20 : Sekutu Baru

15 4 0
                                    

Ruangan itu terasa dingin. Bukan hanya karena suhunya yang memang terasa dingin meski sudah memasuki musim kemarau. Namun, juga karena sepasang manusia yang ada di dalam sana memilih untuk saling diam. Senja ragu mengajak Halim bicara karena pria itu memang selalu memberi respon dingin. Dia selalu merasa sakit hati jika diperlakukan seperti itu.

"Ngomong-ngomong, ngapain lo ngumpetin gue?" tanya Senja untuk sedikit mengusir rasa suntuknya berada di sana. Apalagi, pria itu sibuk memainkan sebuah game di komputernya.

"Kalo dikasih tau juga belum tentu percaya," ujar Halim kemudian meletakan headphone-nya di leher. Dia melirik Senja sekilas sebelum kembali fokus pada game itu. "Terus, gue gak yakin lo pelakunya."

"Lo kenapa bilang soal pelakunya licik? Lo tau siapa pelakunya?"

Halim mencoba memikirkan jawaban yang masuk akal sembari fokus pada permainannya. Namun, ini malah membuat fokusnya terpecah hingga akhirnya dia harus menerima sebuah kekalahan.

Senja menghindari tatapan dengan pria itu. Wajah kesal dari Halim cukup membuatnya takut pria itu malah akan berubah pikiran dan menyerahkannya pada polisi.

"Dia ... Orang yang juga bunuh ibu gue. Jadi, gue tau betul gimana dia setelah mata-matain dia," ujar Halim kemudian berjalan menuju kulkas untuk mengambil 2 minuman bersoda untuk dirinya juga Senja. "Dia licin. Hampir gak mungkin nemuin bukti yang ngarah ke dia."

"Jadi ...."

"Gue juga nyelidikin dia. Makanya gue ada di tempat yang paling deket sama dia, tapi sia-sia gue gak bisa nemu apa-apa," jelas Halim sembari membukakan kaleng minuman soda itu untuk Senja lalu memberikannya. "Liat apa yang sekarang terjadi? Lo dijadiin tersangka utama."

"Pelakunya siapa?"

"Orang yang lo pikirin juga."

Senja membulatkan mata. Artinya memang Pramono pelakunya. Namun, motifnya masih belum bisa dia analisis. Dari caranya membantai pengurus inti Esok Hari, artinya yang perlu dia cari tahu seharusnya organisasi itu. Dia ternyata malah melewatkan sesuatu yang jauh lebih penting karena terlalu fokus pada pelakunya.

"Tapi ... Kenapa lo minta gue nyerah?"

"Nyerah?"

Senja mengangguk kemudian meraih ponselnya di saku. Dia mencari surel yang isinya sama dengan pola kode yang digunakan oleh Halim saat memberitahunya soal dirinya takkan mendapat apa-apa meski berusaha. Namun, dia kemudian sadar, Halim sepertinya bukan orang seperti dirinya. Jadi, dia mengurungkan niat untuk menunjukkan surel itu.

"Kenapa gak jadi?"

Senja lagi-lagi dibuat terkejut saat menyadari sesuatu. Jika surel itu kemungkinannya bukan dikirim Halim, artinya pelaku pembunuhan itu bisa melakukan perjalanan waktu sama seperti dirinya. Dilihat dari bagaimana isi surel itu memintanya untuk menyerah dan secara tiba-tiba Tirta terluka, ini sudah cukup membuktikan jika pelakunya mengikutinya.

"Mungkin ... Ini kedengerannya gak masuk akal, tapi ... Gue dari 2023 dan gue ke sini untuk nyari bukti dan tangkep pelakunya di 2023." Senja merasa kehabisan kata saat melewatkan alibi ini. "Kemungkinan pelakunya juga bisa ke 2023 dan ke taun ini sama kayak gue."

Senja mengerutkan dahi kala Halim hampir saja tersedak setelah mendengar pernyataannya.

"Maksudnya?"

"Kita bisa kerja sama untuk nangkep pelakunya," ujar Senja kemudian menunjukkan surel yang dia terima. "Dia minta gue buat gak nyari tau lebih jauh dan nyerah. Terus, di taun 2023 Tirta tiba-tiba terluka dan dia ada di apartemen gue seolah pelakunya emang ngancem gue. Terus, di taun 2027 gue tiba-tiba jadi tersangka."

Alibi ini benar-benar membuat Senja merinding. Artinya akan cukup sulit untuk menangkap pelakunya. Seperti yang dikatakan oleh Halim, pelakunya terlalu licin hingga mereka takkan menemukan satu pun bukti karena memang pelakunya bisa membereskan segalanya dengan rapi.

"Tunggu, lo sama sekali gak kaget gue bilang dari 2023? Atau seenggaknya bilang gue gila gitu?"

"Karena gue juga dari masa depan untuk nangkep pelakunya di sini," gumam Halim dalam hatinya. Namun, dia memilih untuk menyimpannya. Bukan apa-apa, itu malah akan membuka fakta lain yang mungkin akan membuat Senja lebih terkejut. Yang penting, dia akan membantu Senja menyelesaikan kasus ini sebisanya.

"Gue gak peduli apa pun yang lo omongin, tapi lebih baik kita jadi tim. Itu bisa nguntungin buat satu sama lain," ujar Halim.

***

Senja menghela napas lega setelah tiba di tempat tinggal Ghea. Dengan pakaian serba tertutup dan menyamar sebagai pria, Senja berhasil lolos dari kawasan apartemennya yang dijaga ketat oleh polisi. Beruntung Halim bisa membantunya.

"Gimana?"

"Ini ... Hpnya Tirta." Ghea meletakkan ponsel yang ada di dalam kantung plastik itu. Ponselnya bersih tanpa noda darah setitik pun. Artinya Tirta tak menghubungi seseorang saat detik-detik maut menjemputnya.

Atensi Ghea tertuju pada seorang pria yang sibuk mengedarkan pandangannya di ruangan itu. "Dia ...."

"Ah, dia Halim. Dia bakalan bantu karena pelakunya juga bunuh ibunya," jawab Senja sembari fokus pada ponsel itu. Dahinya segera mengerut saat mendapati dirinya merupakan orang terakhir yang dihubungi Tirta.

"Wajahnya kayak gak asing," ujar Ghea sembari tetap memerhatikan pria dengan balutan kaus putih yang dilapisi jaket berwarna mustard serta celana panjang berwarna coklat susu.

"Gak mungkin," gumam Senja. Dia berusaha untuk mengingat. Namun, sia-sia karena ingatan itu hanya dimiliki oleh Senja di masa itu. Dia sama sekali tak tahu apa yang mereka lakukan hari itu. Namun, dilihat dari dirinya yang terakhir dihubungi, jelas saja alasan polisi menetapkannya sebagai tersangka.

"Maaf, gue gak bisa nyegah itu. Mereka geledah meja kerja gue dan nemuin hasil forensik yang nyatain sidik jari lo ada di sana," ujar Ghea yang malah membuat Senja tersenyum.

"Gapapa, mungkin aja gue pelakunya 'kan? Gak ada yang tahu."

Sementara 2 gadis itu saling meminta maaf, Halim justru tertarik pada papan yang dibuat Ghea. Segala hal yang ada di sana lebih rinci dari miliknya. Bahkan, dia tak tahu soal kaki tangan atau korban selain sang ibu.

"Jadi ... Ini yang bikin pelakunya susah ditangkep?" gumam Halim yang membuat Ghea menoleh kemudian menghampirinya. Namun, bukannya menjelaskan, dia malah berusaha menutupi papan itu dan menganggap Halim adalah musuh.

"Lo gak perlu tau."

"Kita ngincer orang yang sama. Jadi harusnya kita tukeran informasi," ujar Halim sembari menggeser Ghea hingga membuat gadis itu tak percaya.

"Senja, lo bawa makhluk nyebelin."

Senja terkekeh melihat bagaimana Ghea serta Halim tak akur. "Dia bisa mulihin CCTV-nya katanya. Dia ahli IT juga."

"Senja, lo langsung percaya sama dia? Gue bahkan ngerasa dia pelakunya."

"Gue percaya sama dia. Dia ajudan pak Pramono dan ...." Senja menuliskan sesuatu di stiker kemudian menempelnya di bawah foto Pramono. "Halim bilang dia pelakunya."

"Senja ...."

"Dia juga nyelidikin pak Pramono karena bunuh ibunya."

"Ada bukti yang bisa yakinin gue?" tanya Ghea sembari mengulurkan tangannya. "Gue bukan orang yang gampang percaya sama orang lain. Jadi, kalo gak bisa bikin gue percaya, lebih baik lo mundur dari tim ini."

Tinta Luka [END]✓حيث تعيش القصص. اكتشف الآن