35 : Jiwa yang Memilih Bungkam

7 2 0
                                    

Senja mengembuskan napas lega saat suara yang terdengar bukanlah suara pria. Melainkan suara sang sahabat. Sungguh, jantungnya hampir saja berhenti saat langkah kaki itu semakin mendekat. Kalau pun bukan karena Pramono atau Jiwa, mungkin dia akan meninggal karena serangan jantung.

Senja segera ingat soal suara tembakan itu. Dia harus memastikan pria itu masih hidup atau semuanya akan benar-benar berantakan. Dia takkan bisa menyelesaikan kasus itu, begitu pun kasus lainnya. Kemudian, Pramono akan bebas begitu saja meski sudah membunuh banyak jiwa.

"Dia ... Gak mati 'kan?" tanya Senja yang kemudian membuat Ghea mengangguk. Dia kebetulan akan ke rumah Halim untuk mengembalikan jaket yang dipinjamkan pria itu. Untung saja dia punya firasat yang kuat. Dia mengekori pria itu dan ternyata benar, pria itu berakhir di unit milik Halim.

"Lo gak nembak dia 'kan?"

Ghea menggeleng. Dia baru mengancam pria itu dan membuktikan kalau pistol yang dia bawa adalah pistol sungguhan. Namun, pria itu malah terlihat ketakutan kemudian pingsan.

Senja mendekati pria itu. Kemudian menyingkap tutup hoodie yang biasanya menutupi wajah pria tersebut. Mata Senja membulat kala wajah pria itu benar-benar mirip dengan Jiwa. Ah, bukan mirip lagi, tapi mungkin memang pria itu.

Senja menatap Ghea kemudian mengangguk. Pria itu nampaknya memang Jiwa, si hantu yang juga kaki tangan Pramono dalam melancarkan aksinya. Entah apa tujuan keduanya membunuh beberapa jiwa tak berdosa kemudian melakukan sesuatu hingga kasus-kasus itu berakhir ditutup.

"Kita perlu nunggu dia sadar."

Entah dari mana dan sejak kapan Halim mencari tali tambang. Pria itu tiba-tiba mengikat Jiwa yang kini masih memejamkan mata setelah mendengar suara tembakan.

Sementara itu, di lain tempat Tirta benar-benar berjuang agar bisa tetap hidup. Tubuhnya sudah terasa lemas dan rasa sakit di pergelangan tangannya semakin memburuk. Sudah berkali-kali berusaha, namun tali yang mengikat tangannya begitu kuat.

Di balik rasa sakit serta putus asa yang memenuhi diri, Tirta masih memikirkan kondisi Senja. Dirinya harap di mana pun gadis itu berada, dia baik-baik saja. Setelah dapat firasat, dirinya langsung meminta Senja mencari tempat bersembunyi. Namun, dia ragu Senja akan mendengarkannya karena dia paling tahu gadis itu cukup keras kepala dan terkadang tak mau mendengarkan orang lain.

Tirta menghela napas. Panik malah akan membuat pergelangan tangannya semakin terasa sakit. Dia tak mengerti mengapa simpul yang diikatkan padanya cukup kuat hingga segala cara pun tak mempan kecuali ada seseorang yang membukakan simpul itu untuknya.

Tirta menyipitkan mata kala menyadari seseorang menghampirinya. Matanya kemudian membulat dan bertanya-tanya saat pria yang merupakan orang yang dia titipi dokumen itu, datang ke sana. Tanpa mengatakan apa-apa, dia segera melepaskan ikatan pada tangan Tirta.

"Lo ngapain di sini?" tanya Tirta. Bukannya merasa lega, dia malah panik dan khawatir pria itu terluka karena menyelamatkannya. "Son ...."

"Gue ngikutin lo karena curiga setelah lo nitipin dokumen itu ke gue. Padahal, selama ini yang liat dokumen itu cuma pengurus inti," ujar Sony. Sesekali dia menatap pintu dengan hati cemas. Meski dirinya yang memutuskan untuk masuk, dia tetap tak mau nyawanya dihabisi begitu saja. Apalagi, dia cukup tahu seperti apa pria yang dia hadapi sekarang.

"Gak usah nanya apa pun dulu. Kita harus pergi dari sini." Sony menarik tangan pria itu. Beruntung rasa curiga itu membawanya pada lokasi tempat Tirta disekap. Dia benar-benar menunggu Pramono pergi sebelum melancarkan aksinya untuk menyelamatkan Tirta.

Sementara itu, di lain tempat dan linimasa yang lain, trio pemburu pelaku pembunuh itu tengah menginterogasi pria yang berhasil mereka tangkap. Sepertinya satu kelemahan Jiwa adalah suara pistol. Pantas saja Jiwa selalu menghilang setelah melakukan aksinya dan memilih pisau alih-alih pistol untuk menghabisi nyawa korbannya. Namun, sampai detik ini Jiwa malah memilih diam. Dia tak mengatakan apa-apa dan memilih tak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada Pramono.

Ghea cukup kesal dan frustrasi karena tingkah Jiwa. Bahkan rautnya terlihat sangat menyebalkan dengan tampang yang tidak sama sekali menunjukkan gelagat takut meski kemungkinan terbesarnya, dia akan diserahkan ke pihak berwajib.

"Jadi ... Gak akan buka suara?" Ghea benar-benar sudah kehabisan rasa sabar. Menunggu Jiwa bicara seperti menunggu siput menyeberang jalan sepanjang 6 meter. Dia mencengkram kerah pria itu dan hanya mendapat seringaian yang merendahkan. Tentu, Emosi Ghea semakin terpancing. Untung saja Senja bisa dengan segera menghentikan gadis itu sebelum memukuli Jiwa.

"Gue paling gak suka tatapan ngeremehin kayak gitu." Ghea mendorong pria itu kemudian beranjak. Sejak kejadian yang menimpanya waktu itu, dia benar-benar benci pada tatapan meremehkan yang dia terima. Dia malah teringat bagaimana harga dirinya benar-benar diinjak oleh sang ayah.

"Jadi ... Gak akan jawab nih?" Senja juga sebenarnya kehilangan kesabaran. Namun, dia mencoba untuk bersabar sembari memikirkan cara apa yang mungkin bisa membuat Jiwa buka suara. Dilihat dari bagaimana pria itu mampu melakukan segala hal untuk Pramono, dia yakin membuatnya buka suara adalah hal yang cukup sulit. Bahkan bisa dibilang hampir tak mungkin.

"Pertanyaan sederhananya adalah ... Apa kamu yang bunuh mereka?"

***

Senja sungguh gemas karena Jiwa malah menyerahkan diri alih-alih mengatakan sesuatu yang mengarah pada Pramono. Dia dan Halim membawa Jiwa ke tahun 2023 untuk kemudian menahannya. Tadinya mereka akan menahan Jiwa di tahun 2027. Namun, akan lebih baik jika pria itu dibawa ke tempat yang seharusnya.

Mereka masih belum bisa menemukan cara agar Jiwa setidaknya mengatakan sesuatu dibanding menyerahkan diri seperti ini. Dari mulai mengatakan dirinya hanya dimanfaatkan, sampai Pramono hanya tak ingin dihukum, tetap saja tak mempan untuk membujuk Jiwa.

"Ngerasa aneh gak sih?"

Senja segera mengangguk setelah mendengar ucapan Halim. "Tapi ... Masuk akal sih, dia ngelindungin atasannya. Itu sering terjadi dan ... Si kaki tangan bakalan dengan suka rela gantiin atasannya buat dihukum."

Senja menghela napas. Jika seperti ini, Pramono akan tetap bebas dan mencari orang lain yang bisa membantunya. Bahkan, hal mengerikan lain yang mungkin terjadi adalah Pramono membebaskan Jiwa.

"Susah sih. Kecuali Jiwa sendiri yang bilang kalo dia cuma suruhan. Semua bukti yang ada, ngarah ke dia. Jadi ... Kita harus cari cara untuk ngehukum pelaku aslinya." Senja melangkah sembari melipat kedua tangannya. Pikirannya melayang, membayangkan akan setenang apa hidupnya tanpa tahu soal masa depan. Mungkin sekarang dia sedang menikmati makanan yang dimasak Tirta alih-alih mengejar pelaku pembunuhan yang jelas licin.

"Kecuali ...."

"Kecuali?"

"Nyari identitas Jiwa sampe ke akar. Kita bisa jadiin kelemahannya sebagai ancaman. Dia pasti punya satu kelemahan selain takut suara pistol."

Tinta Luka [END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang