34 : Malam Menegangkan

9 2 0
                                    

Tenggat waktu yang diberikan Pramono sudah berakhir. Seharusnya hari ini Tirta menyerahkan dokumen yang dia inginkan atau Senja akan tiada. Melihat bagaimana putranya nampak tak peduli, dia rasa Tirta memang ingin Senja dilenyapkan. Dia heran mengapa putranya akan lebih memilih melindungi dokumen itu alih-alih kekasihnya.

"Jadi ... Gapapa Senja yang jadi korban 'kan? Bahkan dokumennya lebih berharga dari dia."

Pria dengan tangan yang keduanya terikat di atas itu berusaha berontak. Dia memang tak dijebloskan ke penjara seperti beberapa anggota Esok Hari yang lain. Namun, dia merasa siksaan dari sang ayah malah lebih pedih dibanding siksaan yang pernah dia terima saat ditangkap karena dicurigai sebagai seorang provokator.

Tenaganya sudah benar-benar terkuras. Bahkan, dia tak mampu untuk sekadar melepas ikatan pada kedua tangannya. Dia sempat kabur dengan harapan sang ayah takkan menangkapnya. Dia lupa, sang ayah pasti sudah memasang pelacak pada ponselnya. Jadi, ke mana pun dirinya pergi, sang ayah tetap bisa menemukannya. Bahkan, dia tertangkap saat akan pergi ke rumah salah satu temannya yang ada di Bogor.

Bukan di rumah, tentu membuat Tirta akan lebih sulit kabur. Takkan ada yang membantunya keluar dari rumah yang terlihat sangat tak terawat itu. Dia bahkan tak tahu lokasi tempat dirinya disekap karena matanya ditutup saat ditangkap.

Sementara itu, Senja serta Halim sudah berada di tahun 2027. Meski tak menutup kemungkinan pembunuh itu akan mengikuti mereka, Halim merasa mereka akan lebih aman berada di sana. Setelah menerima pesan singkat dari Tirta, keduanya pergi ke tahun 2027. Awalnya terasa berat bagi Senja untuk pergi. Dia memikirkan keselamatan Tirta di sana. Namun, karena nyawanya sama-sama dalam bahaya, dia memilih pergi. Meski tetap saja dia khawatir sesuatu yang buruk menimpa Tirta di sana. Apalagi, membunuh nampaknya bukanlah hal yang sulit bagi Pramono. Dia harap pria itu masih memiliki setitik hati nurani agar tak membunuh Tirta.

Ruangan rahasia milik Halim menjadi tempat persembunyian terbaik untuk saat ini. Dengan sangat percaya diri, Halim yakin orang itu takkan menemukan mereka. Apalagi, Halim sudah meretas komputer ruang keamanan. Jadi, mereka takkan terekam sama sekali oleh CCTV.

Halim membukakan botol air mineral kemudian memberikannya pada Senja. "Dia pasti baik-baik aja."

"Perasaan gue gak enak."

"Tarik napas ... Buang. Lo lagi panik, jadi pasti mikir yang enggak-enggak," ujar Halim yang sebenarnya sama-sama mencemaskan Tirta. Jika hal di luar kendali terjadi lagi, dia akan semakin sulit untuk pulang. Kecuali jika dia bisa mendapatkan kembali harddisk yang dia gunakan untuk menyimpan baris-baris kode itu. Namun, sepertinya itu terlalu mustahil. Dia bahkan tak tahu Pramono menyimpannya di mana.

Halim kembali duduk di kursi empuk itu. Dia menatap monitor-monitor itu secara bergantian sembari mengingat baris-baris yang dia buat sebelumnya. Dia harus bisa kembali bagaimana pun caranya dan membereskan setiap kekacauan yang nampaknya terjadi karena program yang dia buat.

Senja berdecak kemudian menggeleng saat pria itu mendongak. Dia juga mulai menarik beberapa lembar tisu kemudian menggulungnya sebelum diberikan pada Halim. "Gue tau lo pengen pulang, tapi maksain diri juga gak bagus. Lagian, kita masih belum bisa nangkep pelakunya."

"Senggaknya harus ada dulu biar nanti bisa langsung pulang."

***

Senja tersenyum kemudian menyelimuti pria yang nampaknya kelelahan setelah mencari cara agar bisa secepatnya pulang. Selanjutnya, Senja memilih untuk duduk di lantai, membaca novel milik Secangkir Kopi yang belum bisa dia baca sampai tuntas. Namun, baru saja satu halaman dia baca, suara dari bawah sana menarik perhatiannya. Bahkan, suara itu sampai membuat Halim yang baru tertidur juga terbangun.

Tanpa mengatakan apa-apa, Halim segera menutup seluruh monitornya dengan kain hitam. Selanjutnya, dia menarik tangan Senja untuk bersembunyi sebelum pintu tangga itu terbuka. Lama-lama dia malah merasa sedang dalam film thriller. Apalagi karena pelakunya selalu membawa pisau ke mana pun.

Halim meletakkan jari telunjuknya di bibir saat Senja hampir saja berteriak setelah terdengar suara benda jatuh terdengar cukup keras. Dia yakin orang yang baru menyusup itu merusak salah satu atau bahkan seluruh monitor yang dia punya. Padahal memerlukan banyak waktu untuk bisa membelinya.

"Saya tau kamu di sini. Sekarang pilihannya nyawa kamu atau nyawa Tirta yang harus melayang." Pria misterius dengan pakaian serba hitam serta wajah yang tertutupi topi hoodie itu menyeringai. Dia melangkah sembari mengetuk-ngetuk lantai berbahan kayu yang dipasang Halim itu dengan tongkat baseball yang dia temukan di unit apartemen milik Halim.

Halim menggeleng saat Senja hampir keluar dari tempat persembunyian mereka. Saat ini, kemungkinan terbesarnya pelaku itu hanya ingin memancingnya untuk keluar.

Jantung mereka berdua berdetak kian cepat. Meski bisa bertarung, mereka merasa pria itu bukanlah tandingan. Melihat bagaimana pria itu dapat menghabisi banyak nyawa, tentu akan sangat berbahaya jika mereka berdua tertangkap sekarang. Hari itu pun, Senja terluka.

"Karena kalian udah bikin saya dihukum beberapa kali, saya gak akan biarin kalian lolos dengan mudah," ujarnya sembari terus mengetuk-ngetuk tongkat baseball itu pada lantai untuk mendengar suara napas ketakutan dari Halim serta Senja. Dia sangat marah karena terakhir kali, Senja malah lolos. Kali ini dia takkan membiarkan gadis tersebut lolos atau semua hal yang dia sembunyikan akan jadi perbincangan. Dia sudah hidup tenang dengan hidup seperti hantu.

Senja tersentak saat pria itu memukul keras pintu yang mengarah pada tempat mereka bersembunyi. Tak ada lampu. Jadi, akan sangat merepotkan jika pria itu bisa masuk ke sana. Dia bahkan sampai menggenggam erat tangan Halim karena ketakutan.

"Ikut gue," bisik Halim. Meski ruangan unit itu kosong, dia baru ingat ada kain hitam lain yang mungkin bisa mereka gunakan untuk bersembunyi. Lagipula, lampu di ruangan itu mati. Jadi, meski pria itu masuk, dia takkan menemukan mereka.

Halim menghela napas lega kala tangannya menyentuh kain itu. "Percaya sama gue, kita bisa selamat," bisiknya sembari memberikan ujung lain kain tersebut agar Senja juga bisa menutupi dirinya.

Mereka berdua mengerutkan dahi saat mendengar suara langkah selain milik pria tadi dari luar sana. Sesaat tak ada lagi suara ketukan itu, berganti dengan suara tembakan yang hampir membuat Senja berteriak lagi. Suara itu sangat kencang, hingga membuat keduanya menebak siapa yang menembak dan siapa yang tertembak.

"Apa orang itu ditembak?" bisik Senja. Jika iya, Pramono akan semakin sulit ditangkap. Satu-satunya orang yang bisa memberi kesaksian hanya pria yang jadi kaki tangannya saat membunuh orang-orang. Dia harap bukan.

Genggaman tangan mereka semakin erat kala mendengar pintu ruangan itu dibuka. Bagaimana jika mereka benar-benar berakhir di sana?

"Kalian di sini rupanya."

Tinta Luka [END]✓Where stories live. Discover now