39 : Piknik

10 2 0
                                    

"Harusnya Ghea juga ikut." Senja mencebik saat membaca pesan yang baru dia terima dari Ghea. Gadis itu sedang sibuk melakukan penyidikan. Jadi, tak bisa ikut piknik bersama Tirta dan Halim.

Senja cukup senang saat pria itu ternyata masih ada di 2027 dan bisa melakukan perjalanan waktu ke 2023. Jadi, mereka bertiga bisa pergi piknik. Namun, sejak tadi Tirta malah menunjukkan wajah kesal. Mungkin karena Senja mengajak pria lain. Padahal mereka hanya sebatas partner memecahkan kasus kemarin.

"Tuan Tirta, senyum yuk. Masa cemberut sih?" tanya Senja saat dirinya akan mengambil foto bersama kedua pria itu. Dia mengambil beberapa foto selagi mereka menggelar karpet di tepi sebuah danau.

"Bagian terpentingnya adalah ... Makan." Sementara Senja sibuk menyiapkan, Tirta beranjak dari duduknya. Angin yang berhembus cukup kencang hingga membuat rambut Senja tertiup dan nampak mengganggu. Alhasil, Tirta dengan inisiatifnya membantu Senja mengikatkan rambut.

Tadinya Senja ingin memasak mie di sana. Namun, karena Tirta yang menyiapkannya, jadi dia harus menelan sedikit rasa kecewa karena tak bisa menikmati makanan kesukaannya. Alhasil, dia harus menerima apa pun yang dibawakan Tirta.

"Wah ...." Halim nampak senang saat mendapati beberapa daging yang sudah dimarinasi. Sejak kecil dirinya memang sangat suka dengan masakan sang ayah. Jadi, dia cukup yakin makanannya akan terasa sangat enak.

"Padahal tadinya mau bawa mie. Enak kayaknya kalo di tempat dingin gini," bisik Senja yang tentu membuat Halim menahan tawa. Sepertinya mie sudah membuat Senja sangat kecanduan. Namun, untuk Tirta yang biasa makan makanan sehat, tentu membuat Senja harus menghindari makanan itu.

"Mie mulu. Usus buntu," ujar Tirta sembari memotong daging-daging itu agar matangnya lebih sempurna. Kalau dipikir-pikir, selera Tirta dan Halim dalam memilih pakaian cukup mirip. Bahkan mereka memakai pakaian yang hampir sama. Yang membedakan hanya warna jaket denim yang mereka kenakan. Senja jadi merasa dirinya yang jadi nyamuk di sini.

Suara yang dihasilkan perut Senja sudah cukup mengundang tawa diantara mereka. Nampaknya perut Senja sudah tak sabar mencicipi daging panggang yang dibuat oleh Tirta. Apalagi aromanya memang cukup harum.

Halim meraih satu bungkus keripik kentang yang ada di keranjang piknik dan membukanya. Namun, bukan untuk dia nikmati sendiri, melainkan dia berikan pada Senja yang perutnya sudah keroncongan. Melihat hal ini tentu membuat suasana hati Tirta cukup memburuk. Bagaimana tidak? Halim satu-satunya teman pria yang dekat dengan Senja.

"Cemburu sama anak sendiri," gumam Halim dalam hatinya. Andai bisa, dirinya juga ingin mengatakannya. Namun, dia memilih untuk diam. Baginya, lebih baik mereka tak tahu siapa dirinya. Bukankah itu akan jadi kejutan nantinya?

Halim merasa ternyata dirinya hanya mengenal sebagian kecil dari orang tuanya. Sedangkan orang tuanya? Mereka mengenal hampir seluruh hidupnya. Dia menyesal pernah membenci ibunya hanya karena tak pernah bisa memberikan waktu untuknya. Namun, tanpa dia tahu itu adalah cara sang ibu untuk memastikan dirinya serta sang ayah tidak berada dalam bahaya. Seperti saat melakukan pemburuan pelaku pembunuhan itu, Senja memilih menjauhi Tirta bahkan menggantikan yang lain agar hanya dirinya yang terluka. 

"Ngelamun mulu. Dingin tuh," ujar Tirta yang tentu saja membuat lamunan Halim tercerai. Dia kemudian tersenyum saat melihat bagaimana Tirta menyuapi gadis itu dan dapat balasan tepuk tangan kecil oleh Senja.

"Enak 'kan? Tirta ini jago masak, tapi gak mau buka rumah makan."

"Ngapain?" tanya Tirta diiringi kekehan. Dia memang bisa memasak, namun dia tetap lebih suka menjadi seorang fotografer.

"Di masa depan papa punya resto kok," gumam Halim dalam hatinya. Bahkan itu yang membuatnya membanggakan sang ayah. Apalagi, setiap acara ulang tahunnya, dia akan datang ke sana, duduk di salah satu meja yang ada di pojok untuk merayakannya jika sang ibu tak pulang.

"Ah iya, katanya di sini bisa main sama alpaca. Pengen deh."

"Makan dulu. Nanti kalo udah abis."

***

Tirta dan Halim hanya memerhatikan gadis itu bermain dengan alpaca dari jarak jauh. Bagi Tirta, semua hewan berkaki empat itu menyeramkan. Kecuali kucing. Itu sebabnya, dia memilih untuk menjaga jarak. Namun, siapa sangka? Bagi Halim juga seperti itu. Apalagi, Halim pernah punya pengalaman buruk dengan berbagai hewan berkaki empat. Bisa dibayangkan 'kan, mengapa Halim mendapat pengalaman buruk? Yap! Karena sang ayah selalu sibuk kabur jika mengantarnya saat taman kanak-kanak.

"Ah ya, kamu suka ya sama Senja?"

Mendengar pertanyaan itu, tentu saja membuat Halim terasa tergelitik. Ternyata benar pria itu cemburu padanya. "Enggak kok."

"Tadi liatin Senja terus. Ah ya, satu lagi ... Harusnya kamu gak ikut karena Ghea gak ikut."

Pria dengan kaus putih serta celana coklat susu itu tersenyum. "Siapa yang gak sayang sama Senja? Tapi ... Saya suka Senja bukan sebagai cowo."

"Kalo kamu gak tau ... Saya pacarnya."

Halim semakin tak bisa menahan tawa sekarang. Apa ini benar-benar sang ayah? "Senja juga bilang gitu kok. Saya cuma sebatas temen yang bantuin dia."

"Bantuin?"

"Nyelesain kasus," jelas Halim yang kemudian membuat Tirta mengerutkan dahi. Ah ... Tirta belum tahu soal pekerjaan Senja. Itu terlihat dari wajah bingungnya setelah Halim mengatakan soal kasus. "Ah ... Senja itu detektif swasta. Dia yang akhirnya bikin kasus-kasus itu selesai dengan pelakunya yang ditangkap."

Halim menoleh ke arah Tirta. "Dia yang nemuin bukti pelaku pembunuhan Samudera, Jaka, dan Raja. Dia juga yang akhirnya bikin pelaku itu dapet hukumannya."

"Maksudnya ...."

Halim mengangguk sebab mengerti siapa yang Tirta tanyakan. "Itulah kenapa, tangannya pernah terluka. Itu waktu dia nyelidikin kasusnya. Apapun itu, tolong jaga Senja ya ... Dan ... Apapun yang terjadi, itu bukan salah kamu kok. Kamu cuma takut terluka dan bikin Senja khawatir 'kan? Tapi ... Akan lebih baik kalo kamu berani buat bilang yang sebenernya."

Tirta mengerutkan dahi. Apa maksud perkataan Halim? "Jadi beneran?"

Halim kembali mengangguk. "Sekarang jangan merasa bersalah lagi, Senja malah lebih aman sama kamu."

Tirta memang merasa bersalah saat Senja ikut jadi sasaran sang ayah. Andai bisa memutar waktu, mungkin dirinya juga akan membongkar sifat busuk dari sang ayah dan langsung merilis daftar kejahatan ayahnya. Namun, masa lalu hanya bisa menjadi penyesalan sekarang. Yang bisa dia lakukan hanya memastikan itu tidak akan terjadi lagi. Dia akan menjaga Senja dan memastikan gadis yang dia cintai itu tak terluka.

"Ngomong-ngomong ... Kapan kalian temenan? Saya kenal semua temen Senja kecuali kamu."

Halim hanya tersenyum. Bagaimana dia bisa mengatakan alasannya? Mereka bertemu di tahun 2027 kemudian bekerja sama untuk menangkap pelakunya. Namun, itu malah pada akhirnya membuat Halim tak jadi memisahkan kedua orang tuanya. "Kenal gak sengaja karena pelaku itu juga ngebunuh ibu saya. Tapi ... Karena dia udah dihukum, saya bisa tenang sekarang."

"Ibu?"

Halim mengangguk. "Iya, tapi ... Sekali lagi ini bukan kesalahan kamu."

Tinta Luka [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang