang ditulis pake tinta luka?" gumam Senja. Sedih bercampur bangga. Itulah yang ada di hati Senja. Luka Tirta terasa jauh dari jangkauannya. Padahal, yang selama ini membuainya dengan alinea-alinea sendu adalah tinta luka milik Tirta.

"Gue beruntung karena bisa ngelakuin perjalanan waktu, tapi ... Gue tetep ngerasa bersalah karena gak bisa bantuin Ghea. Andai bisa ... Gue pasti bantuin Ghea juga." Senja membalik halaman novel yang dia rasa menceritakan soal Ghea.

"Tapi ... Akan lebih baik segalanya berjalan seperti seharusnya. Ngeliat masa depan malah bikin gue fokus nyelamatin yang ada di masa depan sementara yang ada di masa kini malah kelupain," gumamnya diakhiri senyum. "Gue akan peluk luka Tirta seerat mungkin dan jadi orang yang selalu ada buat dia."

Senja bukan hanya bicara. Dia bahkan memutuskan mengundurkan diri sebagai detektif swasta. Dia memutuskan untuk mencari pekerjaan lain agar punya waktu lebih banyak dengan Tirta. Setelah perjalanan waktu, dia malah merasa waktu adalah hal yang sangat mahal. Bahkan, dia hampir membayarnya dengan nyawa.

***The End***

Finally kisah Senja dan waktu berakhir❤️🥺

Aku tau cerita ini masih banyak kurangnya dan mungkin masih jauh dari ekspektasi kalian, tapi ... Sejauh ini aku mau bilang makasih sama NadineAzzahra586 sama FindYour_Sky97 yang selalu support work ini dan bikin semangat buat terus lanjut. Luv luv buat kalian❤️

Tinta Luka [END]✓Onde histórias criam vida. Descubra agora