🎉SEMBILAN BELAS🎉

1.4K 183 13
                                    

" Axi besok pulang sekolah jam berapa?" Amara melayangkan tanya.

" Jam sebelas an Bun. Cuma bahas soal aja. Habis tu pulang," Amara menatap Wilaga yang fokus dengan laptop di hadapannya.

Mereka saat ini sedang berada di ruang keluarga. Axi sibuk dengan Buku sedangkan sang Ayah sibuk dengan laptop. Hanya Amara yang tidak ada kerjaan hanya memainkan ponsel nya.

" Tadi Nenek telpon. Titip salam buat Axi katanya!" Axi mengangguk.

" Nanti deh Axi telpon Nenek. Axi rencana nya kemaren mau nelpon tapi lupa." Axi menyengir.

" Ibu sama Bapak bagaimana kabarnya?" Amara dan Axi serentak menoleh kepada Wilaga.

" Ibu sama Bapak baik. Cuma Bapak akhir akhir ini sering ngeluh kakinya ngilu kata Ibuk,"

" Sudah dibawa berobat?"

" Sudah."

" Pasti kakek sakit nya kambuh karena nggak mau pantangan," celetuk Axi. Amara mengangguk.

" Kakek sih bandel kalau di bilangin," Axi menggumam saat teringat dengan sosok ayah dari Ibunya.

Amara cuma bisa tersenyum tipis.

" Bapak sakit apa?" Lagi Amara menatap netra Wilaga yang menunggu jawabannya.

" Asam urat,"

" Ooh," Wilaga mengangguk tidak tahu harus merespon bagaimana tentang penyakit mertuanya atau sudah jadi mantan mertua.

" Bapak ke kebun masih kuat? Dulu Mas ingat sekali Bapak nggak pernah absen ke kebun atau ke ladang kalau tidak ada hal yang penting yang membuatnya absen. Bapak suka sekali ke kebun atau pun ke ladang. Seolah-olah dunia kerjanya memang di sana," Wilaga kembali mengingat ke masa silam.

" Sekarang pun Kakek masih sering ke kebun sama ke ladang kok Yah. Tapi ya nggak tiap hari. Tapi dalam seminggu pasti ada. Iya kan, Bun?"
Axi menatap Amara.

" Hm. Bapak memang suka Ke Kebun atau pun ke ladang bahkan sampai sekarang. Beliau masih sangat kuat," Amara tidak mampu untuk tidak menyunggingkan senyum teringat bagaimana keseharian Bapak nya.

" Perginya juga sama motor butut yah. Bunyi nya keras. Bisa pekak telinga kita." timpal Axi tertawa.

Wilaga pun ikut tertawa membayangkan.

" Apakah motor yang masih sama?"

" Ya," angguk Amara.

" Ayah tahu?" Mata Axi melebar. Wilaga mengangguk.

" Motor itu sudah ada sejak Ayah kenal sama Bunda."

" Wah lama sekali umur nya itu motor. Pasti udah menjadi kesayangan Kakek," Axi sampai terkejut tidak percaya. Amara tersenyum mengangguk setuju dengan perkataan Axi barusan.

" Nenek minta kita pulang kampung besok. Katanya udah kangen sama cucu nya."

Axi tersenyum lebar. wajah nya cerah dan ceria.

" Ayo, Bun. Udah lama juga kita nggak pulang, Bun. Axi juga kangen mau ke sana. Kangen ke kebun lagi sama Kakek," Axi tertawa.

Amara mengalihkan mata nya ke Wilaga. Tepat saat itu Wilaga juga sedang menatapnya.

" Jadi, besok kamu sama Axi mau  pulang kampung?"

" Iya. Kita berangkatnya jam dua ya, Nak"

" Boleh Bunda. Ayah ikut kan?" Axi menatap Wilaga masih dengan senyum yang terpatri di sudut bibir nya.

Wilaga dan Amara saling bertatapan. Amara berdehem.

" Mas bisa menginap di sini selama kami di kampung atau Mas bisa menginap di hotel,"

" Tidak perlu,"

Amara terkejut menatap reaksi Wilaga. Apakah perkataannya barusan terdengar menyinggung perasaan Wilaga.

" Mas ikut sama kamu dan Axi ke kampung."

" Ayah serius?"
Beda dengan pekikan Axi. Amara kembali terdiam. Kenapa bisa begini. Amara belum siap rasanya jika Wilaga bertemu kembali dengan keluarganya.

Atau apakah sekarang sudah waktunya mereka bertemu. Amara jadi bingung. Di satu sisi ia menunggu hari ini di sisi lain Amara tidak siap.

Bagaimana tanggapan keluarganya nanti. Pikiran Amara bercabang memikirkan kemungkinan demi kemungkinan yang akan terjadi.

" Jangan pikirkan apapun. Memang sudah waktunya Mas bertemu sama keluarga kamu lagi,"

Suara berat Wilaga menyentak pikiran Amara.

Ia tidak melihat keberadaan Axi di antara mereka. Kapan anak itu pergi. Apakah ia terlalu melamun sehingga tidak sadar kepergian Axi.

Amara menatap lekat wajah serius Wilaga.

" Tidak usah takut atau pun cemas. Serahkan semuanya kepada Mas. Biar Mas yang menghadapi Ibuk sama Bapak. Mas akan bertanggung jawab setelah apa yang Mas lakukan terhadap kamu dan anak kita,"

Hati Amara tiba-tiba langsung tersentuh mendengar penuturan Wilaga. Namun tidak semudah itu. Banyak hal yang di pikirkan Amara saat ini.

" Apa Mas yakin?"

Wilaga mengangguk tegas.
" Sekarang ini sudah tidak ada lagi yang Mas pikirkan selain kalian berdua. Pikiran dan hidup Mas hanya untuk kalian. Kamu boleh percaya atau tidak. Tapi Mas tetap dengan rencana Mas agar kita bisa balikan dan menjalani kehidupan normal seperti orang di luar sana,"

" Tidak semudah itu, Mas. Mungkin Mas bisa berkata seperti itu. Tapi, kenyataannya memang tidak mudah."

Alis wilaga menukik. " Kenapa tidak mudah. Kenapa kamu tidak mempermudah nya? Mas harap perasaan kamu tidak berubah terhadap Mas Lunaya!"

Amara menggigit bibir. " Ini bukan hanya tentang perasaanku, Mas. Ini lebih kepada kehidupan yang kita jalani selama lima belas tahun terakhir ini. Semuanya sudah beda. Tidak lagi sama."

" Mas sudah mengakhiri semuanya. Perjanjian itu sudah selesai. Mas sekarang sudah bebas. Bagian mana lagi yang membuat kamu tidak mempercayai Mas?" Wilaga mulai resah.

" Perjanjian apa yang membuat Mas meninggalkan kami berdua? Aku bahkan tidak tahu harus percaya atau tidak dengan omongan Mas."

"Percuma kalau Mas cerita pun kamu tidak akan percaya. Lebih baik kamu ketemu sama Mama atau Kakek. Atau pengacaraku. Kamu bisa bertanya kepada mereka."

Amara terdiam. Jantungnya bergemuruh.

" Sekarang Mas tanya apakah kamu masih mencintai Mas, Lunaya?"

Tbc!
04/09/23

Ohhh pertanyaan yang sangat berat.

Amara jangan biarkan Wilaga menunggu terlalu lama jawaban kamuu yaa😂😂🤣.

Pasti sekarang jantung Wilaga dag dig dug ser ser serr. Wkwkwk😂😂🤣

Asmara CintaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora