23 : Rahasia Halim

10 4 0
                                    

"Lo mau liatin gue kayak gitu sampe kapan?" tanya Ghea yang kemudian memasukkan potongan kentang goreng yang dia pesan. Wajahnya memang terlihat sembab, namun dia berusaha keras untuk tidak mengkhawatirkan Senja. Dia masih ingat bagaimana Senja melakukan segala cara agar laporannya bisa diterima oleh polisi. Bahkan, saat sang ayah berusaha menutup kasus itu dengan uang. Dia tak mau memberi beban itu lagi pada Senja. Apalagi, saat ini Senja sedang menyelesaikan kasus pembunuhan Tirta.

Wajah kesal Halim yang sejak tadi harus bolak-balik menerima makanan dari kurir, sukses mengundang tawa Senja. Lagi, pria itu jadi alasannya tertawa di tengah ketegangan serta kesedihan yang dia rasakan.

"Ini terakhir 'kan?"

"Janji deh, ini yang terakhir," ujar Senja sembari membuka dompetnya. Namun, dia kemudian mencebik sembari menatap Halim. "Pinjem dulu, nanti diganti. Sekarang gue lagi dikejar jadi gak mungkin narik uang."

"Makasih!" ujar Senja saat pria itu melangkah menuju pintu.

"Sejak kapan lo deket sama dia?"

"Sejak ngejadiin rumahnya sebagai tempat persembunyian terbaik," jawab Senja. Dia juga sebenarnya tak mengerti mengapa bisa dengan mudah mempercayai Halim? Namun, satu jawaban yang membuatnya yakin adalah firasatnya. Dia merasa Halim cukup baik untuk dia percaya.

"Lo gak takut diapa-apain?"

"Gak minat," ujar Halim sembari meletakkan pesanan terakhir dari kedua gadis itu. Ini kali pertama aroma makanan merusak aroma lembut dari parfumnya yang bisa memenuhi seluruh sudut unit tersebut. Dia tak mengerti apa semua gadis bisa menghabiskan banyak makanan saat sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja?

Di meja sudah tersaji beragam makanan kesukaan Ghea. Dari burger, kentang goreng, hingga seblak. Senja hanya ingin sedikit menghibur Ghea. Jadi, dia membelikan semua makanan kesukaan dari gadis itu.

Selagi kedua gadis itu memperbaiki suasana hati, Halim memilih pergi ke kamarnya. Dia lebih suka aroma lembut parfumnya dibanding aroma makanan cepat saji. Dia malah merasa mual karena aromanya bercampur. Lagipula, dia sudah makan. Jadi, dia putuskan untuk berdiam di kamar sembari melakukan hal lain.

Halim menghela napas kemudian meraih buku karangan Secangkir Kopi. Baik di masa depan maupun sekarang, penulis itu merupakan idolanya. Dia memang sering bertemu bahkan memiliki hubungan terdekat dengannya. Namun, rasa kagum itu sedikit pudar setelah melakukan perjalanan ke tahun 2027. Meski begitu, dia tetap mencintai karyanya. Dia senang karena bisa membaca karya Secangkir Kopi yang rilis di tahun 2027.

Suara ketukan membuat Halim menoleh. Pria dengan balutan kaus pendek berwarna hitam serta celana olahraga itu segera beranjak dan membuka sedikit pintu kamarnya. Dia hanya tak mau papan kasus yang ada di kamarnya terlihat. Meski Senja mengatakan dirinya dari tahun 2023, tetap saja dia tak mau memperlihatkan kasus itu pada Senja. Apalagi, Senja tak tahu dirinya bukan orang yang seharusnya ada di 2027.

"Lo mau gak?"

Halim menatap piring yang sudah diisi dengan burger serta kentang goreng. "Buat gue?"

Senja mengangguk. "Masa lo cuma cium baunya. Ini ucapan terima kasih karena nemuin Ghea dan bawa dia ke sini."

Halim tersenyum. "Makasih." Halim menerimanya, kembali menutup pintu dibanding bergabung dengan 2 gadis itu. Tentu ini membuat Senja mengerutkan dahi karena pria itu terlihat menyembunyikan sesuatu di kamarnya.

"Aneh. Dia nyembunyiin apa?"

***

"Gimana kalo sementara lo di sini?"

Halim hampir saja tersedak mendengar ucapan Senja barusan. Baru satu minggu di rumahnya dan sekarang Senja malah mengajak orang lain tinggal di sana? Ini sulit dipercaya. "Rumah gue bukan penampungan."

"Halim bener. Gue baik-baik aja kok, sumpah," ujar Ghea. Dia memang awalnya merasa sangat takut juga stres membayangkan apa yang akan terjadi jika dia bertemu lagi dengan sang ayah. Namun, Senja benar-benar memanjakannya dengan membelikan semua makanan yang dia suka. Sekarang perasaannya agak membaik. Lagipula, mau tak mau pada akhirnya dia harus menghadapi rasa takut terbesarnya. Mungkin terasa sangat menakutkan karena sudah lama dia tak menghadapi rasa takut itu.

"Enggak, Ghea. Kalo gitu gue aja yang temenin lo di sana."

"Itu malah bahaya buat lo. Lo di sini aja sampe pelaku sebenernya keungkap. Ah ya ...." Ghea merogoh sesuatu di sakunya. Sebuah hardisk yang merupakan penyimpanan CCTV sebelum pembunuhan Tirta terjadi. "Gue percaya kok. Makasih udah jagain Senja."

Senja dan Halim saling tatap. Apakah kasus Tirta akan selesai setelah rekamannya dipulihkan? Senja benar-benar menunggu saat itu tiba. Dengan begitu, dia bisa kembali ke tahun 2023 untuk mengatasi semuanya. Dia yakin akan menangkap pelakunya baik di tahun 2027 atau 2023. Dia harus melakukannya.

"Gue pulang dulu ya. Makasih makanannya. Lain kali gue yang traktir."

"Gue anter. Gimana?" tanya Halim yang kemudian membuat Ghea terdiam sebelum akhirnya setuju.

"Jangan buka pintu."

"Iya ... Lagian gue buronan. Mana mungkin buka pintu sembarangan," ujar Senja dengan perasaan percaya diri. Lagipula, siapa yang akan membuka pintu itu sembarangan?

***

Halim menghela napas kala mendapati gadis itu berbaring di sofa. Padahal dia sudah memberikan sebuah kamar agar Senja lebih nyaman. Mungkin karena menunggu kabar, Senja berakhir ketiduran di sana.

Halim mengambil bantal serta selimut. Pelan-pelan dia menyisipkan bantal itu agar leher Senja tak pegal. Dia juga menyelimuti gadis itu agar tak kedinginan. Wajah tenang gadis itu saat tidur cukup untuk mengundang senyum pria itu. Dengan ragu, dia mengusap pucuk kepala Senja. Namun, dia memilih mengurungkan niatnya saat dirinya mulai emosional. Haruskah dia merasakannya sekarang?

Halim mematikan lampu ruang tengah kemudian melangkah menuju kamarnya. Dia bahkan sampai mengendap-endap serta menutup pintu sepelan mungkin agar Senja tak terbangun.

Sembari menatap papan penuh informasi demi informasi yang dia kumpulkan, Halim menghela napas. Satu-satunya tujuan dia ada di sana adalah menghukum pembunuh sang ibu di masa depan. Awalnya dia juga tak percaya. Namun, melihat bagaimana pembunuh itu terlibat dalam berbagai kasus, sepertinya membunuh sang ibu memang bukan hal mustahil. Melihatnya baik-baik saja seolah tak terjadi apa-apa, sebenarnya membuat Halim semakin marah. Pramono ternyata benar-benar seperti monster.

"Gue harus tangkep pelakunya gimana pun caranya. Gue yakin ada satu bukti yang ngarah langsung ke monster itu," gumam Halim. Dia kemudian membuka laci, tersenyum saat mendapati sebuah sapu tangan dengan sulaman namanya di sana. Dia sebenarnya masih menyesal karena sebelum kematian sang ibu, dia sedang sangat marah padanya. Dia berpikir setidaknya sekali saja sang ibu ada saat hari ulang tahunnya. Setiap tahun dirinya hanya bisa merayakan hari spesial itu sendirian karena sang ibu begitu sibuk.

Namun, malam itu benar-benar membuatnya terpukul. Bukannya telepon dari sang ibu yang biasanya berisi permintaan maaf, dia malah mendapat telepon dari seseorang yang menemukan sang ibu tewas di dalam mobilnya.

Halim memilih berbaring kemudian mematikan lampu. Dia menutup matanya dengan tangan kanan dan terkekeh saat matanya malah mengeluarkan air mata. "Bun, maaf."

Tinta Luka [END]✓Where stories live. Discover now