25 : Tidak Ada yang Berubah

13 4 0
                                    

"Ayo putus."

Sebuah kafe pada akhirnya dijadikan tempat perpisahan mereka. Dia sengaja memilih tempat yang juga merupakan tempat pertemuan pertama mereka serta tempat yang cukup punya banyak kenangan manis mereka. Mulai hari ini Senja akan belajar mengikhlaskan kekasihnya meski hal tersebut sangat berat untuknya.

"Apa?" Pria itu mengerutkan dahi kemudian terkekeh dan menganggap ucapan kekasihnya hanya gurauan. Sejauh ini, hubungan mereka berjalan sangat baik. Dia jadi berpikir kejutan manis apa yang akan Senja berikan padanya. Namun, wajah serius gadis itu membuatnya ragu soal kejutan.

"Kita putus."

"Senja ...."

Senja tersenyum. Dia harap tak ada satu pun tetes air mata yang jatuh sekarang. Dia tak ingin terlihat tak baik-baik saja atau Tirta akan semakin mencegahnya pergi. Ini semua demi kebaikan Tirta. Setidaknya, pria itu bisa hidup lebih lama jika mereka tak lagi memiliki hubungan apa-apa. "Kamu bisa dapetin orang yang lebih baik dari aku."

Tirta merasa ribuan pisau menancap di hatinya. Dia bahkan kehabisan kata karena keinginan Senja yang terlalu mendadak. "Kita belum war buku Secangkir Kopi barengan, kita juga belum datengin semua tempat yang ada di Bandung ... Kita ... Kita masih punya banyak whislist yang belum kita lakuin."

"Kita udah gak bisa lanjut."

"Aku bikin salah ya? Maaf ... Atau ... Aku terlalu sibuk? Aku bakal kurangin, tapi ... Jangan pergi," ujar Tirta dengan tatapan memohon. Dia benar-benar menyayangi gadis itu. "Jangan ya."

"Gak bisa," ujar Senja sembari melepas genggaman tangan pria itu. Dia mencoba mengendalikan hatinya yang kini mulai goyah. Dia harus pergi atau Tirta akan tewas di tangannya. Dia juga masih mencoba mencari tahu apa yang membuat dirinya sampai berbuat seperti itu? Rasanya terlalu mustahil, tapi buktinya terpampang jelas. Dari sidik jari, catatan panggilan, hingga CCTV. Selama Tirta bisa hidup sehat dan bahagia, dia juga akan ikut bahagia meski bahagia itu bukan lagi berasal dari dirinya.

"Tapi ... Ini terlalu mendadak."

"Maaf, tapi aku bener-bener gak bisa lanjut. Aku harap kamu bahagia dan sehat terus. Janji ya?"

"Buat apa? Kamu bahagianya aku." Terlihat mata pria itu mulai berkaca-kaca. Senja tahu sebesar apa Tirta menyayanginya. Pria itu selalu melakukan segala hal agar dirinya tersenyum. Namun, rasanya sangat memalukan karena dia akan membalas segala sikap manis Tirta dengan membunuhnya.

"Aku yakin kamu bisa nemuin seseorang yang lebih baik. Aku permisi, ada kerjaan di sekitar sini." Senja beranjak saat gejolak tangis itu terasa sangat mendesak. Dia tak bisa duduk di sana lebih lama. Apalagi, tatapan sedih pria itu benar-benar sukses membuat hatinya tiba-tiba goyah.

Senja mampir ke kamar mandi untuk menumpahkan gejolak tangis yang sejak tadi dia tahan. Rasanya benar-benar menyesakkan hingga dirinya memukul-mukul dada agar rasa sesak itu mereda. Namun, nyatanya rasa sesak itu berasal dari ketidak mampuan hatinya untuk benar-benar melepas Tirta. Pria itu menemaninya sejak berkuliah dan selalu ada untuknya. Bahkan, dekap hangatnya terasa menenangkan bersama dengan aroma parfum khasnya yang seperti vanila.

Senja menyeka air matanya, mencoba tegar karena keputusannya ini cukup tepat.

"Senja, kamu hebat loh. Emang gak mudah, tapi seenggaknya kamu masih bisa liat Tirta," gumamnya sembari menatap pantulan dirinya di cermin.

***

Seharian Senja hanya berbaring di atas tempat tidur sembari mendengarkan lagu untuk sedikit mengobati hatinya. Sesekali dia juga akan menonton TV sembari mengisi perutnya dengan camilan. Namun, sampai detik ini dia merasa plester terbaik untuk dirinya hanya dekapan Tirta. Ternyata dia memang sudah sangat ketergantungan dengan Tirta.

Gadis dengan piyama marun itu terus menatap ponselnya. Dia bertanya-tanya apakah tak ada kasus yang diterima oleh agensi yang menaunginya? Bahkan kasus Setyo langsung ditutup dengan menetapkan ajudannya sebagai pelaku. Padahal, dia merasa kasusnya ditutup secara tak wajar.

"Eh tunggu." Senja meraih ponsel satunya lagi. Dia baru ingat ada surel yang dia terima sesaat setelah menginjakkan kaki kembali ke 2023. Dia belum sempat memecahkannya karena fokus untuk mengakhiri hubungannya dengan Tirta. "Kita pecahin dulu."

Senja meraih pulpen serta buku catatan yang selalu dia bawa saat investigasi. Kemudian, dia mulai menerjemahkan pesan yang menggunakan caesar chipper itu. Sama seperti yang pernah Halim berikan, Senja memecahkannya menggunakan kunci G.

Belum terlambat untuk menyerah. Berhenti sekarang atau Ghea yang selanjutnya.

Senja membulatkan mata setelah mendapatkan pesannya. Ini membuktikan dengan sangat jelas pembunuh pengurus Esok Hari, memang bisa menjelajah waktu sama seperti dirinya. Namun, mengapa tiba-tiba dia menerimanya? Bukankah dirinya pelaku yang membunuh Tirta di masa depan? Lalu mengapa pesan itu memintanya untuk menyerah? Bahkan dia sudah tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelidikinya karena kasus-kasus itu sudah ditutup.

"Apa dia ngirim dari masa depan? Apa gue bener-bener bukan pelakunya?" Senja berlari menuju lift. Dia berdiri di sana, menatapnya lama bahkan saat pintu liftnya kembali tertutup. Ada rasa ragu untuk kembali ke sana. Apalagi, dirinya jadi buronan di sana. Namun, apa akan ada perubahan karena dirinya dan Tirta putus di tahun 2023?

Senja mengacak rambutnya. Semuanya terlalu membingungkan dan membuat kepalanya cukup pusing. Satu-satunya cara agar dia tahu jawabannya adalah dengan memeriksanya langsung.

"Oke, kita liat. Apa ada yang berubah?" gumam Senja.

Sementara itu, di lain tempat Pramono tersenyum menang. Tinggal menunggu waktu dan semuanya akan sangat terkendali. Semua penghalangnya juga telah disingkirkan satu persatu. Sekarang dia bisa duduk manis di kursi kebesarannya tanpa mengkhawatirkan apa pun.

"Kamu yakin musang itu gak akan cari tau?"

Pria misterius itu mengangguk. "Kasusnya langsung ditutup, tapi gak menuntut kemungkinan musangnya gak cari tau karena kasus Setyo ditutup gitu aja."

Pramono berdecak kesal. Senja benar-benar penghalang terbesarnya. Bahkan gadis itu terlalu cerdik untuk dikelabui. Seperti yang dikatakan pria misterius itu, Senja kemungkinannya akan mencari tahu.

"Apa ... Kamu bisa bunuh dia? Dia yang bakalan jadi penghalang paling besar sama kayak Tirta. Mereka itu bom waktu yang bisa meledak kapan aja."

"Saya usahakan."

***

Senja mengerutkan dahi saat berita kematian Tirta masih ada. Artinya, tak ada yang berubah meski dirinya menjauh dari Tirta. Hasilnya masih sama. Bahkan, dia masih jadi tersangkanya.

"Lo diem bisa gak sih?" Senja hampir melempar sesuatu pada pria yang sejak tadi berisik karena mencoba menahan tawa.

"Lo nangis seharian? Udah dibilangin, pelakunya bukan lo. Ada yang manipulasi seolah-olah lo emang pelakunya."

"Tapi kenapa masa depan gak berubah meski gue ngelakuin sesuatu di masa lalu?"


"Karena pada akhirnya kalian bakalan tetep bareng-bareng, papa sesayang itu sama bunda," gumam pria itu dalam hatinya.

Tinta Luka [END]✓Where stories live. Discover now