[21] Pengaruh Buruk

23.1K 296 9
                                    

Jennie melebarkan matanya tak kala melihat pemandangan mengerikan di sana. Segalanya berlalu begitu cepat, riuh heboh orang-orang melihat tetapi enggan melerai. Galih tergeletak bersimbah darah, Tanu masih tak puas menghajar.

Tanu terus menerus melayangkan tinjauan ke wajah yang sudah tidak berdaya, dari kepalanya mengucur deras cairan merah. Kaki Jennie melemas bagai tak bertulang ia jatuh terduduk sambil menutup mulut.

Menyeramkan. Aura menyeramkan menguar kuat dari pria yang tidak lelah menghabisi Galih, gelap dan penuh kebencian. Alih-alih berlari ke sana dan menghentikan perkelahian, Jennie hanya bisa bergeming di tempat.

Ia sendiri ketakutan, tubuhnya bergetar. Seorang satpam berbadan gembul dan satu rekannya berbadan kurus berlari tergopoh-gopoh kemudian menarik Tanu, memisahkan dua orang itu.

Para siswa yang kasihan dengan cepat membopong tubuh Galih, membawanya ke rumah sakit untuk segera mendapatkan pertolongan, di sisi lain Satpam telah mengamankan Tanu.

Saat itulah dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia mengekor mengikuti para satpam pergi membawa Tanu ke kantor polisi. Ia tidak bisa ikut ke ruangan interogasi, beberapa polisi menahannya di ruang tunggu. Ia meremas roknya menyalurkan gelisah selagi menunggu.

Setengah jam kemudian, seorang guru laki-laki yang Jennie kenal sebagai guru bagian bimbingan konseling datang. Budi namanya, sudah cukup tua tetapi masih dapat bekerja dengan baik. Budi menyadari keberadaan Jennie, jadi sebelum pria itu masuk untuk bertanya apa yang terjadi Budi memilih untuk menemui Jennie.

"Kamu tidak apa-apa?" Tanya  Budi duduk di sebelah gadis itu. Dari penampakan, Jennie juga cukup terguncang dengan apa yang terjadi.

Jennie menggeleng lemah, ia kini sudah lebih tenang.

"Bapak pikir, kamu ada kaitannya dengan kejadian tadi. Bapak tidak akan menghakimi kamu, tetapi Jennie mau kan membantu untuk menjelaskan apa yang terjadi pada polisi?"

Ia sudah menduga dirinya akan terseret dalam masalah ini, lagipula Jennie sadar semuanya terjadi karena kesalahannya memberi tahu Tanu tadi.

Budi membawa Jennie masuk ke ruangan yang sama dengan Tanu masuk tadi, di sana banyak polisi. Padahal hanya mengurus satu orang, mulai dari bermuka sangar hingga polisi buncit yang tidak peduli hanya ikut-ikutan saja.

Jennie akhirnya bisa melihat Tanu dengan jelas sekarang. Pria itu menunjukkan ekspresi wajah datar, di wajahnya masih ada sisa-sisa bercak darah yang luput di lap. Secara keseluruhan tidak ada yang luka atau lebam. Hanya buku jarinya saja yang memerah, itupun sanggup melukai hati Jennie. Pasti rasanya sakit, pikir Jennie ingin meraih tangan itu dan mengobatinya.

Polisi berkumis berdeham membuat Jennie mengalihkan pandangan ke depan. Polisi yang berkumis tampak menyeramkan, matanya melotot memerah, efek dari keseringan begadang.

Jennie takut, Budi menepuk pundaknya dan mengatakan tidak apa-apa. Jennie mengambil posisi duduk di samping Tanu, ia menoleh ke samping sekali lagi untuk sebentar, Tanu tak jua membalas tatapannya

Sejumlah pertanyaan dilempar demi mengorek sebab akibat dari kejadian tersebut, Jennie menjawab dengan suara pelan, sehingga terkadang mereka memintanya untuk mengulang jawaban. Semuanya ia ceritakan dengan jujur.

"Ini cuma masalah remaja, mereka putus dan mungkin saja korban G marah dan melakukan sedikit kekerasan," simpul si polisi di akhir sesi.

Tanu mendengus, kesimpulan yang salah. Ia tahu bahwa aparat keamanan ini memang tidak bisa diandalkan, lagi-lagi menyalahkan pihak perempuan dan meremehkan tindak kekerasan hanya karena pelakunya remaja.

"Tetapi kamu sudah cukup tua untuk bertingkah emosional dan menghajar anak remaja sampai sekarat. Jika tidak dihentikan mungkin saja kamu akan membunuhnya," papar polisi itu sambil menunjuk Tanu geram. "Lagi pula urusan remaja kenapa kamu ikut campur, huh? Memangnya kamu siapanya? Orang tua? Saudara atau siapa?"

Jennie dan Mas Tetangga Where stories live. Discover now