[13] Minta Maaf

34K 373 8
                                    

Bangun dengan kepal berat, tubuh pegal-pegal serta mata serasa berpasir bukanlah keinginan yang Tanu pikir akan terjadi di keesokan harinya. Ia mengedipkan matanya berulang-ulang menyingkir rasa risih yang menggangu.

Ia berusaha membawa tubuhnya untuk bangkit dari tidur lalu duduk di tepian kasur. Matanya masih sedikit buram ketika berhasil menerima cahaya, ia melihat ke sekitar. Mengamati tempat seperti apa yang menjadi tempat tidurnya satu malaman ini.

Bau alkohol menyeruak masuk ke hidung. Tepat pada saat itu kesadarannya kembali pulih matanya terbuka sempurna. Ia mengingatnya.

Lekas ia memutar tubuh menengok seonggok manusia tidak berpakaian tertidur lelap di samping tempatnya tidur tadi. Ia meneguk ludah susah payah.

Padahal ia sudah lama tidak melakukan hal ini. Ia berjanji pada diri sendiri tidak akan merusak hidupnya dengan bermain dengan sembarang wanita atau minum-minum lagi. Nyatanya tidak sampai satu bulan, ia sudah mengulangi.

"Nghh," erang si wanita.

Jujur saja di luar ekspektasi Tanu, wanita itu ternyata berparas sangat cantik. Tipe rupa yang banyak memikat para lelaki. Wajah tirus dengan hias mata Belo menampilkan iris netra cokelat terang, alis tebal dan bulu mata lentk, bibir tebal merah merekah bagai bunga mekar, rambut lurus yang terlihat menawan walau dalam keadaan kusut. Tubuhnya? Jangan tanyakan lagi. Tentu saja menawan bak gitar spanyol, apalagi payudara sintal bulat, bayangan tubuh perempuan itu dalam kurungannya masih terngiang-ngiang di kepala Tanu.

"Kamu sudah bangun?" tanya si wanita sambil berusaha duduk dan menyelimuti dirinya. Tindakan yang patut ditanyakan, pasalnya tadi malam wanita itu dengan berani melucuti pakaiannya sendiri, Tanu telah melihatnya dalam keadaan polos.

"Hmm, ya. Kepalaku sangat pusing," jawab Tanu kemudian memalingkan pandangan, ia adalah lelaki dewasa yang jika disuguhkan nikmat duniawi seperti ini mudah saja untuk tergoda.

Tanu tidak mau melakukannya lagi. Kali ini ia sadar, dan ia bisa mencegahnya.

"Itu karena kamu kebanyakan minum semalam." Kasur yang Tanu duduki bergerak, si wanita beranjak dari sana. "Aku pinjam kamar mandimu, ya."

Beberapa saat kemudian bunyi pintu terdengar tertutup, Tanu merasa lega. Setidaknya jika wanita itu tidak berada dalam pandangan, memperkecil kemudian juniornya di bawah sana untuk bangun.

Tanu sendiri lekas mencari pakaiannya yang tercecer di lantai, ia hanya memakai bokser.

***

Sambil menyisir rambutnya, si wanita yang kini Tanu ketahui bernama Irene, itu tersenyum tak kalau memergoki ia yang sedang curi pandang.

"Setelah ini kamu akan balik?"

"Hah?" Tanu cengo sembari menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

"Kamu tidak tinggal di hotel selamanya, kan? Rumah. Tempat kamu pulang."

"Ah, itu." Lagi-lagi Tanu merasa malu. "Setelah ini, karena jauh di daerah x, mungkin aku perlu beristirahat sebentar dulu. Perjalanan butuh waktu lima jam."

"Jauh sekali. Dari gayamu aku kira kamu anak sini, atau anak ibu kota. Tidak disangka ternyata anak kabupaten. Sungguh penemuan yang menarik." Irene sudah selesai memperbaiki penampilannya. Kini walaupun tubuhnya sudah bersembunyi di balik kardigan, Irene tetap tampil mempesona.

"Kalau begitu aku pulang sekarang supaya kamu bisa segera istirahat."

Irena melangkah pergi, tetapi Tanu menahan tangannya. "Tunggu. Aku belum membayarmu."

"Untuk kali ini gratis. Kamu handal di ranjang, aku sangat puas," jelas Irene tidak ada rasa malu, ia lalu mengelus tangan Tanu sensual. "Seandainya saja aku lupa kalau kamu tidak punya pasangan pasti aku akan bersedia tinggal lebih lama lagi dan mengulang kegiatan selamam."

Jennie dan Mas Tetangga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang